Foto diambil dari cdn.metrotvnews.com
KONFRONTASI antara warga Kampung Pulo dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta terkait relokasi tempat tinggal warga tersebut baru-baru ini menyita perhatian luaas baik media massa maupun media sosial. Ketertarikan saya khususnya terpusat pada komentar-komentar yang berseliweran di media sosial. Sering saya temukan komentar tersebut menyayangkan bahkan menyalahkan warga Kampung Pulo yang diberitakan menolak bantuan yang diberikan pemerintah dalam bentuk rumah susun dan menuntut lebih dengan meminta ganti rugi. Sentimen negatif itu tercermin dengan komentar seperti “sudah miskin masih saja serakah”, “sudah miskin tidak tahu diri”, atau “dikasih hati minta jantung”. Kasihan betul mereka. Penderitaan mereka berlipat ganda; sudah miskin, tempat tinggal satu-satunya diratakan tanah dan dipaksa pindah, dicaci maki pula.
Bila ditelusuri, netizen tersebut merupakan representasi dari kelas menengah yang secara tidak langsung memiliki kepentingan dalam isu ini. Peristiwa penggusuran warga oleh pemerintah, sebenarnya bukanlah hal baru. Pemerintahan sebelum-sebelumnya pun beberapa kali mengadakan penggusuran yang juga diberitakan oleh media massa. Namun, kali ini, kelas menengah menaruh perhatian pada peristiwa ini karena ia dibingkai dengan alasan untuk menanggulangi masalah banjir yang sudah membuat gerah kelompok sosial ini karena berdampak langsung pada kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka. Ditambah pula dengan figur Guberner Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sepertinya selalu mengundang kontroversi dalam keputusan-keputusannya. Apakah isu-isu kelas bawah lainnya akan menarik perhatian seperti ini oleh kelas menengah apabila tidak ada implikasi langsung pada kehidupan mereka patut dipertanyakan. Walaupun begitu, porsi perhatian terbesar bukanlah pada hal tersebut, melainkan pada bagaimana hegemoni cara pandang kelas menengah yang mendominasi proses penyelesaian masalah ini.
Resistensi warga Kampung Pulo terhadap usaha relokasi dari pemerintah sulit dimengerti oleh kelas menengah karena adanya perbedaan perspektif yang dibangun dari kesenjangan ekonomi dan sosial. Bagi kelas menengah, pindah ke rumah susun dapat dikatakan sebagai peningkatan kelas dan status dari yang tadinya tinggal di rumah bantaran kali yang hanya berlapiskan asbes, kayu, ataupun plastik. Diberikan secara cuma-cuma pula. Mereka ‘hanya’ perlu membayar uang keamanan dan kebersihan sebesar tiga ratus ribu rupiah. Tentu ini jauh lebih kecil nilainya apabila dibandingkan dengan nilai unit rusun tersebut, yang menurut Pangdam Jaya, bisa mencapai Rp. 1,5 milyar. Jelas ini menandakan keuntungan besar yang didapat dengan usaha yang minimal, bahkan hampir tidak ada. Oleh karena itu, penolakan warga Kampung Pulo dianggap irasional. Pun tidak rasional dalam prinsip ekonomi untuk menolak keuntungan cuma-cuma tersebut guna mendapatkan yang lebih namun dengan resiko besar tidak mendapatkan apapun. Itulah logika kelas menengah.
Hal ini bentrok ketika warga Kampung Pulo tidak menilai segala sesuatunya melulu dengan nilai ekonomi dan hukum pasar. Menurut Sandyawan Soemardi dalam wawancaranya dengan Islam Bergerak, resistensi warga bukanlah hanya karena soal ganti rugi. Alasan mereka perlu dilihat lebih dalam. Relokasi ke rumah susun tidak dapat dilihat sebagai hal yang sederhana, karena secara sosiologis maupun psikologis transisi tersebut bukanlah hal yang mudah. Ada permasalahan histori-sosio-psikologis yang selama ini tidak diperhitungkan.
Secara historis, warga telah menempati Kampung Pulo bahkan sebelum Republik ini didirikan yang kemudian menimbulkan rasa kedekatan emosional dan rasa kepemilikan yang kuat. Tidak hanya itu, tanah sebagian warga tersebut merupakan hak milik secara legal di bawah sistem kepemilikan zaman Belanda. Namun kehadiran pihak-pihak yang memanfaatkan hal ini dengan memungut biaya tinggi menyulitkan warga untuk merubahnya menjadi sertifikat resmi pasca disahkannya Undang-Undang yang mengatur hal tersebut.
Secara sosiologis, kampung yang tersusun secara horisontal mendorong adanya interaksi warga yang lebih intensif. Solidaritas pun dibangun melaluinya. Minimnya sekat dan latar belakang penderitaan yang sama membuat warga kampung merasa dekat dan saling membantu satu sama lain. Kekhawatiran warga adalah hilangnya solidaritas tersebut karena terkungkung oleh ruang dan bentuk bangunan yang kaku dan cenderung mencegah interaksi antar penghuni.
Gaya hidup à la apartemen mungkin biasa di kalangan kaum berada, tapi tidak bagi warga Kampung Pulo yang sudah turun temurun tinggal di perkampungan tersebut. Mereka akan sulit beradaptasi terhadap cara hidup yang benar-benar asing bagi mereka dan dengan sistem nilai yang berbeda. Relokasi ini berarti mereka harus mulai lagi dari nol dalam mencari akses kesehatan, pendidikan, dan transportasi yang belum tentu terjangkau biayanya bagi mereka. Tidak mudah mengingat perpindahan ini dilakukan dengan sangat cepat yang mengakibatkan akan terjadinya “cultural shock”.
Pun jika kita tetap ingin melihat dari segi ekonomi, warga Kampung Pulo yang sebagian besar bekerja di sektor informal tidak mampu menyisihkan uang yang didapat untuk membayar sewa tempat tinggal. Mereka bahkan terancam kehilangan akses ke mata pencaharian mereka.
Yang paling mengkhawatirkan adalah tidak adanya dialog dengan warga itu sendiri, padahal secara langsung hidup merekalah yang akan diubah dan terkena dampaknya. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk diskusi cenderung satu arah tanpa berniat mendengarkan solusi yang ditawarkan warga. Keputusan pemerintah pun berubah-ubah dan berakhir dengan memutuskan sendiri solusi yang mereka anggap paling benar. Sangat disayangkan karena ini menunjukkan pola pikir yang menganggap warga miskin itu irasional, bodoh, dan tidak dapat dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan hidup mereka sendiri. Mereka dianggap sebagai kelompok yang rendah dan tidak memiliki kontribusi apapun terhadap masyarakat. Mereka terpinggirkan. Suara mereka pun enggan didengar.
Persepsi akan warga miskin yang seperti ini yang kemudian menjadi pembenaran akan perlakuan terhadap mereka. Persepsi tersebut juga yang mungkin menjadi dasar prinsip utilitarianisme Ahok bahwa mereka layak dikorbankan demi kepentingan 10 juta warga Jakarta lainnya. Ahok memposisikan diri sebagai penyelamat warga Jakarta yang tidak gentar akan apapun. Ia menyiratkan bahwa pengorbanan segelintir orang itu perlu demi kepentingan bersama, kendatipun ada cara-cara lain yang tetap bisa mengakomodir kepentingan kelompok marjinal ini tanpa harus menyingkirkannya.
Ini mengingatkan saya pada kisah yang diwartakan oleh seorang akademisi asal India, Gayatri Spivak. Dalam tradisi India, seorang istri yang suaminya meninggal dunia melakukan pembakaran diri demi membuktikan pengabdian dan kesetiaannya kepada sang suami. Namun, penjajah Inggris menetapkan pelarangan atas kebiasaan ini atas dasar untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih adil. Bangsa Inggris dengan verbal menyatakan diri mereka sebagai juru selamat yang melindungi mereka dari kekejaman lelaki India. Yang tidak mereka mengerti adalah bahwa janda-janda tersebut melakukan pembakaran diri sebagai ekspresi diri mereka. Suara mereka sendiri pun enggan didengar karena adanya rasa superioritas budaya. Ketidakinginan untuk mengerti dan untuk berusaha mengerti inilah yang lazim pada kedua kasus ini.
Langkah konkret yang diambil Ahok untuk menanggulangi banjir musiman Jakarta memang pantas diapresiasi. Patut diakui bahwa di bawah pemerintahannya langkah-langkah praktis yang tidak pernah terealisasi sebelumnya dapat dijalankan. Namun, proses penyelesainnya perlu untuk dikritisi karena dalam hal ini ada celah antara pemerintah dengan pola pikirnya dengan warga Kampung Pulo sehingga menimbulkan konflik. Apresiasi itu baik namun kritik itu perlu. Pemerintah sebaiknya mengganti pendekatannya dengan merangkul warga yang terimplikasi dan mengadakan dialog dengan mereka untuk mendengarkan suara mereka. Karena pada akhirnya, hidup merekalah yang dipertaruhkan.***
Penulis adalah mahasiswi sosiologi dan filsafat politik di Universitas Paris Diderot.