“Kami bukan dipukul, bung, tapi dipukulin.”
Manullang (salah satu korban kekerasan Pasukan Turn Back Crime)
PADA 30 Oktober 2015, lebih dari 10.000 buruh dari berbagai serikat yang tergabung dalam aliansi Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia (KAU-GBI), melakukan demonstrasi di depan Istana Negara. Mereka menuntut pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No. 78 Tahun 2015, karena PP tersebut membatasi kenaikan upah minimum dan melemahkan partisipasi serikat buruh dalam penentuan upah minimum. Aksi di depan istana ini merupakan bagian dari rentetan aksi sebelumnya di berbagai daerah dan kawasan industri. Para buruh menuntut agar aspirasi mereka dalam penentuan upah tidak dikekang. Protes buruh ini mendapat respon yang represif dari aparat kepolisian. Di beberapa lokasi aksi pemanasan, disebutkan bahwa aparat kepolisian meneror dan menyebarkan ancaman. Puncaknya pada 30 Oktober, aparat kepolisian membubarkan secara paksa para demonstran dengan kekerasan, hingga menangkap 25 aktivis dan pengacara publik. Tak hanya itu, para aktivis dan pengacara publik itu dijadikan sebagai tersangka melakukan pelanggaran hukum.
Tulisan ini menjelaskan bagaimana aparat kepolisian melakukan pelanggaran dalam pembubaran paksa atas aksi demo buruh, dan implikasinya jika tindakan represif aparat tidak segera diperkarakan secara hukum. Bagian pertama tulisan ini menguraikan kronologi aksi damai buruh yang berakhir dengan tindakan represif oleh aparat kepolisian. Di bagian kedua, tulisan ini menunjukkan dasar hukum bagi kepolisian dalam menangani demonstrasi dan keteledoran aparat dalam membaca situasi demonstrasi telah menyebabkan kesalahan fatal dalam penanganan demonstrasi.
Kronologi Aksi Damai Buruh yang Menuai Kekerasan Aparat
Selepas istirahat maghrib di kantin Radio Republik Indonesia (RRI), kami berjalan ke depan istana. Lampu-lampu jalan sudah mulai menyala, sementara pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) sudah siaga. Jalan Medan Merdeka Barat masih belum ditutup polisi, kendaraan masih lalu-lalang. Di hadapan pasukan Dalmas, di balik kawat berduri, massa aksi yang sebagian baru menunaikan ibadah shalat magrib terus merapatkan barisan. Begitupun koordinasi antar-kelima mobil komando dibuat terpusat di satu mobil. Seluruh mobil komando pada bagian sound system dan genset telah dibungkus terpal, supaya tidak korslet terkena semprotan meriam air. ‘Pasukan khusus’ dari berbagai serikat buruh antara lain Godam (FPBI)[1], Garda Metal (FSPMI)[2], Brigade (SPSI)[3], LPB (FBTPI)[4], Bapor (LEM-SPSI)[5], dan Bambu (FBLP),[6] tengah membentuk formasi pagar betis. Berbaris paling depan, menyentuh pagar kawat. Gemuruh orasi, shalawat dan lagu-lagu perjuangan mengalir bergantian, semakin keras dan teratur, diarahkan ke pintu istana.
Sekitar jam 6 sore lebih 15 menit, peringatan pertama melalui pengeras suara oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat dilayangkan. Massa diminta membubarkan diri, namun tak semudah itu massa aksi membubarkan diri. Seruan agar bertahan dan merapikan barisan bersahut-sahutan. Dari sisi barat jalan Medan Merdeka Utara, tepat di pertemuan ruas dengan Jalan Medan Merdeka Barat, satu pleton polisi berkaos polo, di dadanya ada sablon bertuliskan Turn Back Crime, dan bercelana jeans krem mulai berbaris. Pasukan ini selanjutnya kami sebut sebagai pasukan TBC. Badan mereka tegap besar, kelebihan otot, persis seperti atlet binaragawan. Komandan unit terlihat mengawasi situasi dengan cermat dan jeli. Membuat berbagai perhitungan untuk menghajar massa terdepan agar kecoh dan mundur satu kali pukul.
Peringatan kedua dikeluarkan 20 menit kemudian. Kali ini Kapolres mengawalinya dengan teriakan “Hidup Buruh!”, yang segera disambut ribuan massa “Hidup!”, lalu menyampaikan peringatannya. Kembali dijawab dengan pekik shalawat, orasi, dan bernyanyi bersama. Dari mobil komando pusat, pimpinan kolektif buruh mengingatkan massa agar tidak terprovokasi, membuang semua kayu yang tidak berbendera, agar apapun yang terjadi tidak bubar dan panik. Mereka terus mengingatkan massa agar tetap bersikap damai.
Jalan Medan Merdeka Barat mulai ditutup, tak ada lagi kendaraan lalu lalang. Tampak jelas jika massa akan dipukul mundur ke arah patung kuda. Di perempatan patung kuda telah bersiaga ratusan polisi, tujuannya tentu saja agar aliran massa yang dipukul mundur dari istana tidak meluber ke empat ruas jalan protokol.
Sekitar jam 7 petang, peringatan terakhir pun dikeluarkan. Massa bershalawat semakin keras. Pagar betis massa buruh semakin merapatkan barisannya. Suasana semakin tegang. Tak lama meriam air ditembakkan ke arah para demonstran yang terus bertahan. Mereka terus bertakbir dan bershalawat di bawah guyuran air dan badan yang basah. Takbir dan shalawat berganti lagu Maju Tak Gentar, kemudian Halo-Halo Bandung, dua lagu yang diciptakan bagi rakyat gagah berani pada zaman perang kemerdekaan, lalu takbir dan shalawat lagi. Tembakan bergalon-galon air semakin deras memukul para demonstran yang terus bershalawat dan bernyanyi bersama. Suasana haru-biru. Ketegangan yang syahdu. Gemuruh kaum buruh.
Tidak lama mobil komando diminta mundur sedikit. Pasukan berkaos polo telah siaga, berbaris rapih di sisi barat. Satu mobil meriam air ditarik ke sisi barat, mendekat ke truk tangki air, mengisi ulang air. Satu lagi ditarik ke timur, melewati pagar kawat lalu mengarah ke massa aksi yang berhadapan ke arah gerbang istana. Mobil komando perlahan mundur, sebagian kawan-kawan yg di atas panggung mobil komando diminta turun, sebagian tetap berdiri. Pasukan Dalmas merapatkan barisan lagi, menggertak-gertakan tamengnya ke aspal, memukul-mukul tamengnya dengan tongkat, sambil berteriak-teriak, mirip prajurit perang yang tengah menakut-nakuti lawannya.
Sebagian pagar betis massa buruh bergerak mengamankan sisi barat, dan mobil komando mulai ditarik di tengah massa aksi. Tak lama kemudian sekitar jam 8 malam, sontak terdengar: dor-dor! Gas air mata mulai ditembakkan oleh aparat. Massa di barisan depan mulai kesakitan dan kehilangan konsentrasi, lalu perlahan mundur ke arah gerbang Monas, kemudian kembali merapihkan barisan, membuat formasi lurus memanjang sampai ke RRI. Pada tembakan gas air mata kelima, tembakan gas air mata terakhir, pasukan TBC itu merangsek menyerang ke arah dua mobil komando terdekat. Memanfaatkan jeda dimana massa kehilangan konsentrasi dan komando akibat gas air mata. Sepertinya tak ada yang mengira pasukan TBC tangan kosong itulah yang menjadi pasukan pemukul awal. Gerak mereka cepat dan terencana. Mengarahkan serangan ke dua mobil komando terdepan. Tujuannya selain merusak alat komando massa, juga agar mudah menyediakan alasan penangkapan: mereka yang di dalam mobil komando adalah pihak yang dinilai paling bertanggung jawab atas bertahannya massa aksi yang melebihi jam 6 sore, karena dari mobil itu seruan bertahan digelorakan.
“Bak buk bak buk!” tanpa malu terekam kamera. Terus memukul, tendang, ambil kayu bendera yang tercecer di jalan, lalu pukul lagi, pecahkan kaca mobil komando, naik ke atasnya memukul dan menarik kawan-kawan di atas mobil komando, melumpuhkan dan menyeret para demonstran ke arah mobil Dalmas. Semua terjadi begitu cepat.
Satu pleton unit Reserse dan Kriminal Umum Polda Metro Jaya, berkaos polo bertulisan Turn Back Crime itu melakukan pukulan mundur. Serangan itu menghasilkan kepanikan tambahan setelah massa dihantam tembakan gas air mata. Mereka jelas terlatih, bisa bergerak cepat dan efektif, menerobos masuk ke tengah-tengah massa terdepan ketika gas air mata kelima baru saja turun. Sementara orang lain matanya perih dan tenggorokan mengering seketika, mereka seperti tak merasakan efek apapun dari gas air mata. Sekali pukul, massa dipaksa mundur.
Setelah pukulan cepat itu, segera saja pasukan Dalmas membentuk formasi berbaris di belakang pasukan berkaos. Kembali memukul-mukul tamengnya sambil berteriak lebih keras. Lalu maju perlahan. Massa dipaksa mundur ke arah patung kuda, menjauh dari istana yang dingin. Pasukan polisi kembali berhadapan-hadapan dengan pagar betis para demonstran. Dua mobil komando terdepan yang telah dirusak tak bisa ditarik ke tengah-tengah massa lagi. Tak lama kami dapat kabar, 23 demonstran dan dua pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta digelandang ke Polda Metro Jaya.
Represi polisi atas aksi damai buruh di depan Istana Negara, Jakarta, 2015. Sumber foto, kriminalitas.com
Dasar dan Aturan Penanganan Demonstrasi
Pemegang kendali komando sejak awal atas pengerahan semua polisi di tempat unjuk rasa pada hari itu adalah oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Tito Karnavian.[7] Ia disebutkan hadir di lokasi dan secara otomatis memegang komando atas semua strategi dan taktik kepolisian dalam menghadapi demonstrasi buruh. Hanya saja, semenjak aksi demonstrasi dilakukan hingga detik-detik dibubarkan dengan kekerasan, kita tidak melihat ada perwira polisi dengan pakaian dinas berpangkat bintang dua. Yang terlihat sibuk memantau massa buruh adalah Kombes Hendro Pandowo, Kapolres Metro Jakarta Pusat. Pada saat itu situasi dapat dikendalikan. Sejak pagi hingga malam hari, ribuan massa aksi dari lintas-serikat buruh tetap bertahan dalam barisan yang rapi, dengan kendali yang dipusatkan dari salah satu mobil komando. Secara bergantian semua pimpinan buruh lintas serikat berdiri di atasnya, melakukan orasi dan terus-menerus menekankan jika perjuangan menuntut pencabutan PP No.78 Tentang Upah Tahun 2015 ini tidak boleh dirusak oleh kekerasan karena provokasi aparat.
Tidak ada tindakan penghasutan yang dilakukan oleh para massa aksi. Dalam keinginan bertahan pun, massa aksi secara perlahan mulai mundur. Buruh bahkan tidak membayangkan akan diserang secara brutal. Pegerakan tiba-tiba namun terencana yang langsung merengsek ke arah massa aksi dilakukan satu pleton polisi berkaos kerah yang sejak tadi siaga di sisi barat, jauh diluar dugaan. Pleton tersebut merupakan bagian dari unit Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya, dipimpin langsung oleh Kombes Krishna Murti di lapangan.
Kami tidak mengerti secara persis bagaimana rantai komando di Institusi Kepolisian ditegakkan, terutama berhubungan dengan pengendalian aksi demonstrasi yang memerlukan kesigapan menyerap informasi lapangan, ketepatan menganalisa situasi dan mengambil tindakan, serta patuh pada aturan hukum – karena kepolisian adalah aparat penegak hukum. Tindakan brutal yang dilakukan oleh satu pleton unit Reskrim yang memakai kaos bertuliskan “Turn Back Crime” itu, merupakan kesalahan yang serius, melanggar Undang-Undang serta melanggar ketentuan tentang pengamanan aksi demonstrasi.[8]
Kita mulai dengan prosedur kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi yang tertuang dalam dua Peraturan Kapolri (Perkap). Terdapat dua Perkap yang menjadi acuan dan prosedur institusi kepolisian dalam mengamankan aksi demonstrasi, yaitu Perkap No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Jika kita membaca kedua peraturan ini, jelas bahwa isi peraturan ini cukup bermasalah pada definisi dan penjelasan terkait situasi aksi demonstrasi serta fungsi-fungsi dari unit kepolisian di lokasi demonstrasi, yang berimplikasi pada kesalahan mengambil tindakan. Dengan kata lain, kedua peraturan tersebut memungkinkan kepolisian menggunakan kekerasan.
Pada Perkap No. 16/2006, terdapat penyebutan tentang tingkat dari situasi demonstrasi yang tidak dijelaskan secara rinci, seperti situasi hijau, kuning dan merah. Padahal tiap tingkat situasi tersebut, dan perubahan situasi dari hijau ke yang lainnya, berhubungan erat dengan struktur komando, strategi, dan pengerahan pasukan untuk mengendalikan situasi demonstrasi. Ketiga situasi ini berlaku di tiga kategori lokasi demonstrasi: pertama jalan raya, kedua bangunan penting, dan ketiga lapangan terbuka. Situasi hijau hanya disebutkan sebagai situasi yang tertib, situasi kuning tidak tertib, dan merah untuk kerusuhan. Tanpa penjelasan yang rinci dan bagaimana mengaitkannya dengan kategori lokasi, tindak kekerasan dan represif oleh kepolisian akan terbuka lebar. Selanjutnya pada Perkap No. 7 Tahun 2012, terutama pasal 20 ayat 1 poin D, disebutkan bahwa kepolisian dapat melakukan tindakan “menghentikan dan membubarkan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Suasana di lokasi demonstrasi justru berlangsung tertib. Buruh mematuhi seruan damai dari mobil komando. Sangat tidak menguntungkan bagi buruh jika pada aksi malam itu melakukan kericuhan, karena pertama, seperti diserukan oleh pemimpin serikat dari mobil komando, bahwa aksi ini bukan aksi terakhir. Ini merupakan langkah awal dan karena itu kekuataan harus dihitung. Apabila tuntutan buruh tidak dipenuhi, mogok nasional dan mogok daerah akan dilakukan. Kedua, buruh juga mengetahui bahwa sejak siang hari, intelijen-intelijen polisi telah berkeliaran di sekitar mobil komando dan mematai-matai jalannya demonstrasi. Dalam hal ini akurasi dalam menentukan derajat situasi, yang diperoleh melalui pengumpulan informasi dan analisis lewat fungsi intelijen kepolisian di lokasi pada hari itu, yang menjadi dasar untuk memutuskan strategi dan taktik apa yang dipakai, sama sekali ngawur dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Buruh langsung diserang oleh unit Reskrim Polda Metro Jaya yang merusak, memukul, menyeret massa aksi beserta propertinya.[9] Tindakan unit Reskrim ini berbahaya, merusak aturan-aturan hukum yang mewajibkan kepolisian menangani aksi unjuk rasa dengan damai, hati-hati, dan menghormati prinsip Hak Asasi Manusia.
Penyerangan yang dilakukan oleh unit Reskrim terhadap aksi damai buruh ini jelas merupakan pelanggaran dan karenanya harus diperkarakan. Jika tidak tindakan brutal para aparat akan terus berulang, terutama aksi demonstrasi buruh yang dilakukan di kawasan-kawasan industri dan di daerah yang jauh dari jangkauan pemberitaan media. Pada aksi-aksi buruh di daerah yang sunyi dari mata kamera, kepolisian tidak segan mengancam melakukan tindakan represif. Misalnya, belum lama ini di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, di depan pabrik kertas PT. Pindo Deli, buruh Pindo Deli yang sedang aksi diminta membubarkan diri oleh kepolisian sebelum pukul 6 sore. Massa buruh yang ikut aksi tersebut lebih dari 1000 orang. Aksi dimulai sekira pukul 10 pagi. Mulai pukul 3 sore massa makin bertambah. Buruh yang bekerja pada shift 2, memilih bergabung daripada masuk kerja. Sementara buruh yang bekerja pada shift 1, yang seharusnya bubar kerja pada jam 1 atau 2 siang, ditahan agar tidak keluar pabrik. Ditakutkan mereka akan bergabung dan membuat jumlah massa aksi bertambah banyak. Suasana makin panas dan tegang. Negosiasi dilakukan. Kepolisian mengancam mengambil tindakan tegas jika buruh tidak membubarkan diri. Demonstrasi itu bubar pada pukul 5 sore. Ini bisa jadi dilihat sebagai contoh yang kecil. Bila memasukkan aksi demontrasi dan protes-protes yang dilakukan oleh gerakan rakyat lainnya, pelanggaran aturan hukum dan prosedur seperti itu bisa jadi lebih meluas.
Demonstrasi buruh pada hari itu memang melanggar aturan undang-undang tentang durasi waktu unjuk rasa. Tetapi, lagi-lagi, kepolisian gagal belajar dari aksi demonstrasi yang dilakukan oleh buruh. Pada dasarnya, demonstrasi buruh mengandung tuntutan yang genting, menyangkut hajat hidup mereka, karena itu selalu berlarut-larut. Apalagi aksi yang terkait isu upah. Ia merupakan salah satu isu yang mampu merangkum beragam serikat buruh yang berbeda untuk berpayung ke dalam satu atau dua aliansi. Tegangan dan tarik-menarik antara buruh, pemerintah, dan pengusaha yang tinggi di dalam isu ini, membuat serikat buruh mesti berhitung secara matang untuk melakukan perlawanan. Dari sini, menjadi jelas bahwa demonstrasi pada tanggal 30 Oktober tersebut digelar dengan tegangan yang cukup tinggi. Paling tidak sejak tahun 2012, dimana sejak tahun itu terjadi peningkatan drastis aksi demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah yang mengambil lokasi di kawasan industri, jalan tol, dan kantor-kantor pemerintahan.
Lewat ratusan kali aksi demonstrasi yang dilakukan, buruh terus belajar bagaimana melakukan demonstrasi secara tertib. Demonstrasi buruh tidak dilakukan dengan tergesa dan dengan perencanaan yang diputuskan dalam semalam. Ia merupakan akumulasi dari berbagai hal: dari rapat yang panjang, iuran yang cukup, seruan-seruan yang nyaring, debat yang seringkali mengurat, dan keputusan yang tak jarang mengecewakan, karena melalui pengertian dan pemahaman banyak kepala. Atas dasar itu, para demonstran bukanlah gerombolan kriminal. Haruslah diperjelas di sini bahwa pengendalian aksi unjuk rasa tidaklah sama dengan penanganan atas tindakan kriminal. Para buruh bertahan hingga melebihi jam 6 sore sebagai batas waktu demonstrasi tentu saja beralasan: memastikan bahwa aspirasi mereka didengar oleh pemerintah dan pengusaha. Tindakan represif yang melanggar hak asasi tidak bisa dibenarkan. Agar tidak terulang, tindakan represif aparat ini harus segera diperkarakan.***
Kedua penulis adalah aktivis dan peneliti perburuhan di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor.
————
[1] Godam (Federasi Perjuangan Buruh Indonesia)
[2] Garda Metal (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
[3] Brigade (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
[4] Laskar Perjuangan Buruh (Federasi Buruh Transportasi dan Pelabuhan Indonesia
[5] Barisan Pelopor (Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin-SPSI)
[6] Bambu (Federasi Buruh Lintas Pabrik)
[7] “Kapolda Metro Ikut Bubarkan Demo Buruh di Depan Istana, Ini Penjelasan Polda”,
[8] Lihat press rilis Kontras, http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2188
[9] Lihat kronologi yang ditulis salah satu korban, Dian Septi Trisnanti, http://www.marsinahfm.com/sebuah-kronologi-penangkapan-aksi-cabut-pp-upah-jumat-30-oktober-2015/