Berpisah kita berjuang, bersama kita memukul ( Semboyan Jerman)
Ayo kawan, mari keluar
Hati lebih keras dari lapar
Genggamlah salam kata bergetar
Solidaritas! Kuat-tegar-benar…
(Agam Wispi)
JIKA kamu bersedia membaca surat ini tentu aku sangat berterimakasih. Jujur aku bangga dengan dirimu yang masih berteriak lantang menentang praktik brutal aparat. Praktok yang dulu diajarkan oleh Orde Baru kini diamalkan dengan maksimal. Polisi pukuli wartawan, serdadu hajar petani hingga pejabat lecehkan hak rakyat. Sampai kita tak paham bagaimana kekerasan itu berujud monster yang mengatasnamakan apa pun dan apa saja. Pasukan Anti Komunis, Anti Liberal hingga Anti Syiah. Tiap kekerasan meledak dengan tikaman korban yang tak pernah tahu mengapa dirinya jadi sasaran. Sulit untuk memahami mengapa aktivitas menonton film Senyap dianggap bahaya. Lebih sulit lagi memahami tuduhan kalau sidang IPT hanya upaya untuk memuluskan kebangkitan partai komunis. Lama-kelamaan, kita kehabisan argumentasi karena lawan debat kita tak sejajar secara akal. Diam-diam kita berada di ruangan sempit yang isinya orang gaduh yang punya maksud sepele: membuang ingatan kita akan masa lalu.
Beruntung kita masih bertahan. Bertahan dengan cara pandang yang sama dari dulu. Mempertahankan hak-hak dasar sebagai warga negara. Hak untuk tidak diperlakukan secara keji, hak untuk menyatakan kebebasan berpendapat, hak untuk memperoleh keadilan sekaligus hak untuk mendapatkan perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang. Sebagian hak itu jadi buah retorika jika ada pelatihan HAM, sedang yang lain jadi landasan untuk sebuah tuntutan. Tiap kali kita ulang argumentasi itu maka negara dengan canggih memberi tanggapan simpatik: ratifikasi semua kovenan. Tak hanya itu, negara bahkan membuat kementrian yang mencantumkan kata HAM. Gegap gempita soal HAM itulah yang membikin banyak perguruan tinggi mendirikan Pusat Studi HAM. Sebagian mereka bergiat di bidang penelitian, pelatihan dan penerbitan. Sebagian besar lagi jadi tampungan aliran uang donor. HAM meningkat statusnya sebagai pengetahuan yang memiliki cabang, ranting hingga buah pandangan yang beragam.
Itu sebabnya HAM tak hanya menjadi dasar advokasi melainkan juga disiplin praktis ‘pengetahuan’. Sifat itu yang membuat khazanah ilmu tentang HAM melaju dengan topik-topik yang kian menawan: kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Kredo itu muncul dan melompat dalam proposal, judul sebuah workshop hingga topik pada mata kuliah. Jika dalam proposal konsekuensinya harus ada donor. Kalau berwujud workshop maka terjadilan reuni indah para aktivis HAM. Sedang jika jadi mata kuliah maka muncul banyak dosen HAM. Dosen yang telah membuat mata kuliah HAM mirip dengan ilmu matematika: tiap isi kovenan dihapal isinya, tafsirnya, konsekuensinya dan kapan diratifikasinya. Tak hanya itu, buku-buku HAM beredar dengan kecanggihan analisa: relativisme melawan universalisme. Tak kalah heboh bagaimana meletakkan hukum HAM dalam konstelasi rezim positivisme. Jika mau seru lagi ada topik HAM kaitanya dengan agama. Lama kelamaan pembicaraan soal HAM kehilangan makna heroiknya: tidak untuk membela korban melainkan menyuguhkan kompleksitas kalau HAM itu pengetahuan yang penuh keragaman.
Turunan dari pengetahuan HAM yang ‘objektif’ itu meluap dalam praktik pelatihan HAM. Muncul pelatihan HAM untuk Polisi, HAM untuk Tentara, HAM untuk Kopassus dan HAM untuk pejabat negara. Ilmu HAM mirip penataran P4. Diajarkan pada siapa saja dan siapapun bisa mengamalkannya. Maka ilmu itu diaplikasikan lewat berbagai prosedur, perangkat dan rincian pasal yang beraneka. Itu sebabnya tiap kali ada aksi massa selalu dipahami dalam konteks penegakan HAM: polisi bagaimana menanganinya sesuai kaidah HAM, massa bagaimana menyatakan pendapat sesuai HAM hingga reaksi apa yang bisa sesuai dengan nilai-nilai HAM. Seolah-olah praktik pengetahuan HAM itu kalau diamalkan dengan sempurna maka semua pihak akan puas. Mirip layanan servis mobil dimana tiap orang akan senang jika melakukan apa yang dicantumkan dalam buku panduan. Itu sebabnya ketika ada pelanggaran HAM mencuat banyak perdebatan. Soal orang naik motor ngebut saja pakai alasan HAM. Bahkan soal memutar musik dengan keras juga pakai dalih HAM. Tiap orang menggunakan kata HAM sesuai keinginan.
Tidak heran jika kemudian berdiri tembok tinggi ketika urusannya meyentuh pelanggaran HAM di masa lalu. Saat ketika serdadu membunuh, ketika ormas agama ikut membantai dan tatkala para budayawan ikut menghujat. Pada situasi sejarah seperti itu, dimana pelaku pelanggaran adalah orang-orang berkuasa, maka gagasan penegakan HAM menemui jalan buntu. Sama halnya ketika operasi perusahaan yang menggilas tanah rakyat, mengubah tanah jadi kubangan lumpur hingga menembak warga di kawasan tambang, tampak sekali pelanggaran HAM tak bisa diterapkan. Tentu kesulitannya bukan karena ‘tiadanya’ pasal yang bisa dijerat, tapi para pelaku itu masih punya kekuatan dan pengaruh. Bahkan kekuatan itulah yang secara mahir mengamputasi berbagai pelanggaran HAM untuk tidak diadili.
Bayangkan betapa sulitnya mengadili pelaku peristiwa pelanggaran HAM pada kasus 65. Begitu pula pada kasus seperti Lapindo, pembangunan semen di Rembang hingga pemukulan petani di Urut Sewu. Kadang para pejabat hukum berkilah bahwa menurut undang-undang syarat untuk dicantumkan sebagai pelanggaran HAM berat diantaranya adalah ‘unsur sistematis’. Sebuah unsur yang meletakkan perbuatan pelanggaran HAM seperti program senam tiap pekan dimana ada surat perintah, ada yang memerintahkan lalu ada yang sudah ditempatkan sebagai sasaran. Ironisnya, debat yuridis ini dilayani pula oleh para aktivis HAM yang punya pengalaman malang-melintang di lapangan. Seolah pagar bernama UU Peradilan HAM itu ketentuannya memang tak perlu dicurigai. Bahkan meletakkan kata pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM saja sudah merupakan klasifikasi yang cacat. Maka kita tak berkutik ketika kejaksaan berkata kalau berkas perkara pelanggaran HAM pada tragedi Mei belum memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan. Proses yuridis telah jadi kuil tahanan para aktivis HAM dalam melakukan pembelaan dan perumusan strategi.
Tapi kita bisa sedikit optimis. Munculnya IPT bisa jadi sebuah taktik mahir untuk menembus ruang itu. Mendorong proses pengadilan rakyat yang menghadirkan para hakim dari luar dengan dukungan International. Lewat pengadilan itu kita bisa memahami kekejaman yang berlangsung serta bagaimana dukungan dari banyak institusi negara maupun kampus dalam melakukan pembantaian. Lumrah jika banyak pihak mulai terusik. Itu yang sesungguhnya jadi landasan praktik penegakan HAM: mengganggu kepentingan status quo, mengguncang keyakinan sesat aparat dan meletupkan kesadaran baru. Kesadaran kalau upaya penegakan HAM itu berbasis pada pemenuhan hak korban dan secara mendasar menyeret para pelaku pelanggaran. Maka kegaduhan IPT hanya merupakan pendahuluan dari terbukanya kotak pandora yang bernama pelanggaran HAM. Sehingga begitu sungguh memalukan jika sampai detik ini tak satupun Pusham di kampus-kampus yang menyatakan dukungan atas inisiatif IPT. Tempat dimana HAM jadi gudang pengetahuan malah berada dalam posisi diam, sekaligus merasa tak berkepentingan pada ‘peristiwa pelanggaran HAM’.
Saatnya kita untuk setia bukan pada nilai normatif HAM, tapi pada ‘peristiwa pelanggaran HAM’. Tiap peristiwa itu melahirkan jejak pelaku. Tiap pelaku pasti punya hubungan, jaringan dan perisai untuk melindungi dirinya. Setia pada peristiwa juga berarti pemuliaan hak-hak korban serta perlindungan penuh terhadap korban. Pada peristiwa pelanggaran HAM kita menemukan makna ‘pertarungan, perebutan dan pemenuhan’ hak. Posisi inilah yang membuat kejahatan HAM tak lagi berunsur pasal tapi hanya berpusat pada ‘pelaku’ dan ‘korban’. Kesetiaan pada peristiwa telah meneguhkan ingatan atas apa yang terjadi di tiap wilayah dengan sebab yang selalu sama: tak ingin ekspansi modal dibatasi, tak mau ada tuntutan atas keadilan, serta tak suka dengan tuntutan pertanggungjawaban. Tiap peristiwa itu selalu melahirkan keyakinan kita bahwa tiap usaha untuk meneguhkan hak selalu berhadapan dengan kepentingan status quo. Begitulah yang terjadi Papua, pesisir pantai Jawa maupun di ladang-ladang tambang. Hal yang sama berlaku di pabrik, sekolah hingga kehidupan keagamaan. Rangkaian peristiwa itu memintal keyakinan kita kalau perjuangan menegakkan HAM masih harus hadapi jalan panjang dan darurat.
Jalan itu panjang karena tiap rintisan untuk hadirkan peristiwa akan berhadapan dengan komplotan penyuka kekerasan. Tak bisa lagi menghadapi mereka dengan cara lama: menuntut polisi untuk melindungi, meminta aparat agar mereka ditangkap atau mengajak publik untuk mengecam. Jalan itu buntu karena banyak kasus kekerasan dimana kebanyakan aparat ‘diam’ dan ‘membiarkan’. Bahkan, lebih banyak lagi peristiwa dimana aparat terlibat sebagai pelakunya. Perlu bagi aktivis HAM untuk menghidupkan peristiwa dengan bersikap, bertindak dan bahkan melawan tiap upaya pembredeilan hak. Saat mahasiswa UIN berhasil memutar film Senyap dan berani berhadapan dengan komplotan penyuka kekerasan, maka kita bisa sebut itu ‘setia’ pada peristiwa. Sama halnya saat dimana Tosan berhasil lolos dari tikaman preman kemudian melawan usaha tambang, itu juga bagian dari ‘setia’pada peristiwa. Tiap kesetiaan pada peristiwa akan menerbitkan harapan baru tentang perubahan. Bukan hanya harapan tapi juga pertaruhan antara mereka yang berusaha melawan lupa dan mereka yang mempertahankan ingatan.
Itu sebabnya jalan ini darurat. Sebab pasukan penghapus ingatan itu menggunakan cara apapun. Memanfaatkan sentimen agama untuk ikut-ikutan mengutuk. Seolah upaya mengingat peristiwa masa lalu merupakan perbuatan dosa. Juga pasukan negara dimobilisasi untuk menghidup-hidupkan lagi hantu ancaman. Kosakata waspadai komunisme, separatisme hingga terorisme terus-menerus diproduksi. Tapi kita semua tahu bahwa benteng itu sebenarnya rapuh: didirikan di atas landasan kenaifan dan dipercaya dengan kebodohan. Maka untuk merubuhkannya hanya butuh taktik dan keberanian. Taktik untuk menghimpun sebanyak-banyaknya korban dengan keyakinan kalau pelaku pelanggaran HAM itu bisa diadili. Sekaligus keberanian yang berlipat-lipat bahwa tiap upaya meruntuhkan ingatan kita lawan dengan cara apapun. Melawan dengan setia untuk selalu membuat peristiwa dan melawan dengan mengorganisir semua kekuatan apa saja yang bisa menciptakan peristiwa. Di ladang buruh peristiwanya adalah mempertahankan hak buruh untuk berserikat, menuntut pemenuhan upah dan hak untuk dilindungi dari proses kerja yang memeras dan eksploitatif. Di ladang petani peristiwanya adalah mempertahankan hak kepemilikan mereka, melindungi mereka dari pemerasan dan membela mereka yang teraniaya. Di sektor mahasiswa peristiwanya adalah mempertahankan kebebasan akademik. Pada semua lapisan bawah ada banyak peristiwa yang bisa terjadi, sudah terjadi dan akan terus terjadi. Peristiwa itulah yang menautkan nilai HAM sebagai nilai yang melindungi, membela dan memastikan hak mereka yang berpotensi dilanggar. Itu sebabnya, gagasan mengenai HAM bukan sebuah dogma apalagi doktrin yang butuh dihapal, melainkan dasar untuk terus menghidupkan ‘peristiwa’ peneguhan HAK.
Kini waktunya kita semua menghidupkan peristiwa. Pada kasus-kasus HAM terus kita kokohkan bangunan ingatan melalui cara apa saja. Ingatan atas kasus 65, Priok, Lampung, Papua hingga Mei jadi sandaran identitas kita sebagai bangsa. Meski untuk tindakan itu kita harus mengalami tekanan, intimidasi dan ancaman. Selalu begitu, upaya penegakan HAM akan selalu berhadapan dengan kekuatan yang mau menumpasnya. Konfrontasi itu wajar terjadi dan tak perlu dihindari. Tiap konfrontasi akan menebalkan garis batas yang lugas antara siapa ‘pelaku’ kejahatan HAM dan siapa ‘korban’. Maka upaya menghidupkan nilai-nilai HAM bukan dengan menebalkan keyakinan atas nilai-nilainya: lewat pelatihan berulang-ulang, melalui studi yang penuh hapalan atau kurikulum HAM yang ditambal sana-sini. Tapi saatnya pengetahuan HAM berujud peneguhan posisi untuk terus berada di sisi korban. Pengetahuan itu bukan seperangkat aturan melainkan landasan untuk menyeret para durjana. Di sana sudah menunggu barisan peristiwa yang memerlukan tangan-tangan kita untuk terlibat. Saatnya kita menyudahi komplotan yang terus berusaha meremehkan usaha menghapus ingatan apalagi memelihara ancaman. Sebab jika itu tidak kita lakukan sekarang, maka kita akan membunuh akal sehat dan keyakinan kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Jika itu sudah tewas maka kita bersiap-siap untuk memasuki ladang kehidupan yang dasarnya adalah brutalitas dan kebencian. Sebuah masa yang pintunya sudah mulai terkuak di hari-hari ini. ***