Pikiran adalah bunga: ujaran adalah kuncup; dan tindakan adalah buah di dalamnya. (Ralph Waldo Emerson)
Aku tidak mengajarkan kekerasan, tetapi apabila jempol kakiku diinjak, aku wajib membalasnya. (Malcolm X)
BIARKAN aku bercerita tentang masa lalu. Masa dimana aku pernah menjadi sepertimu. Menjadi mahasiswa yang menggenggam harapan. Bukan hanya untuk bekerja atau menjadi sarjana. Melainkan untuk ikut mengubah jalannya sejarah.
Kala itu kampus tak semegah seperti sekarang. Pos satpam hampir tak ada. Dosen mirip dengan mahasiswa. Bedanya mereka berusia lebih tua. Hanya itu, karena dalam soal bacaan kami berlomba. Terlebih kalau soal analisa. Kami tak sepintar dosen tapi kami sering membantah gagasannya. Kelas bukan tempat orang berdoa dimana yang ada hanya diam dan mengangguk-angguk. Kelas menjadi ruang pertarungan ide, dimana tiap pikiran diadu untuk dicari mana yang lebih sesuai. Mungkin itu sebabnya kampus, buat kami, bukan tempat untuk belajar saja melainkan juga medan berlaga. Bertarung dengan kekuasaan yang otoriter dan berdebat dengan ide yang konservatif. Itulah sebabnya kami betah berada di sana. Aku selesaikan kuliahku tujuh tahun. Itu lumayan cepat karena yang lain bisa sampai 10 tahun. Kampus mirip tempat dimana waktu dan usia melintas dengan perlahan. Maka aku mengenal kampusku begitu rinci: nama tukang parkir, yang jaga kantin hingga nama-nama pegawainya.
Wajar kalau cinta bersemi di sana. Syair jatuh cinta bisa ditulis dimana saja. Alamat cinta itu bisa kemana-mana: kadang jatuh pada seorang gadis pintar, kerapkali jatuh pada gadis yang jadi idola, tapi juga bisa mekar di pundak gadis saleh. Cinta di usia mahasiswa seperti mencoba hidup dalam belantara petualangan dan harapan. Kita mencintai bukan saja karena rupa tapi ide serta gagasan yang serupa. Puisi, gitar dan buku adalah senjatanya. Lewat puisi rayuan itu bicara dengan kata-kata indah yang berterbangan. Gitar membuat cinta jadi sebuah jembatan melodi. Kemudian buku membuat cinta seperti sebuah lembaran cerita yang tak habis-habisnya. Itulah mengapa hidup mahasiswa tempo dulu padat dengan kisah romantika: di balik bangunan kampus ada banyak kisah indah yang terkubur. Hanya cinta kami bisa meluas kemana-mana. Cinta kami pada keadilan membuat kami kerapkali menggugat tatanan. Cinta kami untuk kebenaran membuat kami bertarung melawan kezaliman. Cinta kami pada kemanusiaan membuat kami mudah sekali bangkit nyalinya saat melihat ketimpangan. Cinta adalah kata yang tepat untuk melukis betapa imaginatif dan tidak realistiknya kami.
Kini apakah suasananya tetap sama? Sayangnya, aku tak melihat lagi kelas yang padat oleh debat. Kuliah dilalui dengan cara sederhana: datang-dengarkan lalu pulang. Tak ada yang terlambat masuk kelas dan tak ada yang tertinggal ketika pulang. Mirip tontonan bioskop ketimbang kuliah. Kini anak-anak muda bercanda di kantin atau berpetualang dengan gadgetnya. Kampus makin padat sekaligus kian sesak. Mereka duduk bersama tapi tak menyapa. Mereka berdekatan tapi tak berteguran. Yang luas adalah tempat parkir dan selalu diberi spanduk untuk keluar bawa karcis atau STNK. Kerapkali aku bingung ini kampus atau kantor Satlantas. Busanamu indah dan menarik. HP yang kaubawa bisa tiga, dua bahkan empat. Motor dan mobil yang kamu pakai selalu keluaran baru. Bersanding dengan kekasih seakan kalian jadi pasangan sehidup semati. Jika hidup tetap bersama dan kalau mati segera cari ganti. Kudengar juga kalian terampil mencari uang segala. Training wirausaha telah membuat cita-citamu dangkal: menjadi jutawan. Hidup dengan keyakinan mendapat untung dengan iman yang bermodal uang. Muda lalu kaya terus berkeluarga. Kemudian pelan-pelan mati dengan penyakit yang mudah diduga. Sungguh potret hidup normal dan wajar. Padahal kehidupan sekelilingmu sedang tak berjalan normal. Jika kau perhatikan situasi sosial lagi berjalan penuh sengketa. Normalkah keadaan kalau kekuasaan dipegang oleh orang-orang itu melulu? Wajarkah kondisi bangsa kalau aparat negara seenaknya menembaki rakyatnya sendiri? Bisakah bangsa disebut beradab kalau pejabat bisa berasal dari penjahat dan penjahat bisa jadi pejabat? Dan betapa bahayanya kalau kampus tidak mengenalkan keadaan itu pada kalian?
Itulah yang membuat kita jadi bangsa yang berhenti di tempat. Dihitung sejak merdeka kita menginjak usia 70 tahun. Dibanding negeri tetangga yang usianya lebih muda kita kalah jauh. Soal swasembada beras kita kalah dengan Vietnam. Urusan pendidikan kita kalah dengan Singapura. Tentang kedaulatan ekonomi kita jauh dari Malaysia. Padahal semua negara itu tak banyak punya kekayaan alam. Semua negara itu berdiri jauh setelah kita baca Proklamasi. Vietnam malah mengukir kisah pedihnya dalam film Rambo. Populasi penduduknya kalah jauh dengan yang kita punya. Partai politik mereka tak sebanyak yang kita miliki. Komisi pengawas negara jumlahnya tak sebesar yang kita dapatkan. Andai kita mengalahkan mereka, itu tetap dalam kategori yang buruk: angka korupsi dan tingkat kesenjangan sosial. Korupsi sudah seperti kegiatan sehari-hari dan kesenjangan sosial jadi ancaman saat ini. Dulu kita sempat optimis ada KPK yang menangkap para pejabat yang kegilaanya menumpuk harta. Ada yang ditangkap basah dan ada yang ditangkap karena kesaksian teman-temanya sendiri. Tapi sekarang KPK seperti sangkar hantu: para komisionernya dikriminalisasi untuk soal-soal menggelikan dan kewenanganya mau dicopot pelan-pelan. Lalu kesenjangan sosial terus dibiarkan dengan memberi pupuk bagi para hartawan dan tetesan kecil bantuan buat yang miskin. Kita seperti menjadi bangsa yang bolak-balik hanya rindu akan figur tauladan dan kenyataan pahit seperti sebuah takdir. Tapi benarkah tak ada jalan keluar dari kerumitan ini semua?
Tidakkah kalian percaya kalau negeri ini dulu diproklamirkan oleh dua orang mahasiswa? Yang satu namanya Ir Soekarno dan wakilnya Drs Moh Hatta. Yang satu anak tekhnik dan satunya anak ekonomi. Yang satu seorang orator dan satunya administrator. Keduanya ditemani oleh banyak mahasiswa yang cakap dan punya banyak mimpi. Sjahrir meski tak tuntas kuliah tapi pengetahuanya kaya, Amir Sjarifuddin pintar dan berani, Moh Natsir saleh dan sederhana, Haji Agus Salim berwibawa dan santun, Tan Malaka nekat dan petualang. Sederet nama lain bisa dijejer untuk memberi bukti kalau bangsa ini didirikan oleh anak-anak muda yang usianya masih mahasiswa. Tampang mereka tak jauh dengan kebanyakan mahasiswa semester awal: lucu, nekat dan punya pikiran besar. Seperti benih, pikiran mereka dirawat melalui tiga dunia: dunia pergerakan, pendidikan dan pergaulan. Pergerakan mengajarkan arti pengorbanan, pendidikan menanam budaya pengetahuan dan pergaulan mencipta solidaritas. Tiga-tiganya menempa jiwa, membentuk pengalaman dan meneguhkan tekad. Kita hampir tak pernah tahu berapa IP Soekarno, apakah Sjahrir rajin kuliah tidak atau bagaimana Hatta merias dirinya sebelum berangkat ke kampus. Informasi itu terlalu sederhana untuk orang yang punya kegelisahan seperti mereka. Mustinya lukisan gagasan mereka disebar luaskan melalui pendidikan tinggi. Kisah mereka sebagai mahasiswa harusnya jadi mata kuliah utama. Pastilah pada masa itu kampus jadi tempat untuk menanam ide-ide segar dan menantang. Masa dimana kampus berisi lalu lintas gagasan indah. Masa dimana kampus jadi tempat untuk menempa kader-kader militan. Kini mampukah kampus mengantarkan itu semua?
Foto diambil dari thpardede.wordpress.com
Aku bisa bilang mungkin dan pasti bisa! Lihat mimpimu waktu tinggal di kampus ini. Apa hanya pekerjaan yang kalian butuhkan? Tentu tak hanya itu. Apakah kalian kuliah hanya ingin menumpuk-numpuk uang? Pasti tak seperti itu. Kalian kuliah karena memang ada kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman. Kalian kuliah karena memang ada mimpi besar yang mau diwujudkan. Mimpi itu bukan sekedar ‘bekerja dan punya jabatan’. Mimpi itu tak hanya untuk jadi ‘sarjana’. Mimpi itu seperti apa yang dikatakan Kahlil Gibran ‘kamu bukanlah apa yang kamu capai tapi apa yang kamu impikan untuk kamu capai’. Kini tidakkah kamu ingin negeri ini berdiri dia tas tugu kehormatan? Tak ada pencuri yang berani jadi pejabat dan tak ada pejabat yang nekat mencuri uang rakyat. Tak ada kekerasan, pembunuhan atau pemenjaraan gara-gara tuduhan dan prasangka? Tidakkah kamu ingin pendidikan ini melahirkan para petualang pengetahuan seperti Hawking? Seorang yang kini punya keinginan untuk menjawab apakah UFO itu ada? Bukankah kamu ingin kita juga melahirkan pemimpin yang berani seperti Soekarno atau Hugo Chavez atau Fidel Castro: yang berani berdiri di atas kehormatan dan kedaulatan bangsanya sendiri? Keduanya berani menentang negara raksasa karena kebijakanya yang durjana. Kita ingin negeri ini menjelma dengan prestasi besar dan luhur. Sebab kelahiran bangsa ini diprakarsai bukan oleh politisi culas apalagi aparat korup, melainkan geliat anak-anak muda yang berani, kreatif dan radikal.
Buktinya sudah ada dan jejaknya telah ditanam. Soal urusan film kita punya banyak anak muda yang jadi sutradara, penulis hingga pemain yang raih penghargaan dimana-mana. Soal urusan pengetahuan kita punya anak-anak muda yang menang olimpiade, duduk sebagai ilmuwan ternama dan punya banyak temuan mutakhir. Soal kebudayaan banyak anak muda yang telah jadi duta kesenian, pelukis ternama, penulis terkenal hingga para perupa yang mendunia. Hanya satu soal yang kita krisis dan langka: politisi muda yang pintar, berani dan punya gagasan alternatif. Ada anak muda tapi jadi politisi yang berujung hidupnya di penjara. Sangkaan untuknya menyedihkan: korupsi. Selayaknya kampus menyumbang kontribusi untuk menghidupkan sosok politisi muda. Sosok yang bisa dibesarkan melalui kemampuan untuk peduli, terlibat dalam perkara kemanusiaan hingga membela soal-soal berkait dengan ditebangnya hak-hak rakyat. Tak tahukah kamu bahwa di Papua sana perjuangan untuk menuntut keadilan bisa berakhir dengan peluru? Apa kamu tak dengar kalau di Kulonprogo ada warga yang menolak pendirian tambang pasir besi dan bandara? Sudahkah kamu paham jika korban lumpur Lapindo puluhan tahun silam masih belum dapat ganti rugi penuh? Sadarkah kamu jika di Rembang tuntutan rakyat untuk menolak pabrik semen dipatahkan oleh putusan pengadilan? Dan salah satu penyokong putusan itu adalah kesaksian dosen di kampus kalian sendiri!? Biar kalau diurutkan sesungguhnya kita sedang menghadapi suasana dimana rakyat kecil masih kesusahan untuk menggapai keadilan.
Keadilan tak bisa ditunda oleh janji apalagi kesepakatan. Keadilan dihadirkan dengan perjuangan, pertarungan dan perebutan. Tak mungkin rakyat kecil hanya jadi ‘saksi’ melulu atas kemajuan pembangunan. Tak bisa lagi tanah atau sawah rakyat disita untuk sekedar kepentingan pabrik dan industri. Juga tak mungkin lagi membiarkan perusahaan seenaknya menekan buruh dan tak memberi upah yang layak untuk mereka. Lebih tak mungkin lagi membiarkan warga yang menuntut keadilan dengan sangkaan separatis apalagi teroris. Hukum tak bisa tegak kalau hanya menerkam mereka yang posisi kelas sosialnya ada di bawah. Hukum sebaiknya dibangun untuk meneguhkan keadilan: menyeret para penjahat kemanusiaan dan memberi hukuman untuk mereka yang berkuasa tapi sewenang-wenang. Itu semua tak bisa terwujud kalau kampus tak pernah menaruh kesadaran mahasiswa untuk terlibat dan tergerak mengubah keadaan. Itu tak mungkin dapat terealisasi kalau kampus hanya padat dengan kuliah, aturan dan pelatihan menjadi jutawan. Saatnya kampus mengubah peranan: diawali dengan dukungan agar mahasiswa terlibat organisasi, membiarkan mereka untuk sering mengunjungi yang miskin dan menceburkan mereka dalam wilayah yang bahaya. Wilayah dimana rakyat mempertaruhkan nyawa untuk membela hak miliknya. Kalau kampus mampu mengantarkan itu kita tidak hanya melahirkan sarjana tapi orang mulia: dimana mereka mau mengorbankan diri untuk kepentingan yang lebih besar ketimbang dirinya-sendiri.
Menariknya kampus punya agenda berbeda. Mereka tak mau mahasiswa tinggal lama di sana. Kini meluncur aturan tentang batas waktu kuliah. Kini terbit kebijakan tentang sistem pembayaran. Belakangan muncul pula aturan soal pakaian yang sopan. Seakan kampus seperti ruang kendali keamanan: mahasiswa dipantau kedisiplinan, dikontrol pikiran dan dikendalikan geraknya. Tak hanya itu kampus kemudian membuat kompetisi apa saja: lomba debat, lomba usaha hingga lomba pidato. Para juaranya wajahnya dipasang di baliho depan kampus. Seakan-akan itulah yang dikehendaki dari kampus pada mahasiswa, jadi juara lomba apa saja. Tak mirip dengan Sekolah Dasar tapi jauh lebih bebas anak anak TK. Kalau tak percaya bandingkan fotomu semasa kuliah dengan waktu dirimu kecil: sungguh sangat berbeda. Satunya riang dan nekat sedang satunya kelihatan kuatir dan cemas. Jika kamu sadar sebenarnya bukan pendidikan tinggi yang kamu nikmati tapi belenggu imaginasi yang sedang kamu hadapi. Maka waktunya kamu menolak untuk dipenjara. Jangan mudah percaya dengan apa yang selalu dikatakan oleh mereka dan jangan gampang patuh dengan aturan yang dibuat mereka. Kampus bukan tempat yang menjamin sepenuhnya masa depan melainkan tempat dimana mimpi dan keyakinamu sedang dipertaruhkan. Dalam sejarah pendidikan kaum pembangkang biasanya lebih berhasil dalam hidupnya ketimbang mereka yang memilih patuh dan percaya. Maka jika boleh aku sarankan: lakukan petualangan sejak hari ini untuk menikmati betapa memukaunya menjadi mahasiswa. Biarkan dirimu terlibat dalam gerakan karena dari sana kamu akan mencicipi beda kompromi dengan berani.
Jadilah dirimu seperti Soekarno yang percaya bahwa ilmu tekhnik bukan untuk membangun gedung saja tapi membangun jiwa rakyat yang sedang ditindas. Jadilah seperti Hatta yang mempelajari ilmu ekonomi untuk melahirkan konsep koperasi. Kalau mungkin bacalah Che Guevara yang mendapat pengetahuan medis untuk jadi bahan dasar revolusi. Tengoklah kisah Fidel Castro yang menjadikan pengetahuan hukum sebagai dasar untuk menentang kediktatoran. Mereka menanam perubahan sedari muda dengan meyakini kalau tugas kuliah bukan untuk datang dan mendapat gelar. Mereka meluncur menjadi sosok yang tak mau ditundukkan oleh aturan dan malah mencoba untuk melawanya. Soekarno menentang rektornya sendiri, Hatta melawan pemerintah Belanda yang biayai kampusnya dan Guevara malah menjatuhkan tahta penguasa. Pengetahuan di pendidikan tinggi jadi kekuatan yang membebaskan. Membebaskan rakyat dari belenggu ketidak-adilan, kemiskinan dan kebodohan. Keadaan yang hari-hari ini makin mengkuatirkan dan kita menyaksikan dengan terang-terangan. Membunuh karena kebutuhan, bunuh diri karena putus asa dan protes karena terus didzalimi. Bisakah kamu diam dan tenang duduk di bangku kuliah ketika di luar ruanganmu ada banyak rakyat menjerit, luka dan terus berharap kedatanganmu? Saatnya kamu membuat sejarah sebagaimana dulu Soekarno dan Hatta membuatnya. Saatnya kamu tidak menjadi seperti mereka: para sarjana yang hidupnya hanya untuk mengkhianati nuraninya dan rakyatnya sendiri. Jangan biarkan kalian hidup seperti keinginan mereka: patuh, taat dan lulus secepat yang mereka kira. Karena tokh mereka hanya jadi seperti sekarang ini; memerintah, membuat aturan dan menakut-nakuti masa depan. Genggam erat mimpi perubahan karena kalian telah jadi mahasiswa. Jadilah seperti dulu para mahasiswa yang membebaskan dan memerdekakan negeri ini.***