SETELAH tahun lalu gerakan koperasi berhasil menggagalkan undang-undang perkoperasian yang berkarakter kapitalis, keringat belum kering, kini insan-insan koperasi tampaknya masih harus siap-siap standby menyingsingkan lengan baju mengawal dan memperjuangan demi undang-undang perkoperasian yang sejati. Seperti yang dijelaskan Kawan Suroto bahwa draft RUU Perkoperasian pengganti yang baru pun masih tetap memiliki problem mendasar yang laten menyusup dalam pasal-pasal regulasi. Salah satunya tentang pasal wadah tunggal Dekopin yang kembali hadir.[1]
Lagi, koperasi di Indonesia sampai saat ini belum bisa menjadi tuan rumah bagi dirinya sendiri. Ia selalu dibicarakan oleh pihak-pihak yang ada di luar dirinya. Alhasil segala buah pikir anti-koperasi mulai masuk dalam praktik keseharian koperasi. Seperti Undang-Undang Perkoperasian No. 17 Tahun 2012 yang di-judical review lalu, misalnya. Atau terbaru, Gubernur Jawa Barat yang hendak mewajibkan para PNS untuk masuk anggota koperasi.[2] Sekilas hal seperti ini seperti daya dukung pemerintah, namun alih-alih mendukung, justru tipikal negara yang terlalu hadir dalam kehidupan perkoperasian merupakan warisan Orde Baru. Saat Orde Baru berkuasa, koperasi-koperasi fungsional dibangun seragam dan ditancapkan pada tubuh-tubuh besar seperti perusahaan yang melahirkan koperasi karyawan, instansi pemerintahan dengan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI), dan bahkan kampus dengan pendirian koperasi-koperasi mahasiswa (Kopma) yang menjadi bagian dari riuh Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Negara yang terlalu hadir menciptakan ketergantungan. Sampai memasuki era Reformasi, sindrom ketergantungan koperasi kepada pemerintah tidak kunjung berkurang. Ketergantungannya kepada pemerintah menjadikan gerakan koperasi tidak dapat melepaskan diri dari irama orientasi politik pemerintah yang berkuasa (Djohan: 2015).
Selubung gelap merasuki pemahaman masyarakat tentang koperasi. Inilah yang berbahaya. Bila tidak segera direformasi, koperasi akan menjadi medan kekosongan. Koperasi beraktivitas tapi minus subjek yang paham dengan dirinya sendiri. Koperasi diusung, dibangga-banggakan, diseremonialkan ─setidaknya setiap tanggal 12 Juli, tapi tanpa ruh sama sekali. Dengan kata lain negara memaksa koperasi berdiri, tapi tanpa diri.
Koperasi yang akhir tahun 2014 lalu berjumlah 209.488[3] itu bisa berpotensi berjalan tanpa ada orientasi dan ekspektasi menjadi koperasi yang sejati. Catatan normatif dari Kementrian Koperasi dan UKM itu sendiri menginformasikan ada sekitar 62.239 koperasi yang tidak aktif. Walaupun data ini masih perlu dikritisi karena dalam praktik di lapangan justu yang tumbuh subur adalah semacam rentenir-rentenir berbadan hukum koperasi saja, tetapi hal ini sekurangnya cukup menunjukkan keironisan statistik.
Pembacaan lewat berbagai kejadian yang dijelaskan di muka, seperti ada pengulangan siklus dramatis kehidupan perkoperasian di Indonesia. Terjadi dengan cara-cara yang mirip, tapi sayangnya lagi-lagi pula koperasi sering terjebak dalam perangkapnya.
Gambar 1. Siklus Dramatis Koperasi
Bila mengikuti Dawam Rahardjo (2015, maka ada tiga model koperasi: Pertama, koperasi sebagai gerakan sosial-ekonomi. Kedua, koperasi sebagai program pemerintah. Ketiga, koperasi sebagai badan usaha. Maka koperasi di Indonesia dominan menjadi koperasi sebagai program pemerintah dan sebagai badan hukum. Belum menjadi gerakan sosial-ekonomi secara luas. Koperasi masih dijadikan objek, bukan subjek.
Gambaran ini menunjukkan bahwa koperasi tidak mampu menyuarakan dirinya sendiri. Koperasi dibicarakan atau dimediasi oleh pihak di luar dirinya, dalam konteks negara bisa dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif. Ketidak-mampuan yang ada inilah yang perlu ditinjau kembali. Apakah karena koperasi yang memang tidak mampu atau dikondisikan agar koperasi tidak pernah mampu juga tidak pernah mau bersuara atas dirinya sendiri?
Menjawab Tanya
Jumlah anggota koperasi di Indonesia ada sekitar 36.500.000 atau sekitar 14 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah yang cukup besar namun belum optimal. Belum optimal selain dari kuantitas, tapi juga pada tataran pemahaman para anggota koperasi sendiri. Masih banyak dari para anggota koperasi merupakan masyarakat yang memilih koperasi sekedar sampingan, bukan yang utama. Koperasi dianggap perkara kegiatan ekonomi tambahan semata, bukan sebuah aksi solidaritas untuk menolong sendiri lewat kerjasama. Akhirnya, bila ada koperasi-koperasi yang bangkrut dan gugur di tengah jalan, tiada lain dianggap sebagai bagian dari takdir Ilahi, bukan sebuah peristiwa struktural.
Keberhasilan gerakan koperasi menggagalkan regulasi yang kontra-koperasi tentu perlu diapresiasi. Ada optimisme, kesadaran makna berkoperasi mulai tumbuh yang diawali oleh inisiasi pegiat-pegiat koperasi yang berani menggorganisir diri secara politis. Melawan negara yang salah kaprah memang harus berhadapan langsung.
Benang merah dari keberhasilan perjuangan gerakan koperasi salah satunya adalah adanya sikap politis dari beberapa koperasi dan para homo cooperativus. Ada kesepahaman radikal bahwa koperasi tidak bisa diotak-atik oleh pihak yang justru hendak menyingkirkan koperasi. Namun dari semangat yang sudah ada ini juga tersimpan refleksi yang dalam. Bisa dikatakan masih sedikit koperasi di Indonesia yang bergerak secara politis. Tidak banyak koperasi dan anggota-anggotanya yang menjadi presentasi, mereka lebih banyak manut terhadap representasi-representasi yang secara riil tidak pernah mewakili suara koperasi.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan penulis di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, secara implisit menunjukkan masih banyak para anggota koperasi yang belum memahami koperasi, bahkan koperasi mereka sendiri. Kesadaran aktual yang hadir adalah kesadaran-kesadaran transaksional dan pengejaran keuntungan jangka pendek yang ingin didapat. Adapun ketika ada kawan-kawan anggota koperasi lain yang sedang berjuang melakukan uji materil undang-undang perkoperasian, tidak sedikit dari para anggota yang belum tahu menahu informasi tersebut. Di tengah arus media informasi yang cepat seperti sekarang, tampaknya alasan minim informasi tidak lagi relevan. Hal yang memungkinkan sebagian dari para anggota tidak mengetahui secara terang atas gejolak undang-undang perkoperasian tersebut adalah, seperti yang disinggung sebelumnya, karena pilihan koperasi sebagai sampingan.
Adapun bila para anggota yang sudah mengetahui perkara undang-undang perkoperasian tersebut, respon yang hadir lebih banyak bersifat reaksioner. Semacam karakter borjuis kecil yang mulai gerah dan bergerak ketika dirinya sendiri yang terusik. Kekecewaan dari anggota koperasi sering dialamatkan kepada hal-hal yang berkait langsung dengan dirinya. Seperti konsekuensi SHU yang akan berkurang karena hasil transaksi dari non-anggota tidak dibagikan, atau kendala teknis pemisahan unit usaha yang merepotkan. Keresahan belum tertuju pada ancaman hujaman filosofis koperasi sebagai people based association ─bukan capital based association. Kurang lebih demikianlah adanya.
Mendambakan yang Politis
Politis di sini bukan berarti masuk dalam aktivitas politik-politik praktis yang dangkal. Maksud dari ihwal yang politis adalah koperasi dan para anggotanya harus keluar dari kotak keajegan koperasi yang hanya beraktivitas dalam soal ekonomi saja. Koperasi perlu politis, yaitu kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka wajib melek kondisi ekonomi-politik baik Indonesia maupun global. Tujuan koperasi perlu politis agar tidak lagi terjebak pada siklus dramatis politisasi.
Seperti judul lagu Kunto Aji, koperasi terlalu asyik sendiri. Terlalu menutup diri pada realitas yang luas. Kesadaran-kesadaran bersolidaritas masih minim. Terlebih bersifat politis atas dirinya sendiri. Oleh karenanya ada beberapa hal yang perlu menjadi pekerjaan rumah untuk masa depan gerakan koperasi di Indonesia.
Pertama, pentingnya pendidikan ekonomi politik bagi koperasi. Bila mana hari ini masih banyak koperasi yang belum menyelenggarakan pendidikan, atau alih-alih substantif, penyelenggaraan pendidikan bagi anggota lebih mirip sebagai syarat administratif, maka ke depan proses pendidikan ekonomi-politik perlu dijangkarkan menjadi fundamen penting bagi kurikulum pendidikan perkoperasian.
Koperasi perlu memahami jejaring struktural dan relasi sistem ekonomi yang timpang dan eksploitatif yang sedang mendominasi di Indonesia. Tujuannya agar koperasi mawas di mana posisi mereka dan bagaimana kemungkinan bentuk perlawanan dan pembalikkan situasinya. Akan tetapi catatan penting, dengan ini bukan lantas berarti menjadi naif yang membuat koperasi menjadi serba-serbi revolusioner tapi kosong isi. Misal kelemahan insan-insan koperasi pada kemampuan manajemen memang adanya, koperasi perlu menginsyafinya, tapi upaya pendidikan inilah diletakkan sebagai ikhtiar untuk menembus problem yang kasat mata tersebut. Agar koperasi memahami mana takdir Ilahi, mana takdir bencana kapitalisme. Bukan melulu mempersalahkan mis-manajemen an sich.
Proses jihad ini bisa diawali menjadi tugas bagi para pegiat koperasi yang (kebetulan) berkemajuan terlebih dulu, untuk melanjutkan perjuangan mensyiarkan gagasan koperasi ke khalayak lebih ramai. Selain sebagai perwujudan salah satu prinsip koperasi tentang pendidikan dan informasi, juga sebagai perluasan diskursus koperasi kepada khalayak non-koperasi. Karena perlu diakui produksi dan distribusi pengetahuan tentang koperasi di Indonesia masih sangat minim.
Kedua, koperasi perlu melakukan kolaborasi dengan gerakan sosial lain. Koperasi perlu membuka diri pada kenyataan yang luas, bahwa mereka tidak sendiri. Karena gerakan koperasi sejati selalu mendasarkan diri pada kesadaran diri para pendukungnya, terlebih pada kesadaran bekerjasama. Kerjasama diperkuat dengan menggalakkan solidaritas. Misal, koperasi-koperasi kredit bergerak bersama gerakan petani ataupun para nelayan, koperasi-koperasi konsumen bersolidaritas dengan gerakan buruh untuk memoderasi kebutuhan domestik yang setiap hari harganya mencekik, koperasi yang berbasiskan anggota pada mahasiswa tentu harus lebih inklusif beriring tangan bersama gerakan-gerakan mahasiswa. Dan banyak cara serta pendekatan lain yang dilakukan. Praktik-praktik kerjasama ini berimbas pada perluasan kemanfaatan koperasi. Mutualisme mendorong kesadaran anggota semakin meningkat, jumlah anggota pun bertambah.
Ketiga, tentunya koperasi harus berani untuk menjadi koperasi yang politis. Secara kelembagaan koperasi adalah subjek otonom, begitupula para anggotanya. Oleh karenanya sudah saatnya perlu menentukan sikap. Sudah terlalu lama koperasi tidur lelap sambil menunggu kucuran belas kasih negara yang pada praktiknya negara justru selalu berada di pihak pemilik kapital.
Akan sungguh cantik bila pada rapat-rapat koperasi, para anggota koperasi bisa duduk dan menentukan agenda bersama. Mendiskusikan siapa ‘musuh utama’ dan target yang diharapkan. Sudah saatnya koperasi berada di garda depan dalam perubahan, koperasi bisa bergerak secara radikal tidak melulu mengambil posisi nyaman.
Membangun konfigurasi koperasi yang politis di Indonesia bisa jadi pekerjaan yang tidak mudah. Terlebih masih dominannya anasir-anasir koperasi yang dianggap sebagai usaha kecil dalam benak masyarakat menjadi kendala dalam membuka imajinasi koperasi yang besar dan memiliki power substantif di Indonesia. Akan tetapi yang perlu ditekankan, koperasi menjadi benar dan besar bila mau belajar dari best practices di lapangan. Adanya pertemuan kebaikan-kebaikan dalam praktik dengan teori. Jadi tidak salah lah gagasan-gagasan di luar kebiasaan perlu uji-cobakan untuk memulai proses menuju best practices.***
Penulis adalah Deputi Riset dan Pengembangan Kopkun Institute dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
Kepustakaan:
Djohan, D. 2015. Belajar Berkoperasi dari Negeri Jiran, diakses dari http://print.kompas.com/baca/2015/08/06/Belajar-Berkoperasi-dari-Negeri-Jiran pada tanggal 7 Agustus 1945
Rahardjo. D. 2015. Koperasi di Persimpangan Jalan diakses dari http://print.kompas.com/baca/2015/07/13/Koperasi-di-Persimpangan-Jalan?utm_source=bacajuga pada tanggal 7 Agustus 2015
—————-
[1]http://www.aktual.com/pasal-dekopin-dalam-draf-ruu-perkoperasian-dipertanyakan/ diakses pada tanggal 7 Agustus 2015
[2]http://www.republika.co.id/berita/nasional/pemprov-jabar/15/08/07/nsp4n3368-jabar-wajibkan-pns-gabung-koperasi diakses pada tanggal 7 Agustus 2015
[3]http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=377:data-koperasi-31-desember-2014&Itemid=93 diakses pada tanggal 7 Agustus 2015