Ilustrasi gambar oleh Andreas Iswinarto
BEBERAPA hari lalu, saya berkesempatan membaca tulisan Gerry van Klinken tentang pembantaian pada Februari 1966 di Maumere, Flores, NTT. Adalah nama Jan Djong, tokoh utama tulisan yang merupakan pidato pengukuhan penulinya sebagai guru besar sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam, Belanda. Barangkali saya tidak akan mengangkat perihal Jan Djong di rubrik oase kali ini, jika saja saya tidak punya kedekatan emosional dan pengetahuan dengan tempat yang menjadi titik utama tulisan van Klinken itu; Maumere.
Oase kali ini juga pada akhirnya menyentuh lagi perbincangan perihal 1965, yang mungkin bagi sebagian pembaca sudah terasa mulai membosankan. Namun serangkaian peristiwa belakangan, misalnya, perihal dibatalkannya tema seputar Peristiwa 1965 ini di Ubud Writers and Readers Festival atau pembredelan majalah mahasiswa Lentera UKSW, Salatiga, membuat saya lebih bersimpati pada mereka yang menganggap tema itu butuh nafas yang begitu panjang; bukan sekadar tema ciamik di bulan September setiap tahunnya.
Maumere masa kini merupakan kota terbesar di Pulau Flores. Sempat terkena imbas bencana gempa pada tahun 1992, kota ini cukup lama menjadi ‘patokan’ untuk kota-kota lain di pulau dengan nama asli Nusa Nipa itu. Belakangan posisi itu barangkali ‘direbut’ oleh Labuan Bajo, yang menjadi buah bibir kaum pencinta traveling. Tentu saja Anda jangan membayangkan kota terbesar di Flores dengan perbandingan yang sama dengan kota terbesar di pulau Anda. Gambarannya begini; Indonesia itu negara yang tergolong miskin. Nah, NTT itu provinsi yang bisa dikatakan peringkat kesejahteraan masyarakatnya menempati angka paling belakang di antara provinsi-provinsi di Indonesia.
Listrik baru bisa dirasakan dengan lebih leluasa oleh mayoritas penduduk pulau itu di era 1970-an. Larantuka, kota kabupaten di sebelah timur Maumere, baru mulai mengenal teknologi angkutan umum pada era itu juga. Di samping transportasi tradisional, transportasi modern diperkenalkan oleh misi Katolik; salah satu agen utama modernisasi di wilayah itu. Sejak dahulu hingga kini, sejak pemerintahan VOC hingga pemerintahan NKRI ini, modernitas di wilayah-wilayah terpencil di Flores, dan NTT pada umumnya, lebih banyak berterima kasih kepada pihak swasta ketimbang pihak negara. Ketika isu penutupan 200an perguruan tinggi yang dianggap ilegal beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa asal Lembata, sebuah pulau kecil di sebelah timur Flores, menggambarkan bahwa sejak SD hingga perguruan tinggi hasratnya untuk bersekolah dipenuhi oleh pihak swasta. Ketika pemerintah menutup kampus tempat ia mendapat beasiswa karena dianggap ilegal, ia mempertanyakan kealpaan pemerintah dalam memenuhi hasratnya untuk mengenyam pendidikan. Betapa tidak. Di kampungnya, sebuah dusun kecil di Pulau Lembata, hanya ada satu SD, satu SMP dan satu SMA yang ketiganya adalah milik sebuah Yayasan Islam. Tak ada satu pun sekolah negeri di sana. Tawaran beasiswa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi pun didapatkannya dari pihak swasta, bukan pemerintah.
Di tempat-tempat terpencil yang barangkali tidak terlalu menguntungkan pusat, dengan begitu sedikit sumber daya alamnya yang bisa dikeruk sedangkan sumber daya manusianya hanya penting untuk diekspor secara ilegal ke negara-negara tetangga, barangkali ada keuntungan dan ada kerugiannya. Negara tidak ambil bagian begitu rupa dalam peri kehidupan publik. Negara juga tidak terlalu peduli untuk membakar hutan sembarangan. Di saat yang bersamaan, masyarakat di wilayah itu hidup dalam fantasmagoria tentang negara yang begitu akut. Sejarah pembuangan Soekarno menjadi pelipur lara, keberagaman yang dijanjikan Pancasila dijaga mati-matian sebagai penyambung asa untuk hidup.
***
Johanes (Jan) Djong adalah salah satu contoh orang yang pada masa itu mengenyam pendidikan dari pihak swasta, Gereja Katolik, di era 1930-an. Tentu saja saya tidak naif untuk mengatakan bahwa gereja tidak ada hubungannya dengan kolonialisme. Jan Djong tampaknya tidak seberuntung beberapa orang lain—misalnya Frans Seda, yang kala itu melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa, ikut Tentara Pelajar dan lantas menjadi menteri di dua ‘rezim’—mengenyam pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Namun demikian, sedikit sentuhan modernitas dari pendidikan modern ini membuatnya bisa melihat dunia dengan berbeda; tidak memandang dunia feodalisme di tanah gersang sebagai sesuatu yang terberi. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan sejarah sosial setempat yang sudah menyimpan bibit-bibit perseteruan antara kerajaan kecil yang satu dengan kerajaan kecil yang lain.
Feodalisme tidak serta merta pergi setelah Indonesia merdeka. Kekuasaan raja feodal masih dipertahankan. Jan Djong memimpin perlawanan awal terhadap raja itu. Van Klinken menulis, sesiapa yang menghendaki perubahan niscaya harus melawan kekuasaan Raja Sikka dan Gereja yang monolitik. Jan Jong menentang sisa-sisa feodal itu dan ketika raja mati mendadak, Jan Djong dan kota kecil Maumere bergolak dalam politik modern demokratis. Organisasi-organisasi bermunculan. G30S 1965 lantas menjadi pemicu untuk membunuh Jan Djong oleh para lawan politiknya di wilayah lokal itu. Van Klinken sama sekali tidak mencatat bahwa Jan Djong tergolong dalam organisasi underbow atau pun yang berafiliasi langsung dengan PKI. Boleh dikata, Jan Djong adalah korban yang tak tahu menahu sama sekali tentang PKI dan atau lebih jauh komunisme, marxisme-leninisme. Namun justru di sinilah letak permasalahannya.
Korban yang tidak tahu menahu, yang turut menjadi korban di dalam G30S 1965 dan turunannya, kerap mengisi narasi perihal Peristiwa 1965. Kita lantas menyayangkan hal ini; seolah-olah orang bodoh yang tak tahu apa-apa tentang peristiwa itu menjadi korban dari permainan tingkat elit. Jika kasus Jan Djong bisa menjadi cerminan dari sebuah peta yang lebih besar, barangkali pemahaman kita tentang korban yang tak ada sangkut pautnya dengan komunisme perlu kita revisi, atau minimal mendapatkan versi pemahaman yang berbeda.
Jauh sebelum 1965, jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya pada masa awal Kebangkitan Nasional, ketika bahkan nama Indonesia belum lagi terlalu populer, sosialisme adalah simbol bagi modernitas, simbol perlawanan terhadap penjajah. Betapa mulianya modernitas di nusantara. Modernitas adalah melawan penindasan dari penjajah. Anda boleh mengecek perihal itu dengan lebih detil di literatur-literatur yang lebih mumpuni. Seiring berjalannya waktu, di tengah pasang surut gerakannya sendiri, sosialisme tetap menjadi bagian dari simbol modernitas itu. Modernitas tentu saja berhadap-hadapan juga dengan feodalisme.
Nah, Jan Djong di atas adalah orang yang memang benar tidak ada sangkut pautnya dengan PKI, sejauh data-data van Klinken dianggap valid. Namun demikian, ia berhadap-hadapan sungguh-sungguh dengan feodalisme. Kematiannya dengan demikian adalah kematian upaya pemodernisasian masyarakat untuk bebas dari feodalisme. Dengan demikian, bisalah dikatakan korban yang tidak tahu apa-apa itu memang benar tak tahu menahu tentang komunisme, apa itu marxsisme, seperti apa sosialisme, (lagi pula ketika Indonesia Merdeka, penduduk yang mengenyam pendidikan tidak lebih dari 7 persen, bagaimana mungkin The Holly Family sudah dilahap sampai di desa-desa?). Tetapi mereka adalah sosok-sosok yang melawan dengan sungguh-sungguh feodalisme di tanah airnya sendiri, yang bertahun-tahun dari satu keturunan ke keturunan yang lain terus menghisap mereka. Feodalisme adalah penjajah yang ada dari dulu hingga kini dengan teman koalisi yang berganti-ganti; dari VOC dan Belanda lantas ke pemerintah Indonesia sendiri. Korban yang tak tahu menahu tentang apa-apa ini, yang sering digembar-gemborkan para narator Pilatus ini (maksud saya, para narator yang coba mencuci tangannya sendiri dan tangan orang-orang lainnya) sesungguhnya adalah sosok-sosok yang seutuhnya membenci feodalisme, membenci para naratornya sendiri, dan menerima sosialisme dan komunisme sebagai simbol perubahan menuju hidup yang lebih baik.***