SETELAH didera pelemahan selama berbulan-bulan, dan sempat mendekati level 15000 per USD, nilai tukar rupiah secara perlahan-lahan mengalami pemulihan. Meskipun belum kembali ke posisinya semula di level 12.000 per USD, seperti diawal tahun 2015.
Sejumlah kalangan (terutama para pendukung pemerintah) berspekulasi bahwa penguatan rupiah tersebut merupakan pertanda keberhasilan kinerja pemerintah, mendorong deregulasi melalui sejumlah paket kebijakan ekonominya. Agaknya pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak seutuhnya benar. Penguatan rupiah pertama-tama disebabkan intervensi yang dilakukan Bank Indonesia dan pemerintah di pasar dengan menggunakan cadangan devisa untuk mengangkat performa rupiah.
Intervensi yang dilakukan memang mampu mendongkrak nilai tukar rupiah sebesar 9,1 persen pada pekan-pekan berakhir bulan Oktober 2015. Namun pada saat yang bersamaan cadangan devisa Indonesia pada bulan-bulan tersebut juga mengalami penurunan yang sangat tajam.
Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa RI pada akhir Oktober 2015 tercatat sebesar 100,7 miliar dollar AS. Angka ini turun 1 miliar dollar AS dibandingkan posisi September 2015 yang mencapai 101,7 miliar dollar AS atau lebih rendah jika dibandingkan dengan sebulan sebelumnya (Agustus) sebesar 105,3 miliar dollar AS. Dan berada di level terendahnya sejak januari 2014 dan mendekati ambang batas nilai psikologis di posisi 100 miliar dollar AS.
Penurunan cadangan devisa Indonesia tersebut disebabkan oleh meningkatnya biaya untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan operasi moneter untuk untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Kendati mengalami penurunan tajam, Bank Indonesia mengklaim bahwa cadangan devisa tersebut masih cukup membiayai 7 sampai 6 bulan impor, serta mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan kata lain, cadangan yang tersedia dinilai masih dapat mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi bagi negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada aliran dana asing yang masuk ke sektor finansial, posisi cadangan devisa yang sudah mendekati ambang batas psikologisnya tersebut sudah sangat mengkhawatirkan. Terlebih, bila dicermati dengan seksama, meningkatnya perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan dampak dari kebijakan the Fed pasca krisis 2008, yaitu; suku bunga rendah dan Quantitative Easing. Perpaduan dua kebijakan tersebut menghasilkan dana-dana dalam jumlah besar. Krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa membuat dana-dana di kawasan tersebut mengalir ke pasar keuangan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia yang menjalankan kebijakan suku bunga lebih tinggi. Aliran dana ini membuat Indonesia kebanjiran likuiditas. Dana-dana asing yang mengalir ke Indonesia, mayoritas masuk ke instrumen-instrumen jangka pendek.
Namun sejak semester ke II tahun 2011, persepsi pasar mengenai membaiknya data-data perekonomian AS mendorong perlahan-lahan dana asing ke luar dari Indonesia. Terlebih dana-dana yang diparkir pada instrumen keuangan jangka pendek seperti saham dan obligasi sejak 2008, telah memperoleh imbal hasil (keuntungan) cukup besar. Sebagai gambaran, tingkat pengembalian modal (Return on equity/ROE) IHSG pada tahun 2011 telah mencapai 29,6 persen, merupakan yang tertinggi di ASEAN, atau menempati posisi kedua di antara negara-negara paling berkembang—satu tingkat di bawah Cina yang mencapai ROE 30,2 persen. Tahun 2012, rasio harga terhadap laba bersih (Price to Earning Ratio) IHSG sudah mencapai 15-17 kali.
Kembalinya dana-dana jangka pendek ini memicu tekanan terhadap rupiah. Dalam delapan bulan pertama 2015, rupiah sudah anjlok sebesar 11 persen, dari level 12.474 per USD pada 2 Januari 2015 menjadi 14.000 per dolar AS menjelang tutup bulan Agustus. Memasuki bulan September hingga November, Bank Indonesia melakukan intervensi besar-besaran ke pasar untuk mendongkrak performa rupiah. Hasilnya rupiah berada pada kisaran 13.500 per USD.
Namun usaha mendongkrak performa rupiah tersebut harus dibayar mahal dengan menguras cadangan devisa Indonesia hingga mendekati ambang batas nilai psikologis di posisi 100 miliar dollar AS. Dalam berbagai perhitungan, posisi cadangan devisa yang mendekati ambang batas psikologisnya tersebut diprediksi tidak akan mampu melindungi rupiah jika terjadinya arus ke luar (capital outflows) modal asing. Bank Indonesia dapat dipastikan kekurangan amunisi jika Bank Sentral AS (The Federal Reserve) menaikkan suku bunga acuannya pada Desember 2015 mendatang. Sialnya, wacana The Fed menaikkan suku bunga acuannya semakin menguat akhir-akhir ini.
Konsekuensinya untuk melindungi rupiah dari arus ke luar modal asing, Indonesia membutuhkan cadangan devisa yang lebih besar dari yang sekarang. Saat ini kondisi cadangan devisa Indonesia merupakan yang paling rendah di antara negara berkembang, juga di negara-negara di Asia. Rasio cadangan devisa Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 13,5 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki rasio sebesar 38 persen, Thailand sebesar 41,1 persen, Filipina sebesar 29,04 persen, Brasil sebesar 16,72 persen, dan India 16,77 persen.
Celakanya sumber-sumber yang menggerakkan cadangan devisi adalah neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang merangkum transaksi domestik dengan negara-negara lain. Data NPI menunjukkan, tambahan devisa ternyata 80 persen lebih dari surplus di capital/financial account, sedangkan sisanya berasal dari surplus transaksi perdagangan dan transfer. Artinya cadangan devisa didominasi investasi portofolio (hot money).
Meski penguatan rupiah terbesar di pasar yang sedang bertumbuh (emerging market), namun penurunan cadangan devisa Bank Indonesia pada bulan lalu menunjukkan rentannya perekonomian Indonesia jika suku bunga AS dikerek oleh The Fed. Menurut estimasi Macquarie Bank Ltd (seperti dikutip Kompas), kerentanan ekonomi juga terlihat dari arus dana asing yang keluar dari Indonesia dengan nilai mencapai 1,7 miliar dollar AS.
Secara teoritis, semakin besar kepemilikan asing di pasar finasial, maka semakin besar pula tingkat kerentanan pasar finansialnya. Karena itu jika terjadi capital out flows, maka negara bersangkutan akan sangat mudah terjungkal ke dalam lubang krisis.
Penguatan rupiah sekarang sesungguhnya bersifat semu belaka, tidak mencerminkan kondisi perekonomian sebenarnya. Barang rupiah—meminjam kata para broker saham—sedang digoreng-goreng para spekulan, sampai kemudian terjun lebih dalam di awal tahun depan, melampaui batas psikologis ke level 15.000 per USD. Jika demikian, jangan-jangan Indonesia memang sedang berjalan menuju pintu krisis.***