BUKAN hal baru bila para konservatif memandang sebelah mata, bahkan was-was terhadap sebuah media baru yang muncul. Bukan hal baru pula jika mereka menyayangkan, dan anehnya juga, menggunakan serta mengambil manfaat dari media baru tersebut. Salah satunya adalah media yang memungkinkan Anda bisa membaca tulisan ini; Internet. Lebih jauh, muncul anggapan bahwa ketergantungan pada teknologi informasi berbasiskan Internet membuat Generasi Z (sebutan untuk remaja Internet native) mulai kehilangan pegangan pada nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, kemajuan teknologi dipersalahkan. Program Bela Negara—yang satu ini kesampahannya seolah-olah sudah jelas di mata kita namun begitu masih lebih banyak orang yang melihatnya sebagai solusi terhadap apa pun; apa pun masalahnya, Bela Negara solusinya—tersirat sebagai jawaban atas kegalauan ini.
***
Indonesia, sebagaimana kita tahu, baru muncul sebagai sebuah negara secara resmi pada 17 Agustus 1945. Walaupun perbincangan menuju peristiwa itu sudah terjadi jauh sebelumnya. Salah satu yang dianggap penting menurut sejarah resmi dalam penyatuan itu adalah Sumpah Pemuda di tahun 1928. Tentu penentuan tanggal-tanggal peringatan dan perayaan seperti 28 Oktober ditetapkan dan ditentukan setelah kemerdekaan terjadi.
Keith Foulcher sepintas menunjukkan pada kita bahwa peristiwa tersebut bukanlah peristiwa yang begitu besar, heboh, dan menggoncang. Setidak-tidaknya, bisa jadi para peserta Kongres Pemuda II kala itu tidak menyangka bahwa kegiatan mereka akan menjadi peristiwa yang begitu dirayakan oleh generasi mendatang. Selain itu, meski pun mereka mengikrarkan sumpah bahwa berbahasa satu bahasa Indonesia, semua mereka yang berkumpul di situ menggunakan bahasa bahasa Belanda sebagai bahasa percakapan.
Kita tentu bisa memeriksa lebih jauh perihal kontroversi Sumpah Pemuda ini. Momen ini menjadi penting sebagai hari peringatan untuk melegitimasi persatuan dan kesatuan Indonesia. Salah satunya melalui pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Dan persis di titik itu, bahasa Indonesia sesungguhnya bertalian erat dengan perihal teknologi. Dan dalam kaitan itu, saya ingin mengatakan bahwa negara Indonesia adalah produk modernisasi, karena salah satu faktor paling mendasar dari modernitas adalah kemajuan teknologi. Kesadaran akan keindonesiaan yang harus merdeka, sedikit banyak berhutang pada sumbangsih teknologi.
Bahasa Indonesia, misalnya, awalnya adalah bahasa melayu yang populer digunakan di hampir setiap wilayah pesisir Indonesia berkat perdagangan yang terjadi di masa sebelumnya. Ketika kekuasaan kolonial Belanda makin menguat, peran bahasa melayu pasar ini mulai kendur. Kemunculan teknologi informasi cetak mengangkatnya kembali sebagai sebuah faktor penting dan mendorongnya menjadi faktor penentu yang cukup utama, menurut istilah alm. Bennedict Anderson, imajinasi bersama akan bangsa.
Teknologi informasi cetak yang masuk ke Hindia Belanda tentu saja dibawah oleh orang Eropa. Namun tidak butuh waktu lama bagi mereka-mereka yang ada di Indonesia untuk melihat potensi, baik bisnis mau pun kemampuan perlawanan, dari media ini. Muncullah banyak terbitan, buku, majalah dan koran dari mesin-mesin cetak yang banyak berdatangan di Indonesia. Tentu saja tidak semuanya tentu mengumandangkan ketimpangan penjajahan, kekejaman penjajah Belanda dan menghasut rakyat untuk memberontak; beragam sungguh isi terbitan yang ada itu. Namun semua itu menyumbang pada kesadaran modern masyarakat Anak Negeri Hindia Belanda.
Tentu bisa lebih banyak contoh atau pemaparan perihal teknologi dengan kesadaran modern yang perlahan-lahan menghantar menuju kemerdekaan Indonesia. Rudolf Mrazek di dalam bukunya Enginering of the Happy Land menggambarkan bagaimana teknologi yang masuk ke Hindia Belanda menyumbang pada perubahan tingkah laku masyarakatnya. Dan memang demikianlah karakteristik teknologi itu sendiri.
Pemaparan di atas barangkali cukup memberi alasan bagi kita untuk kembali pada permasalahan yang diresahkan di awal tulisan ini, yakni generasi z dan keindonesiaan. Indonesia modern yang merdeka adalah juga dampak penerimaan masyarakat Hindia Belanda kala itu atas teknologi. Maka, ketika kita menyayangkan teknologi sebagai perusak semangat nasionalisme, barangkali kitalah yang tidak bisa melihat dengan jeli potensi yang dimungkinkan oleh teknologi, sebagaimana teknologi cetak pernah menyumbangkan hal penting untuk mewujudnya Indonesia.
Menuduh generasi z telah kehilangan keindonesiaan lantaran kegandrungan mereka pada budaya klik bukanlah sebuah pandangan yang elok. Begitu banyak contoh di sekitar kita menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi membawa banyak kemungkinan baru nan progresif dalam hal hak-hak warga negara. Juga dalam hal penglurusan pengetahuan sejarah kita. Pemerintah saat ini tidak bisa berbicara sekehendak hatinya di hadapan media. Di dalam hitungan detik, apa yang disampaikan seorang tokoh akan tersebar melalui portal berita dan di-viral-kan melalui beragam media sosial. Permasalahan-permasalahan masyarakat sekarang pun mendapat wadah baru untuk diutarakan melalui kemajuan teknologi informasi berbasis internet.
Keindonesiaan jangan-jangan memang bukan hilang karena budaya klik pada generasi z. Jangan-jangan, budaya klik saat ini akan menghasilkan sebuah keindonesiaan yang berbeda sama sekali wajahnya daripada keindonesiaan yang pernah dimiliki generasi sebelumnya. Karena memang, kembali meminjam (mengenang) Bennedict Anderson, Indonesia adalah sebuah proyek yang harus terus-menerus dipikirkan dan dijalankan.***