DALAM laporan tahunan Indocement 2014 yang bertajuk Maintaining Good Achievement in Expanding Market (halaman 111) tertulis “Konsumen semen diperkirakan akan tumbuh lebih lanjut dalam tahun-tahun mendatang karena berbagai proyek infrastruktur pemerintah yang siap untuk dimulai (misalnya proyek giant sea wall Jakarta)”. Dalam laporan yang sama pada bagian “Informasi Perseroan” disebutkan bahwa PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk. adalah perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh tiga perusahaan, yaitu Birchwood Omnia Ltd (HeidelbergCement Group), sebuah perusahaan yang berbasis di Heidelberg, Jerman dengan jumlah kepemilikan saham sebesar 51 persen; PT Mekar Perkasa dengan kepemilikan saham sebesar 13,03 persen; dan saham Publik sebesar 35,97 persen.
Sementara proyek giant sea wall sendiri adalah sebuah proyek raksasa yang digadang-gadang sebagai usaha menyelamatkan Jakarta dari banjir. Proyek ini juga sering muncul dengan nama “Great Garuda”. Diberi nama demikian, karena disain 17 pulau yang akan dibuat di Teluk Jakarta menyerupai burung Garuda kalau dilihat dari angkasa. Liku-liku proyek ini, misalnya, tertuang dalam dokumen bertajuk Master Plan National Capital Integrated Coastal Development keluaran 2014 oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Proyek ini sering disingkat NCICD.
Dalam master plan NCICD disebutkan, ada tiga jenis banjir yang menimpa Jakarta dewasa ini. Pertama, banjir yang datang dari laut. Kedua, banjir yang terjadi karena tingginya debit air dari arah puncak sehingga sungai-sungai yang melintasi Jakarta meluap. Dan ketiga, banjir yang terjadi karena tidak cukupnya penampungan air ketika terjadi hujan di Jakarta.
NCICD dibuat untuk menghadapi jenis banjir pertama. Ide di dalam NCICD adalah membuat tembok raksasa di sepanjang Teluk Jakarta. Namun, untuk mendatangkan uang dari proyek penanganan banjir ini, maka pada sepanjang tembok raksasa ini akan dibangun 17 pulau, yang nantinya akan diisi gedung-gedung sebagai, misal, tempat tinggal dan perkantoran. Orang-orang yang kurang mampu, seperti para nelayan yang kemungkinan besar akan tergusur proyek ini, nanti akan diletakkan di ujung timur dan barat sayap “Garuda,” di tempat yang dalam gambar disebut dengan “maritime communities”. Bentuknya nanti semacam kampung terapung. Menurut master plan NCICD pada halaman 107, “Floating communities is a concept that aims to embrace the traditional fishing/maritime settlement character.” Meski ini juga bisa dilihat bahwa perumahan di lahan reklamasi akan terlalu mahal bagi nelayan, jadi mereka ditempatkan di ujung saja, di kampung terapung.
Selain itu, dalam NCICD ini juga terikut proyek perbaikan Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan ini perlu diperbagus supaya bisa mendukung perekonomian Indonesia, seperti yang disampaikan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesi (MP3EI) 2011-2025. Dalam bahasa MP3EI, ini disebut “peningkatan konektivitas”. Peningkatan konektivitas ini adalah bahasa lain dari memperlancar sirkulasi produk.
Jenis banjir kedua di Jakarta ditangani dengan usaha pengerukan sungai-sungai dan reservoir. Ini proyek yang lain, namanya Jakarta Urgent Flood Mitigation Project, dibiayai dengan pinjaman dari Bank Dunia sebanyak 139,64 juta Dollar AS. Sedang berlangsung. Sebanyak 11 sungai dan 4 waduk di Jakarta dikeruk. Untuk memperlancar aliran Kali Ciliwung, maka orang di Kampung Pulo harus digusur. Mereka menghalangi aliran air.
Untuk menghadapi jenis banjir yang ketiga, sederhananya langkah yang seharusnya diambil adalah meningkatkan area-area penampungan air, apakah ia area serapan atau kolam penampungan, agar mampu menyerap dan menampung air ketika hujan turun di Jakarta. Tetapi, di Jakarta, lahan-lahan yang memainkan fungsi seperti area tangkapan air, area hutan lindung, area hijau, dan hutan kota sudah dikonversi menjadi mall, apartemen, perumahan mewah, dan pabrik otomotif. Antara 1985-2006 total luas konversi lahan seperti ini mencapai hampir 4.000 hektar. Pada 2008, kepada The Jakarta Post, Gubernur DKI kala itu, Fauzi Bowo, menyatakan menggusur mall dan hotel besar untuk meningkatkan ruang hijau di kota Jakarta sebagai langkah yang “impractical”. Ahok juga tampaknya tidak tertarik menggusur bangunan-bangunan komersial di hampir 4.000 hektar ini.
Di mata pemerintah yang bisa dilakukan (practical) adalah menggusur pemukiman-pemukiman di bantaran kali yang sering disebut ilegal. Meskipun, kalau mau melihat bagaimana konversi lahan yang disebutkan di atas yang mencapai hampir 4.000 hektar itu, semuanya melanggar Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005, dan dengan demikian justru itu ilegal. Tapi yang berkuasa mendefinisikan legal dan ilegal adalah orang seperti Fauzi Bowo dan Ahok. Orang-orang pinggir kali tidak/belum mampu melakukan itu. Atau kalaupun sudah mampu, belum cukup kuat. Kalau perlu, seperti kata Ahok yang dapat dibaca di media, orang-orang pinggir kali yang datang dari luar Jakarta dia sediakan duit pribadinya agar mereka pulang kampung.
Karena giant sea wall adalah proyek raksasa, maka para pengembang pun mengerubung. Mencari untung. Tak berbeda jauh dengan semut yang mendatangi gula. Pada 2014, beberapa nama perusahaan muncul di media, seperti PT Intiland, PT Pelindo, PT Manggala Krida Yuda, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, PT Muara Aisesa Samudra, PT Saladri Ekapaksi, PT Kapuk Naga Indah, dan PT Agung Podomoro Land melalui anak perusahaannya PT Muara Wisesa Samudera.
Dalam konteks untuk memenuhi permintaan konsumen semen seperti pembangunan giant sea wall Jakarta yang pada prinsipnya—mengikuti paparan di atas—akan menyelamatkan para orang kaya (orka) Jakarta itulah pabrik semen seperti di Pati, Jawa Tengah, akan dibuka. Ada penolakan dari rakyat, tentu saja. Baru-baru ini, melalui pemberitaan media disebutkan bahwa Ridwan Saputra, Senior Environment Compliance Officer PT Indocement, menyatakan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mencatat bahwa 67 persen rakyat yang terdampak menolak pendirian pabrik milik PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak usaha milik Indocement, di Pati. Namun menurut Ridwan, tingginya penolakan rakyat itu bukan menjadi acuan AMDAL disetujui atau tidak.
AMDAL memang tidak peduli dengan angka 67 persen. Penolakan rakyat tidak penting bagi Indocement, bahkan kalaupun ribuan rakyat memblokir jalan Pantura seperti akhir Juli lalu. Yang penting adalah produksi semen digeber. Proyek infrastruktur seperti giant sea wall harus jalan.
Untuk mencapai tujuan ini, maka menurut Indocement, orang Pati harus ‘dibuat menjadi layak’ dulu. Selama ini rupanya Pati dan orang Pati dianggap belum ‘layak’ secara sosial untuk pembangunan pabrik Indocement. Karena itu program pertama adalah membuat mereka menjadi layak. Atau yang dalam bahasa materi presentasi Indocement bertajuk Public Expose PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., yang dapat diunduh di internet, disebutkan sebagai “preparing social properness”.
Dalam rangka menyiapkan kondisi sosial yang layak ini, maka Indocement mengadakan program corporate social responsibility (CSR) di Desa Larangan, Pati. Tempat ini kemudian berubah menjadi “training centre for limited agricultural area,” alias pusat pendidikan untuk pertanian lahan terbatas. Tentu saja ini harus dilakukan. Nanti kalau lahan petani yang sudah terbatas dipakai Indocement, maka akan semakin menyempit. Jadi orang Pati disiapkan dulu untuk berhadapan dengan kondisi masa depan seperti itu.
Materi yang lain dalam pusat penelitian dan pendidikan ini adalah “waste management to become fertilizer…,”. Orang Pati harus dididik bagaimana mengolah pupuk dari sampah. Tidak dijelaskan sampah apa yang dimaksud, namun mungkin semacam ‘sampah’ daun-daun atau kotoran sapi. Kemungkinan Indocement membuat pusat pendidikan yang mengajari orang Pati untuk mengolah daun dan kotoran sapi menjadi pupuk. Dan itu semua tujuan akhirnya adalah untuk menyelamatkan orang kaya di Jakarta.***
Penulis adalah Mahasiswa doktoral UNESCO-IHE, Institute for Water Education, Delft.