KAMARKU MALAM INI penuh dengan nada-nada tiupan suling dan petikan gitar yang berbunyi tanpa jeda bahkan terus mengisi sudut-sudut di ruang kosong. Lengkingan suling bambu khas Sunda yang meliuk-liuk naik-turunnya itu diimbangi gitar yang hampir tidak digenjreng. Jika tidak tahu jenis musik ini dan belum pernah melihat secara langsung, mungkin suara gitar yang menggema akan dikira petikan kecapi. Sebagian orang pasti merasa aneh melihat kolaborasi alat musik tradisi macam suling dengan alat musik modern seperti gitar elektronik.
Nama duet instrumen musik itu tarling. Ya, hanya gitar dan suling. Keduanya mengiringi seorang penyanyi, lebih tepatnya seorang pesinden. Keberadaan suara sinden di tarling sangat menarik karena biasanya sinden berada di antara gamelan dan dalang wayang. Andai tidak ingat tarling hanya gitar dan suling, rasanya orang tidak akan percaya karena suara yang didengar padat. Penuh. Dan cukup ramai untuk mengiringi suara sinden yang meninggi dan merendah.
Di antara merajalelanya jenis musik dangdut elektronik macam koplo ala dugem, dangdut lirih dengan lirik yang mendayu-menyayat-perih, dangdut bergoyang erotis, dangdut bergitar banyak ala Bang Haji, dan jenis dangdut lainnya, tarling yang hanya diisi dua pemain musik dan satu penyanyi itu hampir tidak dikenal. Generasi tua yang pernah mendengar tarling pun juga sudah jarang melihat penampilannya langsung. Pemain tarling jarang ditanggap. Konsep tarling yang hanya bertiga di masa sekarang sudah masuk menjadi bagian kelompok musik macam dangdut yang menonjolkan tabuhan kendangnya. Era musik tarling klasik digeser sekitar tahun 1980-an oleh keberadaan alat musik elektronik keyboard. Orang Cirebon menyebutnya “organ”. Sebutan kelompok musiknya “organ tunggal”, terdiri atas satu penyanyi dan satu pemain musik yang memainkan organ.
Sebenarnya aku tidak tahu banyak soal musik tarling. Apalagi yang klasik. Namun, kemarin, saat menghadiri malam peringatan 50 tahun Peristiwa 1965 di sebuah taman air mancur di tengah kota tua Paris, aku bertemu dengan seorang perempuan yang usianya mungkin dua puluh lima tahun di atasku.
Ia bercerita saat kami sedang berdua, terpisahkan dari yang lainnya, di bawah sebuah pohon paling besar di antara pohon-pohon lain yang rapih berbaris mengelilingi taman. Daun-daunnya tertiup angin musim gugur. Berjatuhan. Suasana musim menambah rasa sendu dan pilu cerita perempuan itu. Ia menceritakan ayahnya.
Sang ayah terus-terusan berkeringat dingin setelah peristiwa besar yang mengagetkan sekaligus menakutkan pada 30 September 1965 di ibukota. Ia merasa aneh, di kota kecil tempat ia tinggal—yang jaraknya lumayan jauh dari ibukota, sekitar enam atau tujuh jam menggunakan bus—banyak orang-orang di dekatnya ditangkap dan hilang. Tak perlu menunggu sampai setahun, ayahnya yang hanya sanggup berdiam di rumah akhirnya kena ciduk dengan alasan ia bergabung bersama seniman lain di Lekra. Sang ayah adalah musisi tarling klasik terkenal di kota kecil yang ternyata juga kampung halamanku. Ya, perempuan yang sedang bercerita ini berasal dari kota yang sama denganku, Kota Udang, kota pesisir utara Jawa yang melahirkan musik tarling sebelum Tanah Air merdeka.
Nama sang ayah adalah Narayada. Selain memimpin grup musik tarling klasik yang diberi nama sama, Narayada Grup, ia juga dikenal jago menciptakan tembang-tembang yang enak didengar. Ia salah satu pencipta lagu tarling yang mempertahankan bentuk parikan dan wangsalan. Beberapa lagu tarling hasil ciptaannya ditembangkan para pesinden yang berbeda-beda karakter suaranya. Hingga tiap-tiap lagunya memiliki vokal khas sendiri.
Narayada bertubuh kecil, kurus, dan berkumis panjang. Ujung kumisnya hampir meliuk di sekitar kempotan pipi. Ia senang berkolaborasi dengan beberapa pemain gitar dan suling yang dianggapnya mampu menyeimbangkan apa yang ia inginkan. Sering tampil di hajatan, grupnya juga menerima undangan main di pesta laut, termasuk dalam acara politik pemilihan bupati tahun 1960-an.
Teman sepermusisiannya sudah mengingatkan Narayada untuk tidak mengambil acara-acara yang berbau politik. Namun, tahun-tahun itu merupakan masa-masa yang sulit, bahkan untuk membayar para pemain pun ia harus bersusah-payah. Kata perempuan yang sedang bercerita ini, mereka sulit makan nasi pada masa itu. Meski baru tujuh tahun usianya, ia ingat betul pernah disuruh ibunya mengantre panjang sekali demi membeli beras. Itu pun saat ayahnya pulang dari manggung dan baru punya uang. Sampai pada suatu hari, sang ayah mengambil tawaran kawannya yang aktif sebagai anggota partai. Dengan terpaksa ia dan grupnya mau tampil dalam acara pemilihan bupati yang disokong partai besar berwarna merah bermassa paling banyak di antara partai lainnya.
Jadilah ia tampil bersama grup tarlingnya di beberapa wilayah sepanjang pesisir Laut Jawa mengiringi si calon bupati untuk berkampanye. Berada di bawah bendera merah, mereka melantunkan dan membawakan lagu-lagu ciptaan Narayada dan lagu-lagu lain yang merupakan permintaan panitia. Dari hasil manggung dalam acara-acara bupati tersebut, ia bersama dua pemain di grupnya dan satu orang yang membantu mengangkut pengeras suara mendapat beberapa kantong beras sebagai upah. Perempuan yang masih ada di hadapanku ini pun berkata, “Akhirnya kami bisa makan nasi kembali setelah lama tergantikan singkong rebus atau singkong bakar,” sambil menyeka air mata yang tertahan sedari awal bercerita.
Narayada punya prinsip untuk keberadaan grupnya. Ia hanya ingin bermain tarling. Entah dalam acara apa pun. Ia tidak peduli. Lagu “Genjer-Genjer” yang ia bawakan versi tarlingnya pada tiap akhir pertunjukan tak pernah ia duga akan membawa dirinya ke sebuah kejadian besar dalam hidupnya.
Ya, tahun 1966. Belum sampai genap setahun Peristiwa 30 September 1965, Narayada dibawa paksa orang-orang berseragam karena lagu itu dan keikutsertaannya dalam acara pemilihan bupati. Hanya ia yang ditangkap, sementara musisi lainnya hanya diwajibkan lapor setiap pagi dan diawasi ketat keluarganya. Bahkan mereka masih boleh main tarling jika ada undangan acara sambil dijaga orang-orang berseragam itu, Polisi Militer.
Mujurnya nasib Narayada dibandingkan dengan orang-orang lain—di daerah yang sama dengannya—yang juga diangkut secara terbuka ataupun diculik diam-diam; banyak di antara mereka yang tidak kembali. Lelaki kurus berkumis itu, setelah beberapa bulan mendekam di sebuah tempat yang tidak ia ketahui, dapat kembali ke tempat kelahirannya di sebuah desa nelayan di perbatasan.
Namun, meski dilepas dari tahanan, ia diharuskan keluar dari desanya. Tak boleh tinggal di sana lagi. Ia harus pergi, membawa serta keluarganya, hanya dalam waktu dua hari sepulang dari tahanan. Istrinya tidak mau ikut Narayada. Takut sengsara. Namun, anak perempuan mereka satu-satunya malah memilih ikut pergi bersama ayahnya menuju kediaman rumah keluarga besarnya di dekat keraton tua.
Sayangnya, keberadaan Narayada di dalam keluarga besar yang tinggal di dekat keraton tua itu pun ditolak secara halus. Laki-laki itu diharuskan menjauh agar keluarga besarnya tidak dilibatkan ke dalam masalahnya. Namun, lagi-lagi, beruntungnya Narayada dan anak gadisnya, ia diberi bekal yang cukup untuk pergi ke ibukota provinsi sebagai tujuan kepergiannya.
Tanpa pikir panjang, Narayada menuju ibukota provinsi bersama dengan putrinya. Sepanjang perjalanan ia melihat semua wajah yang ditemui, yang ditatap dan diintipnya dari balik kaca bus antardaerah, begitu tegang. Suasana daerah-daerah yang dilewatinya pun berwarna ketakutan dan kecemasan. Setibanya di ibukota provinsi pun begitu banyak berita simpang siur, kelaparan, dan kerusuhan.
Konon, di wilayah barat korban yang dibunuh, ditangkap, dan dihilangkan jumlahnya tidak sebanyak di daerah lain seperti di timur dan di seberang pulau. Koran-koran yang bisa terbit isinya terus membahas peristiwa mengerikan itu dengan cara yang sama. Banyak juga koran yang biasa terbit sebelum Peristiwa 30 September tidak dapat terbit setelahnya. Raib tiba-tiba. Hilang bersama orang-orang yang memproduksinya.
Narayada bergidik membaca koran yang dibagikan gratis di dalam bus yang ia tumpangi. Ia menyimpan koran itu di dalam tasnya. Sambil memeluk putrinya, ia terus-terusan berpikir bagaimana caranya hidup di tempat baru dalam suasana seperti ini. Rasanya seperti mendatangi sarang harimau, karena tujuan perjalanannya mengarah ke ibukota provinsi.
Setibanya di ibukota provinsi, sang ayah dan putri kecilnya menginap di sebuah kamar yang disewa untuk beberapa hari. Lokasinya di sebuah rumah besar yang baru ia ketahui nama dan alamatnya dari salah satu sepupu. Sepupunya memberitahu sambil berbisik saat laki-laki itu pamit pergi setelah menumpang sebentar di dekat keraton tua. Pemilik rumah ini seorang perempuan yang asalnya bukan dari Indonesia. Ia lahir dan besar di Paris sebelum berkarier di Indonesia. Suaminya hilang sebulan yang lalu. Seorang jurnalis.
Perempuan itu berencana akan pulang ke rumahnya yang ada di Paris. Sambil mengobrol saat makan malam, pemilik rumah dan Narayada saling bercerita tentang nasib dan peristiwa yang tengah terjadi. Hingga terbentuklah sebuah rencana besar. Mereka memutuskan untuk pergi ke Paris bersama-sama sebelum datangnya kejadian yang tidak diinginkan dan tidak akan pernah diketahui.
Perempuan Paris pemilik rumah di Jalan Guntur itu usianya lima tahun di atas Narayada. Ia tidak memiliki anak dan tidak akan pernah memiliki anak dari suaminya. Ia punya firasat besar bahwa suaminya tidak akan pernah dilihatnya lagi. Setelah menatap putri kecil Narayada untuk pertama kalinya, ia langsung jatuh hati dan sayang betul. Semua urusan dokumen Narayada dan putrinya langsung diurus oleh perempuan Paris yang bernama Maurine itu keesokan harinya dengan bantuan seorang kenalan yang juga mengurusi dokumennya sendiri.
Hampir sebulan lamanya mereka menunggu kabar tentang pembelian tiket perjalanan dan urusan dokumen sambil terus mengikuti berita pergantian kekuasaan di ibukota negara lewat radio maupun koran yang diperbolehkan terbit. Mereka menunggu sampai tiba waktunya semua tiket kapal laut dan surat dokumen yang diperlukan selama perjalanan keluar.
Narayada, anak perempuannya, Maurine, dan pembantu setia Maurine yang berusia senja pun berangkat ke Paris menggunakan kapal laut setelah melampui perjalanan menggunakan bus untuk mencapai pelabuhan. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan pesawat, padahal Maurine sanggup membeli tiket untuk empat orang. Kebijakan pemerintah sementara saat itu hanya membolehkan mereka pergi lewat kapal laut.
Perjalanan itu pun tidak langsung menuju Paris. Kapal laut mereka berlabuh di Rotterdam. Ya, kapal laut yang mereka tumpangi adalah kapal barang Indonesia-Belanda yang khusus membawa kopi. Dari Rotterdam menuju Paris mereka bisa menggunakan bus kembali.
“Lalu, ayahmu di Paris masih bisa bermain musik tarling?” tanyaku kepada Dewi, temanku, anak perempuan Naradaya.
“Ya, setelah beberapa tahun tinggal di Paris, ayah bertemu pelajar Indonesia yang tidak bisa pulang karena dianggap berbahaya. Padahal ia hanya seorang pelajar yang terpilih program Soekarno untuk belajar di salah satu negara Eropa Timur. Ia juga menjadi duta budaya di sana karena bisa bermain musik tradisional. Setelah kejadian ’65, ia dapat suaka di Paris bersama yang lain. Tidak ada hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia sama sekali. Lumayan banyak pelajar yang dikirim ke Eropa Timur dan Uni Soviet dan tak bisa kembali. Akhirnya setelah dikenalkan dengan tarling klasik, Om Danur mau ikut bergabung bersama Ayah membuat sebuah grup musik tarling,” jelasnya sambil menerawang jauh sekali meski sedang menatap kedua mataku.
“Lalu siapa yang menjadi sindennya?” tanyaku lagi.
“Ibuku,” keluar kata yang begitu sarat makna dari bibir perempuan yang kini menyandarkan diri pada tubuh pohon besar itu. Ia sudah menganggap Maurine sebagai ibunya sendiri.
“Ia pernah belajar karawitan Sunda di Bandung. Dengan belajar sebentar pada Ayah, cara nembang seperti gaya sinden tarling, ia langsung bisa menemukan cengkok dan tekniknya. Setelah itu mereka bertiga mempertahankan hidup di sini dengan bermain musik tarling klasik dari satu tempat ke tempat lainnya. Kadang di hajatan sesama orang Indonesia atau kadang juga dipanggil main dalam acara kenegaraan di Kedutaan Besar RI,” lanjutnya.
“Apa mereka pernah melakukan rekaman?” Rasa penasaranku muncul ingin mendengarkan, karena aku belum pernah mendengar musik tarling klasik.
“Pernah, tahun 1980-an. Kamu mau dengar? Akan kukirim lewat surat elektronik.” Aku mengangguk, senang mendengarnya.
Kami berdua pun ikut menyalakan dua buah lilin bersama dengan orang-orang yang berdatangan ke acara perenungan 50 tahun sejarah yang dibisukan ini. Di sebuah taman, di pinggir air mancur Fontaine des Innocents, kami semua berdoa untuk orang-orang yang tidak bersalah tapi menjadi korban Peristiwa 1965 dan tahun-tahun setelahnya, termasuk orang-orang Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di sini, yang masih tak bisa pulang untuk hidup di tanah airnya sendiri.
Di ujung malam yang masih sama, di balik selimut tebal tempat aku berlindung dari dinginnya angin musim gugur, aku mengunduh beberapa lagu yang dikirim Dewi lewat surat elektronik. Setelah itu aku langsung memutarnya. Lagu tarling klasik pertama yang aku putar adalah ciptaan Narayada berjudul “Tamba Lara Ati”.
Terdengar nada suling yang ditiup, gitar elektronik yang dipetik penuh tanpa jeda, juga suara sinden yang fasih melantunkan syair berbahasa Cirebonan, menggema di dinding-dinding kamar. Nada-nadanya pun memenuhi langit-langit kamar sambil berpelukan dengan kepulan asap dupa yang kunyalakan.
Paris Ketujuh, 9 Oktober 2015