KETIKA masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, guru fiqh saya bercerita, kalau kita ingin mengetahui miniatur padang Mahsyar, kita dapat melihatnya di Arafah, saat jamaah haji berkumpul dalam satu tempat dan satu waktu dengan mengenakan pakaian yang sama.
Cerita itu saya amini. Hingga kemudian menolaknya mentah-mentah setelah saya melihat sendiri apa yang terjadi.
Ternyata bayangan ideal itu cuma isapan jempol. Tiap jengkal Arafah telah terkapling-kapling menurut kelas masing-masing. Jika Anda adalah jamaah yang mampu membayar biaya Haji Plus (atau Khusus) sebesar Rp100 juta lebih, Anda berhak menempati tenda eksklusif yang berada di kompleks khusus. Tak hanya itu, kain ihram dan fasilitas yang Anda peroleh juga berbeda dengan jamaah haji kebanyakan.
Premis pembuka tulisan ini pun runtuh seketika.
Saya tidak menyalahkan si guru fiqh, karena memang dalam banyak literatur disebutkan, salah satu hikmah ibadah haji adalah berkumpulnya jutaan manusia dari berbagai suku dan bangsa di tempat yang sama dengan berpakaian yang sama pula. Akan tetapi, sepertinya pernyataan tersebut harus direvisi, melihat tajamnya per(m)bedaan kelas selama ibadah haji berlangsung. Karena jika diamati secara jeli, maka homogenitas tersebut tidak seluruhnya sama. Ada ‘kualitas’ yang menjadi batas tegas antar jamaah. Kualitas yang dimaksud adalah perbedaan mutu benda yang digunakan dan dimanfaatkan oleh para jamaah.
Lantas, apakah hanya di Arafah saja? Tidak. Masih banyak tontonan ketimpangan dalam ritual penyempurna rukun Islam ini. Mulai hotel mewah, semisal Hilton, dekat Masjidil Haram, tempat jamaah haji plus menginap; tenda-tenda eksklusif di Mina, yang dekat dengan Jamarat (tempat pelemparan jumrah); hingga helipad dan Jamarat di lantai paling atas yang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan. Dari pemaparan di atas, nampak bahwa ibadah haji yang digemakan sebagai miniatur Padang Mahsyar, simbol dari kesetaraan derajat, adalah sebuah mitos belaka.
***
Bagi orang Indonesia, pergi haji berarti siap menyediakan dana besar untuk membeli berbagai pernak-pernik dari tiap kota yang dikunjungi: Mekah, Madinah dan Jeddah, untuk oleh-oleh sanak keluarga di rumah. Bagi jamaah haji plus, haji juga berarti bisa menikmati keindahan Masjidil Haram, sembari selfie dari hotel (Fairmont) Makkah Clock Royal Tower yang agung.
Kemudian, jika merasa lapar dan dahaga selepas tawaf dan itikaf di masjid, para jamaah tak perlu jauh-jauh keluar kompleks Masjidil Haram untuk mencari makanan dan minuman. Karena di sekeliling masjid telah tersedia franchise, semisal KFC, dan puluhan penjual makanan siap saji.
Anda tidak bisa berbahasa Arab maupun Inggris? Jangan khawatir. Bahasa Indonesia kini telah menjadi bahasa wajib seluruh pedagang-pedagang di seantero Mekah, dari pedagang kaki lima hingga pelayan KFC. Bahkan saking besarnya daya beli jamaah haji Indonesia, sekarang bermunculan biqalah, semacam toko kelontong yang mendeklarasikan bangunannya sebagai ‘Toko Indonesia’; di antaranya bernama ‘Toko Indunesi Sri Ba Ada’—mungkin yang dimaksud adalah ‘Serba Ada’).
Kemesraan konsumerisme dan kapitalisme memang sering tak kenal tempat, tak peduli di Tanah Suci sekalipun. Dan jangan lupa, kondisi di atas dapat berlangsung lama karena ditopang oleh sebuah kredo, ‘Segala sesuatu yang ada di Masjidil Haram adalah berkah.’***