SETELAH sekian lama terbentuk, Kantor Staf Presiden (KSP) masih belum menemukan bentuk mapannya. KSP sebagai lembaga lingkar kepresidenan (presidential circle), tampak gamang memosisikan diri di tengah tekanan dua aras.
Pertama, intra lembaga negara melihat KSP muncul dengan kewenangan koordinasi antarkementerian dan menjadi tambahan struktur birokrasi. Maka, KSP menjadi tumpang-tindih dengan fungsi wakil presiden dan menteri koordinator. Kedua, opini bahwa KSP dibentuk mengakomodir kelompok-kelompok politik yang telah mendukung Joko Widodo. Sehingga, pembentukan KSP adalah pemborosan APBN.
Melihat KSP
KSP mesti segera menentukan bagaimana posisi praktik kelembagaannya. Memang, KSP terlanjur harus bergerak dalam dilema. Di satu sisi sebagai lembaga yang sejak dibentuk telah banyak dikritik (sebelumnya bernama Unit Staf Kepresidengan melalui Perpres No. 190/2014, diganti dengan Perpres No. 26/2015 tentang KSP). Di sisi lain, adanya kebutuhan menjalankan fungsi ideal kelembagaan staf kepresidenan.
Tidak bisa dipungkiri, unit ini lekat dengan kesan akomodatif terhadap birokrasi pasca UKP4 (bentukan Presiden SBY) dibubarkan, tim transisi, staf kepresidenan, dan beberapa kalangan yang dipercaya Joko Widodo dalam rekomendasi kebijakan.
Namun, dalam masyarakat politik, bahkan di negara maju, langkah akomodatif adalah hal jamak dalam membangun jaring pengaman dan penguat politik presiden. Maka, dalam hal ini, alih-alih sekadar dilihat sebagai balas jasa, pembentukan lembaga staf kepresidenan bisa dilihat sebagai pemusatan kelompok politik tersebar (localizing factions). Sehingga, tidak “mengganggu” wilayah birokrasi pemerintahan.
Dalam konteks yang lebih luas, pembentukan KSP sebenarnya adalah tonggak awal (milestone) tradisi politik baru Indonesia, dilihat dari fungsi idealnya dalam bentuk kelembagaan sekarang.
Pertama, keberadaan KSP dapat menggeser perspektif publik dalam memandang pemimpin, dari sekadar pribadi subjektif menjadi profesional. Subjektivisme politik adalah sebab utama fenomena demokrasi prosedural yang melahirkan money politics dan pencitraan pribadi tanpa akuntabilitas politik di masa jabatannya. Dalam masyarakat politik maju, figur seorang pemimpin dilihat dari dua hal, yaitu track record dalam bidangnya dan cacatan korupsi (untuk proyeksi ke depan), serta visi-misi dan janji kampanye (ukuran keberhasilan jika menjabat).
Kedua, akuntabilitas politik yang akan berdampak penghematan biaya politik. Visi-misi dan janji politik akan dinilai ketercapaiannya, yang menjadi track record dalam karir politik. Implikasinya, tidak perlu lagi biaya kampanye begitu besar yang berimbas politik uang dan transaksional. Publik mengenal sosok pemimpin melalui catatan politiknya.
Ketiga, reformasi tata kelola hubungan kelembagaan pemerintahan. Hal inilah yang kemudian banyak menimbulkan kontroversi. Argumen tumpang-tindih fungsi dengan wapres dan menko atau terlalu berkuasanya KSP pada dasarnya hanya asumsi. Wapres, dalam konstitusi, memiliki tugas dan fungsi mendampingi dan membantu presiden. Indonesia sendiri menganut sistem presidensial di mana kepala negara adalah tunggal di tangan presiden. Sedangkan, jika keberadaannya tetap ada, menko bertugas pada sinergi program antarkementerian pada bidang koordinasinya. Sedangkan, posisi KSP ada pada bagaimana mengawal Nawacita dan kebijakan prioritas terwujud (policy advocacy). Melalui monitoring pencapaian dan kinerja kabinet sampai pada analisis kondisi kebijakan secara real-time kepada presiden.
Keempat, KSP menjadi lembaga komunikasi strategis presiden, baik internal maupun eksternal. Fungsi ini belum pernah ada sebelumnya, kecuali pada juru bicara presiden yang tugasnya hanya menjelaskan situasi yang sedang terjadi terkait presiden. Dalam komunikasi strategis internal, KSP mensuplai informasi kementerian (berkoordinasi dengan Mensesneg) dan rekomendasi ke presiden. Eksternalnya, KSP menjadi semacam humas yang memberikan penjelasan faktual kondisi kebijakan presiden dan menampung aspirasi publik (complaint handling). Di sinilah kemudian fungsi think-tank yang diterapkan pada masa UKP4 tetap dijalankan.
Secara umum, fungsi strategis KSP tersebut adalah bagian dari penguatan sistem presidensialisme. Namun, jalannya KSP hari ini tidak ubahnya sebuah struktur birokrasi biasa yang menjalankan kerja UKP4.
Masalah KSP
Langkah Presiden Joko Widodo mengubah Unit Staf Kepresidenan menjadi Kantor Staf Kepresidenan sekaligus mengganti pimpinannya telah tepat. KSP di satu sisi mengisi kebutuhan kelembagaan presiden dan fungsi-fungsinya tersebut, dan di sisi lain menguatkan kesan fleksibilitas melalui pergantian kepala, dari Luhut Panjaitan (militer) ke Teten Masduki (sipil).
Persoalan kemudian adalah kemauan pimpinan KSP menentukan posisi praktik kelembagaan. Kegamangan KSP untuk tegas menjalankan fungsi strategis justru membuat lembaga ini disikapi sinis lembaga negara lain, karena hanya terlihat sebagai lapisan (layer) yang menghambat komunikasi kepada presiden.
Perubahan pimpinan KSP dari Luhut ke Teten tanpa perubahan substansi kerja juga menjadi dilema bagi Joko Widodo. Kontroversi—yang sebenarnya kurang substansial—tentang Perpres KSP tanpa didahului UU, berdampak besar karena lemahnya posisi dan praktik kelembagaan KSP sendiri. Terlebih, komentar Teten (14/8) tentang kemungkinan peleburan KSP ke Sekretariat Kabinet, memperlihatkan pimpinan KSP ini belum mampu melancarkan komunikasi strategis di internal pemerintahan.
Kelancaran kebijakan mensyaratkan tata kelola kelembagaan yang mapan. Pemerintahan Joko Widodo sendiri telah berjalan lebih dari satu tahun. Kegamangan KSP yang tidak segera diakhiri akan berdampak buruk pada dua hal fundamental, yaitu sinergitas antarlembaga negara (tata kelola intra-pemerintah) dan image kepemimpinan Joko Widodo.
Hal yang perlu KSP segera lakukan adalah menegaskan posisi praktik kelembagaan berbasis empat fungsi strategisnya. Langkah ini membutuhkan kesatuan pandangan internal kelembagaan (institutional settlement) di KSP. Menjadi hal yang sulit terwujud jika Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, tidak melakukan komunikasi politik yang tepat dan intensif dengan anggota kabinet dan stakeholders lain dalam struktur pemerintahan.
Alternatif lain melalui pendekatan regulasi, dengan revisi Perpres yang menegaskan posisi dan kerja KSP. Namun, tanpa kuatnya komunikasi politik Kepala Staf Kepresidenan, tekanan dari luar KSP bukan hal yang tidak mungkin untuk kembali muncul dalam bentuk lain.
Memang, pembentukan dan peleburan lembaga jamak terjadi. Namun, dengan kondisi KSP yang sejak awal dibentuk sebagai bagian lembaga kepresidenan, melebur atau membubarkan menjadi pilihan berimplikasi politis yang jauh lebih besar. Karena artinya, KSP hanya sebagai spekulasi politik Joko Widodo yang mencoba membentuk wadah akomodatif bagi para pendukungnya dalam struktur pemerintahan. Atau, kesan bahwa pengaruh presiden mempertahankan KSP tidak cukup kuat.***
Penulis adalah peneliti di Indonesia Policy Analysis Center (IPAC), Yogyakarta.