Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review IndoProgress, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI.
Judul Buku: Dreamers of A New Day: Women Who Invented the Twentieth Century
Penulis: Sheila Rowbotham
Penerbit, tahun terbit: Verso, 2010.
Jumlah halaman: 311 halaman
Pengantar
“Women will never be great until they achieve a certain freedom, …that in this sense we cannot make woman free by changing her economic status. What we can do, however, is to create conditions of outward freedom in which a free woman’s soul can be born and grow.”
-Crystal Eastman, feminis sosialis AS
DALAM berbagai buku-buku sejarah, sering kita temukan berbagai narasi yang menyebutkan bahwa laki-laki telah mengubah dunia. Laki-laki yang menemukan teori ini dan itu, memimpin gerakan ini dan itu, menjadi ini dan itu, membuat ini dan itu, mengubah ini dan itu, serta berjasa atas ini dan itu. Tentu saja hal tersebut tidaklah salah. Memang banyak laki-laki yang telah menjadi penggerak, pengubah, atau pemikir yang mempengaruhi peradaban masyarakat dunia hingga saat ini. Sebut saja Karl Marx, yang hingga kini pemikirannya masih ditakuti bahkan sebelum benar-benar dipelajari. Akan tetapi, benarkah hanya laki-laki yang telah berperan dalam mengubah dunia? Benarkah hanya laki-laki yang telah memberi sumbangsih berarti bagi bermacam perubahan relasi dan tatanan sosial yang ada dalam masyarakat? Lebih jauh, benarkah relasi-relasi yang ada dalam masyarakat sudah begitu adanya sejak dulu dan tidak pernah mendapat tantangan dari siapapun?
Buku yang ditulis oleh Sheila Rowbotham ini berisi narasi sejarah alternatif yang menunjukkan bahwa dunia (juga) diubah oleh perempuan. Banyak kemajuan yang kita rasakan dan nikmati hingga saat ini merupakan mimpi dan hasil perjuangan para perempuan abad 20 yang disebut oleh Rowbotham sebagai ‘dreamers of a new day’. Dengan sangat baik dan sistematis, Rowbotham menjelaskan bahwa perempuan, khususnya yang memiliki latar belakang organisasi, menantang tatanan merugikan yang ada dalam masyarakat, memimpikan apa yang sebaiknya ada, dan kemudian berjuang serta mengubahnya sehingga pada akhirnya muncul berbagai kemajuan yang bahkan masih bisa kita nikmati hingga sekarang. Sejarah perjuangan para ‘dreamers of a new day’ dalam buku inilah yang akan saya ulas pada bagian berikutnya.
Dari Suffrage ke Everyday Life
Perempuan-perempuan yang ‘menemukan’ abad 20 yang disebut Rowbotham sebagai ‘dreamers of a new day’ adalah perempuan yang memiliki mimpi untuk mengubah wajah kehidupan menjadi lebih adil dan setara. Mereka mempertanyakan berbagai hal, baik yang menyangkut hubungan personal maupun sosial. Berbagai hal yang dipertanyakan itu seperti pengaturan keluarga, persoalan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak, persoalan yang menyangkut kondisi kerja upahan, persoalan tubuh perempuan, alternatif makanan dan pakaian, hingga kebutuhan waktu untuk rekreasi (hlm. 3).
Aspirasi untuk mengubah kehidupan keseharian serta imajinasi berani mereka akan kehidupan yang lebih baik dapat dilihat dengan jelas, selain pada berbagai buku, juga pada jurnal dan majalah yang mereka dirikan pada masa itu. Jurnal Mother Earth misalnya, didirikan oleh Emma Goldman, dan majalah Forerunner yang didirikan oleh Charlotte Perkins Gilman, seorang feminis sosialis Amerika Serikat (AS). Mereka pun menulis di jurnal-jurnal avant-garde seperti Freewoman di Inggris dan jurnal pemikiran Lucifer di AS (hlm. 12-30). Selain itu, banyak juga karya sastra yang dihasilkan sebagai bagian dari perjuangan mereka. Ini dilakukan sebagai usaha untuk memperluas otonomi personal dalam gerakan yang lebih luas. Di antara karya sastra itu ialah novel berjudul The Awakening karya penulis AS, Kate Chopin dan novel berjudul On the Theshold karya feminis sosialis AS, Isabella Ford.
Mereka, dreamers of a new day, yang datang dari berbagai negara dan latar belakang yang berbeda ini memiliki pertanyaan dan cita-cita yang juga berbeda satu sama lain, meskipun dengan pokok yang sama: memimpikan dunia baru yang bebas dari berbagai macam ketidakadilan yang merusak kehidupan. Kondisi kehidupan akhir abad 19 dan awal abad 20 yang penuh dengan sweatshops dan kemiskinan misalnya, telah membuat para perempuan seperti Winifred Harper Cooley—pejuang hak atas suara (suffrage) dan novelis—mempimpikan abad ke 21 tanpa sweatshops dan kemiskinan (hlm. 1). Kemudian, persoalan ‘ruang publik dan privat’ membuat Mary Beard, seorang reformer sosial Amerika, berpikir bahwa semua hal yang ada dalam kehidupan bersifat politis. Termasuk persoalan yang dihadapi kelas pekerja perempuan dalam hal ‘women sphere’ dan cild care serta motherly care (hlm. 3).
Para perempuan yang kebanyakan merupakan feminis, aktivis serikat, dan atau pejuang gerakan sosial abad 20 ini, dikisahkan oleh Rowbotham memiliki pandangan yang optimistik dan berani memimpikan hal-hal yang pada belum pernah dilihat atau terjadi pada saat itu sebagai sesuatu yang wajar. Dengan demikian, dalam buku ini akan terlihat pula bagaimana peran penting serikat buruh, partai komunis, partai sosialis, dan organisasi perempuan lain dalam menciptakan berbagai perubahan sosial. Dengan kata lain, ada kesatuan antara teori (yang berasal dari pemikiran para dreamers of a new day) dan praktik (yang diwujudkan melalui berbagai serikat, organisasi gerakan serta partai sosialis dan komunis). Satu contoh adalah teori dari Josephine Conger-Kaneko tentang kerja seorang ibu rumah tangga. Menurutnya, kerja domestik tersebut berkontribusi besar bagi penciptaan tenaga kerja pada umumnya. Teori tersebut kemudian diartikulasikan oleh Partai Komunis AS ke dalam tuntutan upah untuk housework (hlm. 139).
Gagasan-gagasan yang mereka ajukan pun sangat beragam karena berangkat dari sumber kegelisahan yang berbeda. Ada yang berangkat dari rasa marah akan kehidupan yang tidak adil di tempat kerja, dari kegelisahan mengenai persoalan pembagian kerja dalam rumah tangga, dan sebagainya. Namun secara umum, gerakan perempuan dalam penuntutan hak atas suara (the suffrage movement) telah menjadi inspirasi bagi banyak perempuan untuk melakukan perjuangan dalam hal lainnya. Rowbotham menyebutnya dengan “dari suffrage ke demokratisasi kehidupan sehari-hari.”
Rowbotham juga menjelaskan struktur pengelompokkan gerakan dan organisasi yang berbeda antara di AS dan di Inggris, dua negara yang menjadi fokus buku ini. Di Inggris, pengelompokkan sosialis dan anarkis pada 1880an dan 1890an menjadi lengkap pada awal abad 20 dengan dibuatnya sebuah Partai Buruh yang secara krusial beraliansi dengan serikat buruh. Sementara itu, di AS pada akhir abad 19, gerakan perempuan lebih banyak mengadvokasi berbagai kebijakan alternatif yang bercorak populis, alih-alih sosialis. Salah satu contoh advokasi yang koalisi ‘kelompok progresif’ lakukan sejak tahun 1890an itu adalah menuntut adanya regulasi negara mengenai kerja dan kondisi kehidupan (hlm. 6).
Dari Pakaian hingga Motherhood
Dalam mencari kebebasan atau women’s freedom, para perempuan yang diceritakan kisahnya dalam buku ini mempertanyakan berbagai hal, termasuk memperdebatkan apakah lebih penting memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi ataukah hal-hal yang berkaitan dengan jiwa perempuan. Dalam hal ini, pada tahun 1920, seorang feminis sosialis AS yang bernama Crystal Eastman menyatakan bahwa perempuan tidak akan bisa menjadi seorang yang hebat hingga ia mencapai sebuah kebebasan emosional tertentu, dimana hal ini tidak bisa dibuat serta merta dengan mengubah status ekonomoninya. Apa yang bisa kita lakukan, menurut Eastman, adalah menciptakan kondisi di luar kebebasan dimana jiwa bebas perempuan dapat dilahirkan dan ditumbuhkan (hlm. 56). Dengan kata lain, Eastman ingin menekankan bahwa kebebasan perempuan tidak mungkin tercapai jika basis material yang memungkinkan perempuan untuk bisa merasakan kebebasan, yakni hidup dengan layak, belum terpenuhi dengan baik. Dalam lintasan sejarah sebagaimana yang ada di dalam buku ini, terlihat bahwa para dreamers of a new day memperjuangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Dreamers of a new day menggugat banyak hal yang oleh struktur masyarakat yang ada saat itu diyakini sebagai sesuatu yang kodrati, hal-hal yang ditetapkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan atau tidak oleh perempuan. Salah satu contoh konkretnya adalah persoalan menikah. Isabella Ford, seorang feminis sosialis Inggris, yang menulis sebuah novel berjudul On the Theshold 1895, menggugat keyakinan bahwa seorang perempuan haruslah menikah (hlm. 37). Para feminis sosialis dan anarkis akhir abad 19 sebagaimana contoh di muka memang menentang standar moral yang ada dalam masyarakat. Mereka meyakini bahwa suatu hal yang dinilai baik dalam masyarakat di suatu waktu belum tentu akan berlaku demikian di waktu yang lain (hlm. 39).
Soal lain yang mereka gugat tersebut ialah mengenai standar berpakaian bagi perempuan. Sebuah asosiasi Rational Dress Society yang didirikan pada tahun 1888 misalnya, menaruh concern yang besar mengenai pakaian yang nyaman, sehat, tepat guna dan sederhana. Ada pula asosiasi lain yakni The Healthy and Artistic Dress Union yang dipimpin oleh Janet Ashbee dan didirikan pada 1901. Asosiasi ini bertujuan untuk mempromosikan pakaian berjenis Grecian bagi perempuan yang mencari ekspresi kebebasan. Menurut Charlotte Perkins Gilman, seorang feminis sosialis AS, pembedaan pakaian antara laki-laki dan perempuan penting untuk tidak melupakan perbedaan seks di antara keduanya. (hlm. 37-43).
Namun, ada juga perempuan yang mengenakan gaya maskulin yang sekaligus menandakan kedatangan mereka di zona laki-laki (hlm. 42). Pada bagian selanjutnya, diceritakan pula sejarah mengenai bagaimana gaya berpakaian yang boyish diidentikkan dengan kaum lesbian pada tahun 1929 (hlm. 45). Di sisi yang lain, feminis seperti Silvia Pankhurst (yang juga seorang suffragist) dan Ada Nield Chew tidak menaruh perhatian pada persoalan ini. Meskipun ada juga perlawanan yang dilakukan oleh aktivis perempuan dengan menggunakan pakaian, seperti yang dilakukan oleh Milka Sablich yang terlibat dalam pemogokan di industri pertambangan di Colorado, AS, pada 1920an. Pada saat itu, Milka yang merupakan anak penambang AS mengenakan gaun berbahan sutera dalam pemogokan untuk menyuarakan sebuah pesan “Miner’s children like pretty things as well as anyone else!” (hlm. 43).
Selain pakaian, para perempuan dreamers of a new day pun menaruh perhatian yang besar pada seks sebagai problem sosial. Pada masa itu, hygine sex menjadi isu yang cukup hangat dimana para ahlinya mendekati persoalan seks dengan menggunakan kerangka regulasi (hlm. 67). Terkait dengan itu, Dora Foster, seorang pengontrol kelahiran dari Inggris, mengavokasi pendidikan seks untuk perempuan (hlm. 59). Dalam persoalan mengenai seks ini, salah satu perdebatan besar yang kemudian muncul ialah persoalan mengenai pernikahan dalam hubungannya dengan kebahagiaan perempuan.
Edith Vance, seorang free thinker, berpendapat bahwa penolakan terhadap pernikahan tidak serta merta menjamin kebahagiaan perempuan (hlm. 63). Kemudian, Margaret Mc Millan, seorang aktivis Partai Buruh, menyatakan bahwa free love lebih buruk daripada pernikahan (hlm. 65). Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Leonora Eyles, seorang penulis dan jurnalis terkenal, terhadap perempuan kelas pekerja menunjukkan bahwa banyak kehidupan pernikahan para perempuan pekerja justru berakhir dengan ketidakbahagiaan dalam hal seks dimana hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak memadainya pendidikan seks yang mereka dapatkan dari berbagai institusi seperti Gereja dan sekolah. Kedua, buruknya kondisi kehidupan mereka, seperti rumah yang buruk, makanan yang tidak sehat, dan terlalu banyaknya kehamilan (hlm. 77).
Berkaitan dengan persoalan tersebut, problem birth control atau kontrol atas reproduksi perempuan pun mengemuka. Sejak awal abad ke 19, para feminis radikal berargumen bahwa kontrol atas reproduksi dapat menguntungkan masyarakat, khususnya masyarakat miskin (hlm. 86). Kemudian, senada dengan itu, kaum enviromental pun berpendapat bahwa birth control dapat membantu perempuan kelas pekerja dan meningkatkan kehidupan keluarga mereka (hlm. 90). Sementara itu, banyak kaum Marxis tetap menolak birth control (hlm. 91). Meskipun pada tahun 1926, koran Partai Komunis Inggris, Woman Worker, menyatakan bahwa Partai Komunis Inggris mendukung birth control sebagai sebuah cara untuk menolong keluarga kelas pekerja keluar dari kemiskinan sekaligus memberikan kebebasan bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam aktivitas politik (hlm. 99). Salah satu perempuan yang telah mengkampanyekan dan menyediakan informasi mengenai birth control serta menghubungkannya dengan program Marxis yang lebih luas ialah Antoniette Konikow (hlm. 94-95).
Berkaitan dengan mothering, terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian atau concern para dreamers of a new day. Pertama, konsep mengenai keseimbangan antara kerja dan keluarga yang mendapatkan gugatan misalnya dari feminis sosialis AS, Harriot Stanton Blatch (hlm. 118). Kedua, para ibu yang terisolasi di rumah secara individual membuat Charlotte Perkins Gilman merumuskan pemikirannya mengenai bentuk kolektif perawatan anak di luar rumah (hlm. 119). Ketiga, mengenai pendidikan anak, dua Russell, Dora Russell dan Bertrand Russell berpendapat bahwa anak-anak tidak selayaknya diperkenalkan dengan dunia buku nan akademis terlalu dini (hlm.121). Keempat, para feminis ‘modern’ tahun 1920an berpendapat bahwa konsep baru mothering membutuhkan sebuah bentuk baru dari fathering, yang melampaui partisipasi sederhana dari keterlibatan laki-laki dalam merawat anak (hlm. 123).
Para dreamers of a new day bukan hanya merumuskan teori-teori. Mereka juga melakukan banyak hal. Di Inggris, Women’s Labour League (Liga Buruh Perempuan) membuat sebuah klinik ibu dan bayi di sebuah wilayah kelas pekerja di London (hlm. 105). Kemudian, setelah revolusi Rusia 1917, Alexandra Kollontai mendeklarasikan mothering sebagai sebuah ‘fungsi sosial’ dan memperkenalkan 8 (delapan minggu cuti melahirkan, istirahat menyusui dan merawat anak di tempat kerja, pembebasan biaya perawatan pra dan post kelahiran serta biaya hidup untuk ibu melahirkan (hlm. 103). Adapun debat mengenai upah untuk para ibu, telah dimulai misalnya sebelum Perang Dunia I. Saat itu, gerakan buruh perempuan Inggris mulai memperdebatan ide mengenai pembayaran mingguan oleh negara terhadap para ibu (hlm. 110). Kemudian, selama periode perang, Eleanor Rathbone dan Family Endowment Society melanjutkan kampanye mengenai biaya hidup bagi para ibu (hlm. 112).
Dari Housework hingga Ide Baru tentang Demokrasi
Persoalan berikutnya yang masih berkait erat dengan mothering ialah housework. Dalam hal ini, para perempuan dreamers of a new day telah pula memikirkan persoalan housework sebagai salah satu persoalan pokok yang dihadapi mereka. Salah satu pelopornya ialah Ellen Swallow Ricards, seorang guru home economics (hlm. 10). Ia menuangkan pemikirannya mengenai persoalan housework dengan pendekatan science dalam buku berjudul ‘The Chemistry of Cooking and Cleaning’ (1882). Menurutnya, dunia adalah rumah bagi setiap orang. Konsekuensinya, pekerjaan merawat rumah membutuhkan pengetahuan yang memadai mengenai lingkungan. Ia kemudian menemukan istilah ‘oekology’ atau yang kita kenal hingga saat ini dengan ekologi (hlm. 125).
Inspirasi pendekatan saintifik dalam memandang housework ini tentu saja datang dari persoalan langsung mengenai housework yang dihadapi di dalam masyarakat. Usaha mengaitkan housework dengan ekonomi pun dilakukan, di antaranya oleh Helen Campbell, salah satu pendiri National Household Economic Association, yang tumbuh dari Woman’s Congress of the World’s Columbian Exposition (hlm.10 dan 125). Menurut Rowbotham, penerjemahan urusan-urusan rumah tangga ke dalam sebuah metafora sosial ekonomi memungkinkan perempuan untuk menegaskan hal-hal yang ada di dalam reformasi kehidupan di luar rumah. Dalam hal ini, asosiasi The New York Ladies’ Health Protective (1894) menyatakan bahwa dengan housework, perempuan sebenarnya telah menjalankan apa yang disebut dengan ‘city housekeeping’ yang memungkinkan perempuan berpartisipasi aktif di ranah publik (hlm. 125-128).
Sementra itu, aktivis serikat buruh seperti Mary Macarthur tetap mengkritik anggapan bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Senada dengan Macarthur, Lizzie Holmes (salah satu pemimpin dalam gerakan penuntutan delapan jam kerja), dalam artikelnya yang berjudul ‘The Unwomanly Woman’ di jurnal libertarian Our New Humanity berpendapat bahwa perempuan tidak harus menjadi ibu rumah tangga (hlm. 131-132). Kampanye mengenai kolektivisasi beban pekerjaan domestik pun dimulai, di antaranya oleh Hellen Campbell dan Ellen Swallow Ricards yang mengkampanyekan dapur umum (hlm. 10). Kampanye kolektivisasi housework ini sejalan dengan pemikiran para feminis Marxis, seperti Clara Zetkin, yang memperjuangkan tersosialisasinya kerja-kerja rumah tangga (hlm. 138).
Di dunia kerja perburuhan manufaktur, para buruh perempuan juga mulai memperjuangkan waktu libur untuk para buruh, bersamaan dengan perjuangan untuk meningkatkan upah dan kondisi kerja yang lebih baik (hlm. 175). Jane Adams dan Florence Kelley yang menginvestigasi sweated work di Hull House misalnya, meyakini bahwa harus ada kombinasi dalam perjuangan antara organisasi dan proses legistatif (hlm. 174). Selain itu, para buruh perempuan pun memperjuangkan upah yang setara antara perempuan dan laki-laki, seperti yang dilakukan oleh Fabian Women’s Group di tahun 1900an (hlm 181).
Cakupan pengorganisiran buruh, termasuk buruh perempuan, ke dalam serikat pun diperluas. Seperti yang dilakukan oleh Women’s Trade Union Leauge di bawah kepemimpinan Emilia Dilke dan Clementina Black (hlm. 176) yang juga mengorganisir pekerja laundry (hlm. 176). Hal ini penting dilakukan mengingat keterorganisiran perempuan begitu penting dalam menentukan nasib kehidupannya, termasuk di tempat kerja. Sebagaimana dikatakan oleh Mary Macarthur “Women are unorganized because they are badly paid and poorly paid because they are unogranized” (hlm. 177).
Para dreamers of a new day sebagaimana disebutkan Rowbotham dalam bukunya ini kemudian menemukan bahwa usaha-usaha mereka untuk mendemokratiskan kehidupan sehari-hari—seperti yang telah diulas sebelumnya—mensyaratkan upaya yang paralel pula dalam merancang ulang demokrasi (hlm. 214). Salah satu ide yang mengemuka ialah ide tentang citizen-mother, yang tidak hanya diekspresikan di dalam kerangka kolektivisme negara, tapi juga memperluas jangkauan rumah tangga ke dalam komunitas dan kemudian ke lingkup politik yang lebih luas (hlm. 216).
Ditambahkan Rowbotham, feminisasi teori demokrasi di lingkungan tempat kerja juga telah terbukti dapat mengubah pola dari pengorganisiran buruh (hlm. 222). Rowbotham menutup tulisannya dengan mengatakan bahwa dengan mengguncang batas-batas antara apa yang dianggap personal dan publik, dan juga menerima berbagai tanggapan yang mengecewakan mengenai persoalan gender, para dreamers of a new day telah memberi stimulus bagi munculnya pertanyaan yang lebih jauh mengenai politik, kewarganegaraan, demokrasi, kerja, budaya, dan eksistensi sosial. Mereka mungkin berselisih mengenai penggambaran berbagai program dan utopia, tapi untuk hal-hal yang besar mereka selalu dapat bersetuju, dan karena itu kehidupan pun tidak akan pernah sama lagi (hlm. 234).
Penutup
Another world is possible. Kalimat inilah yang langsung terlintas di benak saya ketika selesai membaca buku yang sungguh menggugah ini. Buku yang kaya akan data sejarah ini menyediakan acuan imajinasi yang luar biasa mengenai perubahan sosial yang perlu kita ciptakan di abad ke-21 ini. Gerakan perempuan, serikat-serikat rakyat, serta organisasi gerakan lainnya dapat mendiskusikan isi buku ini untuk kemudian merumuskan agenda perubahan bersama sebagaimana yang dilakukan oleh para dreamers of a new day pada awal abad ke-20.
Tak dapat dielakkan, buah pemikiran dan perjuangan para dreamers of a new day masih dapat kita rasakan hingga saat ini. Bukan hanya yang menyangkut persoalan di tempat kerja, tapi juga sesuatu yang lebih luas dengan domain ruang publik. Meskipun di sisi lain, kita masih menemui problem-problem besar yang sama dengan yang mereka temui pada masa itu, seperti persoalan dalam hal mothering, housework dan kondisi kerja. Dalam konteks Indonesia, hal ini disebabkan oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya faktor kemandekan gerakan perempuan yang praxis, terutama semenjak Orde Baru Soeharto berkuasa tahun 1966-1998. Namun demikian, banyak pula usaha perubahan yang dilakukan gerakan perempuan saat ini untuk menciptakan kehidupan yang lebih setara dan adil. Salah satunya ialah perjuangan untuk mengubah status Pembantu Rumah Tangga menjadi Pekerja Rumah Tangga yang berkonsekuensi pada persoalan upah dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan persoalan kerja.
Semua yang tertulis dalam buku ini adalah fakta sejarah yang tidak banyak diketahui oleh publik. Oleh karena itu, keberadaannya semestinya dapat memicu para pemikir dan atau penulis yang memiliki concern terhadap perjuangan perempuan untuk terus memunculkan narasi-narasi baru di bidang lainnya, dalam kaitannya dengan usaha pembebasan perempuan dari berbagai belenggu penindasan. Dengan banyaknya narasi-narasi alternatif sebagaimana dicontohkan oleh Rowbotham melalui buku yang sangat inspiratif ini, bukan tidak mungkin, generasi perempuan di Indonesia saat ini dapat menjadi dreamers of a new day baru yang nantinya tercatat dalam sejarah sebagai perempuan penemu abad ke-21.
***
Penulis beredar di di Twitter dengan id @ffildzahizz