DALAM sejarah politik dunia, hampir tak ada bukti kuat dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa sebuah aksi teroristik bisa menjatuhkan pemerintah atau rezim yang berkuasa. Aksi-aksi teror memang bisa menggoyang kekuasaan pemerintah atau membuat rusuh dan ketakutan dalam masyarakat. Tetapi tidak ada pemerintahan atau rezim yang jatuh disebabkan oleh tindakan teror.
Justru yang berlaku sebaliknya. Aksi-aksi teror ini membuat otot-otot rezim semakin kuat dan semangat represifnya menjadi berlipat ganda. Tindakan teror oleh oposisi pasti akan selalu dibalas dengan tindakan yang lebih keras oleh penguasa: melalui pengerahan secara masif aparatus kekerasan negara dan disahkannya undang-undang yang lebih mengekang kebebasan sipil dan politik rakyat. Dalam satu dekade terakhir ini, mulai dari kasus bom Bali, bom kedutaan besar Australia, dan bom Marriot, kita saksikan bahwa atas nama pemberantasan teror, atas nama keamanan bersama, tindakan-tindakan ekstra-yudisial berkali-kali dilakukan oleh aparat keamanan. Tindakan teror juga kemudian dimanfaatkan oleh penguasa untuk memobilisasi sentimen nasionalisme sempit, membakar dan menggelorakan perasaan senasib dan sepenanggungan yang palsu. Terorisme, dalam kasus Indonesia pasca reformasi, terbukti tidak membuat Negara menjadi lemah. Yang terjadi justru sebaliknya.
Aksi-aksi teror ini juga sama sekali tidak memberikan pelajaran politik yang bermanfaat buat gerakan rakyat tertindas. Jika keberanian dan semangat rela berkorban yang hendak disampaikan oleh para pelaku teror kepada rakyat tertindas, maka pesan politik itu salah alamat. Kenapa? Karena rakyat tertindas itu setiap harinya telah dengan berani dan rela berkorban untuk membela dan memperjuangkan hak-haknya. Apakah para teroris ini tidak mengetahui aksi heroik dari warga Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik Semen? Atau aksi-aksi berani mati ibu-ibu di Rembang dalam melawan polisi dan tentara yang justru mengamankan pembangunan pabrik semen di tempat mereka? Atau aksi terhormat hingga berkalang tanah yang dilakukan oleh Gaya Tosan dan Salim Kancil karena mempertahankan hak-haknya yang hendak dicuri oleh korporasi? Atau dua hari sebelum serangan bom bunuh diri di Sarinah, warga Kampung Pulo dengan berani dan gagah berjuang menolak tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang kini menyerukan agar kita harus bersatu melawan aksi terorisme ini? Atau Aksi Kamisan yang dilakukan oleh orang tua korban penghilangan paksa di depan Istana Merdeka? Atau perlawanan rakyat Papua yang tanpa rasa takut melawan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh TNI dan Polisi setiap harinya?
Rakyat tertindas, melalui aksi-aksi perlawanannya selama ini sudah mengerti bahwa cara terbaik untuk membela hak-haknya dari perampasan dan penggusuran yang dilakukan oleh negara maupun korporasi, tidak lain adalah dengan berorganisasi dan bersolidaritas satu sama lain dengan sekuat-kuatnya dan seteguh-teguhnya. Pengalaman penindasan dan perlawanan mereka mengajarkan bahwa ‘kita tidak akan pernah menang melawan oligarki kapitalisme-neoliberal ini jika kita bergerak sendiri-sendiri, terputus dan tercerai-berai satu dengan lainnya.’
Aksi-aksi teror ini justru memukul mundur kesadaran dan pengetahuan rakyat tertindas yang telah mekar saat ini. Tindakan teror yang dilakukan oleh individu-individu terlatih justru bertentangan dengan kesadaran akan pentingnya sebuah aksi kolektif. Metode gerakan teroris yang dilakukan secara rahasia, indoktriner, dan patron-klien, juga bertentangan dengan kesadaran rakyat tertindas bahwa gerakan seharusnya bersifat terbuka, demokratis, dan partisipatoris. Tindakan teroristik yang menyasar warga sipil tak berdosa sebagai target serangan, sama sekali bertentangan dengan kesadaran politik rakyat tertindas bahwa musuh bersama itu adalah oligarki yang saat ini sedang kuat-kuatnya menguasai wilayah ekonomi dan politik.
Dengan kata lain, dalam tindakan teroristik ini tidak ada pesan-pesan pembebasan di sana, melainkan hanya memproduksi ketakutan, dan saat-saat ini adalah lelucon tidak lucu yang lalu-lalang di media sosial.
Inilah dasar dan fondasi mengapa kita mengutuk tindakan terorisme ini. Aksi teror ini hanya membuat pekerjaan kita, kaum progresif dan rakyat tertindas, semakin bertambah berat: Terus melawan oligarki kapitalisme-neoliberal sambil memendam rasa takut akibat bom yang setiap saat bisa meledakkan kita, dan pada saat yang sama, menolak serangan balik yang lebih keras dari Negara atas nama perang melawan terorisme.***