BAGI saya yang termasuk dalam generasi yang masa Sekolah Dasarnya masih bersinggungan dengan urusan butir-butir Pancasila, menghafal peta Indonesia bisa jadi lebih mudah dari anak-anak SD zaman sekarang. Saya menyadari hal itu baru hari ini dan tentu dengan secuil ketaksengajaan. Awalnya, saya hendak menulis perihal proklamasi kemerdekaan Republik Demokrasi Timor Leste, yang jatuh pada 28 November kemarin. Ide ini mengingatkan saya pada pelajaran IPS atau semacamnya di SD dulu, perihal Peta Indonesia. Belakangan saya sadar, pelajaran itu tidak terlalu berguna untuk banyak orang. Atau jangan-jangan memang banyak yang tidak mencerna dengan baik pelajaran itu. Pasalnya, masih banyak kenalan baru yang saya temui hingga hari ini menganggap Pulau Flores dan Papua itu berdekatan letaknya, sedekat Pulau Madura dan Jawa.
Nah, di zaman saya SD itu Bung dan Nona, jumlah provinsi di Indonesia itu cuma ada 27. Menghafalnya gampang—tentu saja ditambah dengan menghafal ibu kota-ibu kotanya yang juga berjumlah 27—dibandingkan dengan anak SD sekarang yang harus menghafal 34 buah provinsi—setali tiga uang dengan jumlah kota yang perlu mereka hafal. Tentu saja kita tidak perlu memusingkan apakah dalam proses menghafal dan mempelajari itu terjalin sebuah hubungan kedekatan dan timbul ‘rasa memiliki’ dari mereka atas tiga puluh empat kota itu.
Barangkali a la bisa karena biasa, lain zaman lain otaknya. Ketiga puluh empat nama provinsi dan kota-kota itu mudah dihafal anak SD masa kini; semudah anak SD di masa saya. Tentu saja, menurut saya, lebih mudah diminta menggambarkan atau mengisi peta buta Indonesia dengan 27 provinsi. Lebih sedikit ‘pembelahan-pembelahan’ di pulau-pulau besar mau pun kecil di Indonesia yang perlu ditebak tinimbang yang sekarang.
Saya curiga, guru IPS saya kala itu termasuk guru yang bertangan besi dan barangkali sungguh menakutkan untuk saya pribadi. Ingatan saya akan sosoknya atau namanya sudah terkikis sama sekali saat ini. Tentu saja saya bukan berarti mengerdilkan jasa para pahlawan tanpa tanda jasa yang pernah menghiasi hari-hari saya. Tetapi, memang begitulah ingatan manusia. Terkadang ada hal tertentu yang begitu melekat, terkadang nama dan rupalah yang terus menghantui meski sudah dipisahkan jarak bertahun-tahun lamanya dan kehilangan kabar bertera-tera byte. Hingga kini, bahkan secara tanpa sadar, saya sesungguhnya masih familiar dengan Indonesia yang berjumlah 27 provinsi itu; lengkap dengan samar-samar pembagian provinsinya. Bahkan pernah terbersit di dalam pikiran saya, jangan-jangan seluruh bagian ID psikologi saya diisi dengan narasi Indonesia yang berisi 27 Provinsi ini.
Bung dan Nona jangan mengira saya begitu bodohnya untuk tidak tahu segala perubahan yang terjadi di negara tercinta Indonesia kita ini. Cuap-cuap saya di beberapa tulisan sebelum ini cukup sebagai bukti bahwa saya mengikuti perubahan itu, meski pun bukan berarti terlibat dengan penuh patriotik juga. Samalah kasusnya dengan tahu tentang segala perkembangan gadget terbaru, namun apa daya kantong tak memungkinkan untuk mencobanya dan terpaksa pasrah pada keterbatasan yang ada.
Salah satu perubahan besar itu tentu saja penghilangan secara drastis provinsi ke 27, yang waktu masih di SD dulu sering kami hafalkan dengan embel-embel, ‘provinsi termuda’. Tentu saya tak perlu mengulangi lagi kenyataan bahwa tentara Indonesia lantas beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Timor Leste menduduki dengan paksa negeri itu untuk menjajahnya. Predikat ‘provinsi termuda’ ini pada saat itu, setahu saya, menimbulkan rasa iba pada anak-anak SD nan lugu penghafal butir-butir Pancasila. Seolah-olah Indonesia adalah sebuah negara besar dan ‘provinsi termuda’ adalah adik bungsu kita yang imut dan lucu-lucunya. Imajinasi ini bisa gampang dijelaskan melalui imajinasi Orde Baru tenang Indonesia itu sendiri; sebagai sebuah keluarga.
Namun, memang lumrah sungguh sebuah negara penjajah membangun image bahwa dirinya adalah Messias bagi negara jajahannya; datang lantas memberikan kebaikan hati, membantu untuk berdikari, atau membebaskan dari penjajahan yang lain. Pemerintah Belanda, kalau saya tak salah, baru pada era 1950-an membuka museum sejarah penjajahan mereka atas Indonesia di Kota Anhem. Baru saat itu jugalah, kalau lagi-lagi saya tak salah sumber karena ketika menyinggung sejarah terkadang peliknya minta ampun, Pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa mereka menjajah wilayah Hindia Belanda. Sebelumnya, narasi yang berkembang persis narasi modernitas dalam ilmu sosial, Belanda mengadabkan manusia-manusia di Hindia Belanda. Seperti biasa pula, masyarakat biasa termakan dengan kampanye ini terkecuali aktivis dan intelektual yang kerapnya bagian kecil di dalam masyarakat. Begitu juga Jepang. Hingga era 1950-an kebanyakan dari masyarakat mereka pun merasa bahwa Jepang bukan menjajah tetapi memerdekakan dan melindungi negara-negara Asia lainnya dari kolonialisme Eropa.
Maka Orde Baru sesungguhnya mencontohi dan belajar dengan baik dari para penjajahnya dahulu ketika memasang frase ‘provinsi termuda’ di dalam buku-buku IPS. Bukan sekadar pada penjajahan atas Timor Leste, mereka pun belajar sungguh dalam hal menjajah rakyatnya sendiri. Beban itu tanpa sadar menjalar pula di dalam kasus ID yang dipenuhi oleh Indonesia sebagai 27 provinsi beserta ingatan akan peta dengan separoh Pulau Timor yang diberi warna hijau misalnya, sedangkan Papua Nugini, Kalimantan Bagian Utara serta semenanjung Malaysia diberi warna putih. Beban itu barangkali juga menjalar pada terus bertambahnya jumlah provinsi yang perlu dihafal dari tahun ke tahun atas nama Otonomi Daerah.
Setiap generasi dijalari beban sejarah penindasan oleh bangsa sendiri dengan caranya masing-masing sesuai dengan zamannya.***