DEWASA ini, persoalan seputar perdagangan manusia (human trafficking) merupakan salah satu masalah hangat yang diperbincangkan. Ia diperbincangkan karena masalah ini belum menunjukkan sinyal penurunan secara signifikan, bahkan semakin hari semakin menjadi-jadi. Ia juga diperbincangkan karena kebelumpekaan adiluhung dari pemerintah dan masyarakat umum dalam penanganannya. Dokumen Trafficking in Person Report (2002) yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP menyebut Indonesia sebagai urutan ketiga atau terendah dalam penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Negara pada peringkat tersebut bisa dibilang sebagai negara yang memiliki korban dalam jumlah besar. Artinya, aplikasi standar-standar minimum serta usaha-usaha berarti dalam cangkang standar pencegahan dan penanggulangan belum sepenuhnya dilakukan oleh negara.
Perihal Kemanusiaan Manusia
Namun, kontur risalah ini sejatinya ialah soal kemanusiaan manusia. Menyoal human trafficking, manusia yang diperjualbelikan, orang-orang yang dipekerjakan secara paksa, individu-individu yang terepresi secara mental dan fisik merupakan ihwal tak terbantahkan dari aspek humanitas itu. Dengan demikian, barang siapa yang berani membuka selubung, menyuarakan, hingga melantangkan hal-hal seputar human trafficking ke ranah publik layak dimandatkan sebagai pejuang kemanusiaan. Sebaliknya, mereka yang cemas, keder, musykil, lalu acuh tak acuh untuk melibatkan diri patut dipertanyakan status kemanusiaannya. Boleh jadi mereka mengafirmasi ujaran Jean Paul Sartre bahwa manusia merupakan neraka bagi diri sendiri. Sungguh miris, ironis, bahkan tragis.
Dalam langgam optimisme, kita mengakui bahwa di negara ini terdapat segelintir orang yang tak gentar memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi para korban human trafficking. Eksistensi lembaga-lembaga sosial nonprofit hingga pejuang-pejuang individual yang berkoar sana-sini, tentu berpayungkan niat agar human trafficking dapat diredam dan dibumihanguskan. Pada tataran ini, sebuah landasan berpikir patut dikumandangkan. Bahwasannya human trafficking tidak hanya berkutat tentang manusia memperdagangkan manusia tetapi menyangkut totalitas kemanusiaan (korban). Tentang ini, menurut Protokol Palermo (2000), sebuah konvensi selenggaraan PBB, geret-geret yang berfantasi ria di dalam sperma human trafficking ini ialah soal perekrutan orangnya, pengirimannya, penampungannya (baca: jaminan kelayakan hidup), penculikan, dan penipuan (soal upah dan standar hidup). Dengan begitu, praktik eksploitasi dalam prostitusi, perbudakan ataupun kerja paksa, hingga pengambilan organ-organ tubuh merupakan bagian tak terpisahkan dari aktus perdagangan manusia itu. Pola pikir tentang konsep ini mesti terbentuk supaya asumsi kita tidak dangkal hingga keruh, jenuh, dan akhirnya layu.
Konsep Ruang Publik
Patut diakui, sudah barang tentu tilikan terhadap item human trafficking itu bisa datang dari pelbagai macam faset. Deskripsi-deskripsi teoretis, analisis-analisis aktual, hingga konsepsi-konsepsi filosofis dapat menaruh pembedahan atasnya. Tesis risalah ini bertujuan untuk menyadarkan publik akan keberperanannya dalam menangani dan mencegah terjadinya praktik-praktik seputar ‘orang menjual orang’ ini. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi tentu mengagungkan suara rakyat, pendapat rakyat, dan keterbukaan berpikirnya guna mengkultuskan jargon bonum commune. Makanya, pemanfaatan ruang publik demi kemaslahatan bersama merupakan keharusan. Hal ini mendapat penegasan nyata dari filosof kontemporer Jerman, Jurgen Habermas. Dalam kaitan dengan penanganan masalah human trafficking, ruang publik sebagai medium aspiratif-kritis cetusan Habermas mampu berdaya guna untuk saling menggerakkan sesama manusia. Terlebih lagi bila mampu mendesak pemerintah supaya serius bekerja menegakkan keadilan dan kebenaran.
Lebih lanjut, dalam karangannya yang berjudul Strukturwandel der Oeffenlichkeit (Transformasi Struktural dari Ruang Publik) (1962) itu, Habermas menaruh konsentrasi khusus pada berfungsi tidaknya pendapat umum dalam masyarakat modern atau rakyat demokrasi (bdk. Bertens, 2014, hlm. 306). Beliau menegaskan bahwa ruang publik mesti merupakan suatu locus mandiri yang tak mendapat campur tangan negara, dalam artian masyarakat bebas berpendapat, mengutarakan ide-idenya, saling berkonfrontasi satu sama lain untuk urusan kolektif. Bahwasannya warga negara berkesempatan untuk berdiskusi, membicarakan masalah-masalah aktual, dan membentuk gagasan yang berefek konstruktif bagi perjalanan bangsa dan negara. Idealnya, perspektif ruang publik ini tentu membawa kesetaraan, persamaan, keadilan, dan kebenaran dalam etalase keberdemokrasian kita. Dengan demikian, persoalan human trafficking dapat teratasi apabila masyarakat demokrasi sungguh memanfaatkan ruang publik ini. Namun, realitas seringkali berbicara lain. Banyak orang justru larut dalam apatisme sehingga seabrek persoalan kolektif tak dihiraukan. Manusia semakin hidup dalam kerangkeng individualisme dan egosentrisme. Item-item seputar kemanusiaan pun hanya menjadi bahan langak-longok sana-sini tanpa adanya aktus kepedulian. Lebih parah lagi kalau itu dilakukan oleh institusi pemerintah sendiri. Sungguh sebuah deviasi kemanusiaan.
Pemaknaan Ruang Publik dalam Konteks Humman Trafficking
Patut diketahui, ‘kekuasaan’ sejati, menyitir filosof Hanah Arendt (1906-1975), terpatri dalam gerakan solidaritas atau partisipasi warga. Kekuasaan tidak berada pada desakan dan koersi, tetapi tergurat pagan dalam kenyataan bahwa warga negara berkumpul dan bertindak bersama untuk mengubah keadaan. Sebab menurut Arrendt, yang pemikirannya banyak mempengaruhi Habermas, parade kekuasaan tidak ada di dalam istana para birokrat, tetapi dalam forum-forum, gerakan, dan inisiatif warga yang peduli (baca: berwajah kemanusiaan) guna kemaslahatan bersama (bdk. Hardiman, ed. 2010, hlm. 187-188). Berdasarkan basis konsepsi ini, hematnya, persoalan human trafficking sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan dapat ditepis, dipukul mundur, dan diratakan apabila pemanfaatan koridor ruang publik dilakukan secara efektif nan efisien. Dalam gerowong politische öffentlichkeit (ruang publik politis) misalnya, masyarakat bisa melaporkan indikasi-indikasi seputar human trafficking ke pihak berwajib. Apabila ada oknum tertentu yang memperlakukan pekerjanya di luar nilai kemanusiaan, ataupun merekrut tenaga kerja secara paksa dan tanpa prosedur legalitas yang jelas, mereka dapat kita laporkan. Eksistensi lembaga-lembaga sosial, semisal LSM dan organisasi nonprofit lainnya, dapat pula dipergunakan masyarakat demi advokasi bagi para korban. Pada poin lain, para wakil rakyat juga bisa kita manfaatkan dengan aksi diplomatis-legalistis. Ini supaya suara kemanusiaan rakyat tidak lecet oleh empuknya kursi-kursi mereka yang merepresentasikan kita. Pada gatranya, inilah hakikat ruang publik yang termaksudkan dalam konteks demokrasi Indonesia.
Selain itu, pemanfaatan media massa sebagai pengayom aspirasi masyarakat itu wajib perlu. Media massa boleh jadi merupakan sarana paling efektif untuk ‘menyoal’ human trafficking ini. Kita bisa saling bertukar pikiran secara terbuka, membuat aspirasi serentak klarifikasi, menancap kontradiksi serentak konfirmasi. Begitulah media massa memainkan peranannya. Masyarakat pencinta kemanusiaan mesti memanfaatkan ini sebaik-baiknya. Media massa mampu menyeret opini publik sehingga penggunaannya untuk menyuarakan nilai kemanusiaan itu patut dan pantas. Di samping itu, karya sastra dan juga unsur seni lainnya bisa menjadi sarana perjuangan. Semuanya tergantung pada kreativitas kita masing-masing. Karya-karya yang mengusung tema kemanusiaan umumnya dan persoalan perdagangan orang khususnya tentu baik diapresiasi. Inilah sumbangsih kita bagi bangsa dan negara, dan lebih jauh daripada itu demi supremasi kemanusiaan.
Tempat-tempat umum serta ruang-ruang publik lainnya juga bisa menjadi tempat masyarakat berdiskusi dan bertukar pikiran. Tentang ini, patut diakui bahwa kesadaran masyarakat kita masih sungguh lemah. Orang belum terlalu memaksimalkan keberadaan ruang-ruang umum untuk membicarakan hal-hal seputar tenun kebangsaan. Lebih banyak terjadi adalah aksi-aksi serampangan nan destruktif.
Bukan Utopisme Sengkarut
Sekali lagi, humman trafficking merupakan bencana kemanusiaan. Oleh karena itu, semua umat manusia mesti turun tangan, bukan urung angannya. Kita tidak boleh tinggal diam ketika melihat sesama ditindas, dieksploitasi, diperdagangkan, dipekerjakan secara tidak adil, diperbudak, hingga diperlakukan secara tidak manusiawi. Warga negara yang baik dalam iklim demokrasi mesti bersuara. Kita bersuara dengan cara masing-masing. Sebab kita melakukannya terutama untuk kemanusiaan, bukan pamer pamor atau hirup popularitas. Dengan begitu, kita pun memanfaatkan ruang-ruang publik sesuai kecakapan masing-masing. Ada pemaknaan di sana sekaligus pengejahwantahan nilai dan norma kemanusiaan.
Pada akhir tulisan ini, penulis dihantui sedikit kecemasan. Apakah pemaknaan ruang publik dalam mengurus masalah-masalah kemanusiaan sungguh menemukan tajinya, ataukah ruang publik hanyalah tetap menjadi panggung bisu tak tersentuh. Jangan sampai persoalan human trafficking pun tetap menjadi porsi sampingan pemerintah dan segelintir orang bertopengkan egoisme. Dengan demikian, tesis tulisan ini hanyalah menjadi sebuah utopisme sengkarut, suatu harapan yang tak jelas, asa yang tak terjalin indah. Sesuatu yang tak diharapkan, bukan?***
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.