“The primary cause of environmental degradation is human disturbance”
(Jared Skye, Environmental Science).
JARED Skye itu siapa? Bukan siapa-siapa sih. Saya asal comot saja pernyataan di atas dari internet. Saya pikir pernyataannya bisa jadi contoh pandangan kebanyakan orang terpelajar soal biang keladi kerusakan lingkungan global saat ini. Kalau kita tanya sembarang orang sekolahan apakah betul manusia itu biang keladi kerusakan lingkungan, nyaris semua bakal bilang: ya. Tentu saja ada yang kasih tambahan bahwa alam juga sering merusaki dirinya sendiri. Hanya saja, sekarang kerusakan alam karena perilaku alam sendiri sering diperbrutal oleh kelakuan manusia yang tinggal di dalamnya. Saking besarnya peran manusia terhadap rupa dan dinamika alam di bumi, para cerdik pandai menamakan kala geologi yang dimulai sejak tahun 2000 dan seterusnya sebagai Kala Antroposen, kala yang penandanya ialah turut campurnya manusia dalam proses-proses alam di bumi secara masif.
Baiklah, tak perlu diperdebatkan lagi pernyataan bahwa manusia turut serta dalam kerusakan alam. Tapi, apakah yang dimaksud ‘manusia’ dalam pernyataan itu? tanya seorang kritis. Masya Alloh, masak tidak tahu sih siapa manusia. Manusia ya manusia. Semua orang juga tahu! Kenapa sih mesti tanyakan itu?
Jelas perlu diperdebatkan dong, kata seorang kritis. Persoalannya, katanya lagi, tetangga saya yang satpam perumahan juga bisa digolongkan sebagai manusia, tapi dia tidak ada urusan dengan kebakaran hutan Sumatra dan Kalimantan atau pencemaran laut di lepas pantai Kalifornia oleh minyak tumpah. Dia juga tidak ada kaitannya dengan terancam punahnya beruang kutub karena habitatnya meleleh oleh pemanasan global kecuali dari karbon monoksida yang dihasilkan hembusan asap rokok kreteknya. Apakah karena dalam benak saudara si satpam itu juga manusia lantas dia juga mesti turut bertanggung jawab atas hancurnya hutan hujan tropis, punahnya paus bungkuk, dangkalnya sungai-sungai di Kalimantan, dan lenyapnya pasokan air dari perbukitan Rembang? Jadi, memperjelas (si)apa itu manusia dalam kalimat ‘manusia penyebab kerusakan lingkungan’, penting diperjelas.
Kalau yang dimaksud ‘manusia’ ialah suatu kategori abstrak, yang biasa dipakai Aristoteles dalam membedakannya dengan keledai, pohon zaitun, atau koral; atau manusia sebagai ‘makhluk’ sebagai kutub seberang dalam relasi dengan kategori ‘Khalik’ seperti sering dipakai para rahib sewaktu menulis risalah soal manusia, jelas ‘manusia’ macam begini tidak punya kehendak dan tak berperbuatan selain di benak si filsuf. Toh ia cuma kategori abstrak saja yang adanya di pikiran. Bagaimana mungkin yang tak berkehendak dan tak berbuat, tak berdarah tak berdaging, ini membuat kerusakan lingkungan? Butuh pada sepiring nasi setiap hari saja manusia macam ini tidak, apatah lagi merusak lingkungan. Bisa saja dia merusak lingkungan, tapi lingkungan yang ada di imajinasi kita juga. Bukan di dunia nyata yang hiruk-pikuk ini.
Umpama kita mengartikan manusia yang ada dalam konteks ‘manusia merusak lingkungan’ itu sebagai manusia abstrak begini, maka tidak ada yang akan bisa ditunjuk hidung karena ‘manusia’ begini tak punya hidung. Orang-orang yang betul-betul telah aktif merusak hutan hujan Sumatra dan Kalimantan demi efisiensi produksi minyak sawit bisa bersembunyi di dalam kategori ini dan bisa turut jumpa pers di Jakarta memprotes kebakaran hutan. Manusia sebagai kategori abstrak ini serupa dengan ‘kepentingan umum’ yang lumrah dijadikan tempat sembunyi para pengusaha ketika menggusur lahan-lahan penghidupan orang Rembang dan mengeruk gunung kapurnya demi ekspansi produksi semen yang amat dibutuhkan dalam pembangunan kompleks properti di Jakarta. Dengan berbekal ‘manusia abstrak’ ini, komisaris perusahaan tambang mengongkosi anaknya yang gaul untuk bisa bergagah-gagah ria turut mengkritik, berkoar-koar tajam soal kebejatan manusia, dan menyerang betapa brengseknya manusia itu terhadap lingkungan. Tapi, karena yang diserang tak lebih dari kategori abstrak, maka tak perlu ada yang terluka.
Sebetulnya ada pengertian ‘manusia’ yang agak lebih realistik ketimbang manusia sebagai kategori abstraknya filsuf, yakni manusia sebagai individu-individu, sebagai orang-orang tunggal. Tidak seperti ‘manusia’ metafisiknya para filsuf, pengertian ‘manusia’ individualnya kaum liberal ini, seperti dalam dongeng kegemarannya Adam Smith cs, Robinson Crusoe, masih lebih masuk akal. Di situ terbayang manusia berdarah-berdaging, berpikir, berkehendak, dan mesti berinteraksi dengan alam dalam upaya memenuhi syarat-syarat material kehidupannya. Manusia nyata ini memerlukan sarana hidup yang nyata pula. Mereka perlu makan, minum, dan melindungi diri dari kondisi alam yang merugikannya. Karena manusia dan sarana hidupnya ini nyata, maka relasi manusia dan alam itu juga mestilah juga hal yang kasat mata, langsung, dan material. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mesti mengubah alam dengan mengambil, menggali, dan mengolahnya. Dalam pengertian ini bolehlah dikatakan ada andil manusia dalam kerusakan alam.
Persoalannya, manusia individual sebagaimana dikonsepsi cendikiawan borjuis ini tidak sepenuhnya nyata. Manusia ini setengah-nyata karena diandaikan ibarat atom-atom yang muncul entah dari mana dan hanya kemudian (karena kebetulan) mereka saling jumpa, berinteraksi menyepakati kehidupan bersama, dan menjadi sosial karenanya. Selain dari benak kreatif si liberal, pengandaian ini tidak punya landasan di dunia nyata sebagaimana dipotret oleh sains. Manusia itu hidupan yang hanya dapat hidup bersama sesamanya. Kesosialan manusia ini bagian dari kodrat biologisnya. Manusia bukan keturunan langsung kalajengking, tapi sekerabat dengan kera-kera Afrika yang juga sosial. Tak ada kera besar Afrika yang bertahan hidup hingga sekarang yang tak sosial. Soal perbedaan bentuk dan komposisi kelompok sosial di antara kera tidak membantah bahwa kesosialan itu lebih primitif, dalam arti sudah ada lebih dahulu, ketimbang individualitas.
Boleh dibilang, manusia individual universal yang dibayangkan riil oleh cendikia borjuis tak lebih dari kelanjutan mitos Abad Pertengahan bahwa Tuhan menciptakan manusia pertama seorang diri di surga. Ujung pengertian manusia sebagai individu ini sama dengan manusia sebagai kategori abstrak: kerusakan lingkungan diakibatkan oleh si A, si B, atau si C. Tak ada yang salah dengan tatanan sosialnya. Yang salah hanya oknum. Kalau kita hendak mencegah kerusakan lingkungan, ayo kita petuahi atau cegah si A, si B, si C, agar tidak merusak lingkungan. Atau kita hukum saja mereka yang secara kasat mata telah jelas-jelas merusak lingkungan. Soal tatanan sosial kapitalistik yang cuma tahu bahwa kapital mesti diakumulasi sebagai satu-satunya norma yang sah bagaimana? Tak perlulah kita merombak, toh kerusakan itu ulah oknum-oknum tertentu saja, bukan sistem. Tak ada yang salah dengan tatanan masyarakat kita karena yang bejat itu individu-individu. Lagi pula KUHP tak punya pasal yang bisa mengadili sistem sosial.
Baiklah, kalau pengertian manusia sebagai individu ini tidak realistik, lalu yang macam apa yang realistik? Hanya ada satu kemungkinan lain, yaitu pandangan bahwa manusia individu nyata di dunia yang nyata ini—beda dengan ‘manusia’ abstrak di dunia ide atau manusia individual yang entah ada di mana—menghadapi persoalan-persoalan hidup praktis dan berjuang untuk menghindar atau menyelesaikannya dengan siasat praktis serta sarana yang tersedia di dunia nyatanya itu juga. Persoalan praktis paling mendasar itu ialah kelangsungan hidup yang mesti dipenuhi dengan memenuhi syarat-syarat material keberadaan mereka sebagai yang hidup. Dalam praktiknya melangsungkan hidup, relasi-relasi sosial yang mengikat individu dengan sesama diperlakukan layaknya matahari terbit dari timur esok pagi, yakni sebagai fakta yang sudah sedemikian adanya sejak asali. Relasi-relasi ini bukan sesuatu yang secara sadar diketahui benak mereka. Bahkan bagi kita yang hidup jaman sekarang, kelangsungan hidup lewat rutinitas sehar-hari dimungkinkan karena kita merasa dunia wajar dan praktis keseharian saja adanya. Bangun pagi, berangkat ke tempat kerja, dan akhir bulan mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan jalan lumrah membelinya di pasar. Kita tidak perlu menyadari secara konseptual relasi kerja-upahan, relasi pajak, sistem pabrik, cara kerja bank, dan tetek bengek kehistorisan semua yang melandasi aktivitas praktis kita itu.
Begitu pula relasi metabolik manusia sosial alam (termasuk biologi manusianya). Alam itu satu-satunya gudang energi yang harus digali demi memenuhi kebutuhan hidup. Di dunia yang nyata, manusia nyata memerlukan daya dan sarana untuk dapat mengubah alam sesuai kebutuhan praktisnya. Daya dan sarana untuk memproduksi syarat-syarat material kehidupan manusia mesti diupayakan dengan kerja (labour). Dalam kehidupan nyata (yakni bahwa adanya manusia senantiasa di dalam sebentuk sosialitas tertentu), kerja bukanlah dan mesti dibedakan dari kerja-individual (work) atau aktivitas-aktivitas perseorangan dalam mengerahkan energi untuk memproduksi energi. Kerja, sebagai kondisi umum metabolisme manusia dan alam, merupakan suatu gejala sosial karena orang yang bekerja, yang tangannya bersentuhan langsung mengolah alam, tidaklah pernah sebagai individu terisolasi. Kita senantiasa berada sebagai seseorang yang berdiri di satu titik yang dipertautkan dengan titik-titik kategori lain lewat relasi sosial yang lantas membentuk struktur sosialitas tertentu yang dinamis. Pekerja sudah selalu dalam konteks sebagai individu sosial dalam relasinya dengan yang bukan-pekerja entah itu sebagai kerabat junior terhadap tetua dalam masyarakat perpuakan, hamba-penggarap terhadap tuan tanah dalam masyarakat feodal, budak belian terhadap pemilik budak dalam masyarakat perbudakan kuno, atau pekerja-upahan terhadap kapitalis dalam masyarakat kapitalis. Di sinilah salah kaprahnya materialismenya borjuis. Mereka pikir ada yang namanya manusia individual selain sebagai abstraksi dan bahwa relasi manusia dengan alam itu sifatnya langsung dan atomistik. Oleh karena itu, ‘materialisme’ mereka terjebak pada pemahaman tak realistik atas manusia. Apa yang tak realistik? Bagi mereka sosialitas paling-paling maujud dalam rupa kelompok atau sekumpulan orang-orang. Kelompok sosial, masyarakat misalnya, bukan sesuatu yang ada mandiri dari individu-individu. Masyarakat tak lain kumpulan orang-orang, individu-individu yang hidup dan berbagi lingkungan, cara pikir, cara pandang, dan kebiasaan yang sama. Masyarakat sekadar kelompok; sekadar agregat seperti halnya kentang-kentang dalam karung sekadar sekarung kentang-kentang.
Dari mana salah kaprahnya materialis borjuis itu? Dari realisme empiris seperti pandangan liberal yang dikritik di atas. Bagi merak sosialitas tidak punya keberadaan objektif. Masyarakat sekadar kumpulan orang-orang, individu-individu yang hidup dan berbagi lingkungan, cara pikir, cara pandang, dan kebiasaan yang sama. Yang ontologis cuma individu. Masyarakat sekadar agregatnya. Dari empirisme ini timbullah ilusi yang menjangkiti pandangan borjuis pada umumnya bahwa alam dan teknologi beserta interaksi manusia dengan alam lewat teknologi itu yang material dalam masyarakat karena kasat mata. Relasi, sebaliknya, tidak material karena tak kasat mata. Karena yang secara kasat mata Windu ketangkap basah membakar hutan untuk perluasan kebun sawit, maka dialah yang mestinya dihukum. Kalaupun mau heroik, tudinglah pemerintah tak becus urus negara. Tak ada urusan dengan sistem kapitalisme. Apalagi nilai persaingan serta norma efektif-dan-efisiennya yang secara buta mendorong siapa saja yang menjalankan kepentingan struktural kapital untuk selalu mencari cara memurahkan ongkos produksi minyak sawit dalam pertarungan bertahan hidup dan memperebutkan pasar sawit global. Termasuk membakar hutan yang cuma satu juta per hektar.***
Jatinangor, 12 Oktober 2015