PEMBACA tentu pernah melihat gambar, membaca berita, mendengar cerita, atau menonton tayangan tentang Alien. Setidaknya sekali. Di Amerika Serikat, pusat peredaran kapital global yang konon negara paling maju itu, bersama-sama Bigfoot, Sasquach, dan monster-monster lokal, Alien masih menjadi bagian dari kepercayaan rakyat yang populer. Kepercayaan ini katanya disokong bukti-bukti. Mereka percaya pernah ada pesawat Alien yang jatuh di bumi dan kini pesawat bersama pilotnya ada di fasilitas milik pemerintah yang misterius bernama Area 51. Bukti empiris diajukan. Teori dan temuan-temuan sains dimanfaatkan. Tak cuma UFO dan Cropcircle yang menurut mereka bukti dari operasi Alien di bumi. Segala rupa tinggalan masa lalu dari lukisan gua hingga Gedung Putih, dari tengkorak almarhum ratu Babilonia hingga struktur genetika manusia, dari senjata-senjata yang diperikan dalam epos Mahabharata hingga teori lubang hitam, dari Sphinx dan patung-patung Pulau Paskah dan teori relativitas Einstein, menurut yang percaya, pun ialah bukti keberadaan Alien.
Yang paling menonjol dari sosok Alien ialah kemiripan anatomisnya dengan Homo sapiens. Tungkai depan dan belakangnya terdiferensiasi sebagai tangan dan kaki. Telapak kaki mereka paripurna bentuknya untuk menyokong pergerakan bipedal terestrial. Tengkorak disokong tulang punggung dengan letak foramen magnum (lubang di bawah tengkorak tempat sambungan tulang belakang) di tengah-tengah persis punya Homo sapiens dan tak seperti kadal atau kelinci yang agak ke belakang. Salah satu perbedaan mencolok, tengkorak mereka jauh lebih besar dan lonjong. Begitu pula mata mereka yang besar dan retina semua. Sementara itu lubang hidung mereka, meski sama dua, ukurannya cenderung lebih kecil. Mulut mereka juga kecil. Entah di dalam mulut itu ada geligi dan lidah, kita tak tahu. Kemungkinan besar sih tak ada karena mereka tidak memerlukannya dalam komunikasi. Tanpa gigi dan lidah, akan amat terbatas fonem yang bisa dihasilkan. Kesedikitan itu tak masalah karena mereka konon berkomunikasi lewat telepati, dengan kekuatan pikiran. Alien juga tak berbulu. Perawakannya juga cenderung ceking. Setidaknya sampai sekarang belum ada kabar Alien itu gondrong atau obesitas.
Apakah Alien betul-betul ada? Karena sosoknya mirip primata, untuk membuktikan ada atau tidak, mari kita tengok anatominya. Bipedalisme atau anatomi yang menyokong pergerakan dengan dua tungkai belakang boleh dibilang ciri anatomis Homo sapiens. Tak ada primata lain yang anatominya bipedal sempurna. Simpanse dan gorila memang sesekali juga bergerak dengan dua kaki. Tapi tak bisa berlama-lama karena mereka pasti cangkeul (pegal-pegal). Dari bukti-bukti mutakhir dalam rekam jejak evolusi hominin (keluarga manusia), bipedalisme berkembang pertama kali dalam bentuk peralihannya tujuh hingga empat juta tahun silam. Hanya dua atau empat juta tahun setelah percabangan yang menurunkan leluhur simpanse dan manusia. Dari situ struktur anatomi bipedal yang sudah seperti manusia sekarang berkembang bersama evolusi Homo erectus/ergaster sekitar 1,9 juta tahun silam di Afrika. Konteks munculnya kera bipedal jutaan tahun silam dan paripurnanya anatomi tersebut pada genus Homo ialah perubahan bentang alam Afrika karena perubahan iklim sepanjang peralihan dari Kala Miosen ke Pliosen-Pleistosen. Afrika yang sebelumnya berselimut belantara berubah secara mendadak (secara geologis maksudnya, dalam beberapa ratus ribu tahun saja) menjadi Afrika tandus berselimut bentang sabana dan hutan jarang. Leluhur hominin ialah gerombolan kera arboreal (hidup di pepohonan) yang terdesak dan terpaksa menyambung hidup di tepian hutan atau sabana berpohon. Peralihan cara hidup ini menggeser fungsi tungkai depan dan mengubah anatomi tungkai belakang. Tungkai depan makin sedikit fungsinya dalam pergerakan. Kaki mulai terspesialisasi untuk berjalan di permukaan tanah, tidak di pepohonan.
Kalau benar Alien itu bipedal seperti halnya Homo sapiens, maka di kampung halamannya sana leluhur mereka mestinya berevolusi melewati babak-babak persis seperti yang pernah dialami leluhur manusia. Kenapa? Karena bipedalisme pada primata merupakan produk kebetulan evolusi primata (atau menurut istilahnya para Marxis: historis-kontinjen). Hanya karena manusia bipedal, tidak lantas niscaya itulah anatomi pergerakan paling efisien di alam. Apa mungkin Alien berevolusi secara persis seperti evolusi manusia? Tidak mungkin. Atau kecil sekali kemungkinannya. Kenapa? Leluhur hominin ialah produk pergeseran iklim besar-besaran di akhir Kala Miosen. Lalu leluhur Homo sapiens juga produk perubahan iklim radikal di dalam Kala Pleistosen yang suhu buminya naik-turun tajam dalam beberapa ratus ribu tahun saja. Iklim dan perubahan-perubahannya ini bisa saja terjadi juga di planetnya Alien, tapi apa mungkin sepersis yang terjadi di bumi selama proses evolusi manusia? Lagi pula, prasayarat anatomi bipedal ialah anatomi mamalia yang pada gilirannya mewarisi anatomi reptilia klasik yang juga produk perubahan-perubahan iklim bumi yang tak bisa dikopi paste di planet lain, kecuali dengan membantai semua fakta dan menggantikannya dengan asumsi-asumsi tak berdasar. Keberadaan tungkai berjemari lima seperti pada primata saja, adalah hasil kebetulan dari perubahan-perubahan kebetulan yang terjadi jutaan tahun. Apa mungkin menyalin perubahan kebetulan di bumi sampai ke abad, tahun, bulan, dan pekan-pekan secara persis di planet lain?
Sekarang urusan tengkorak kepala. Alien punya kepala manusia. Bedanya tengkorak Alien jauh lebih besar. Rasio ukuran kepala dan badannya begitu kecil seperti ulat jambu. Pada Homo sapiens, lagi-lagi, pembesaran kapasitas otak adalah fungsi dari perubahan ekologis yang dialami dan memaksa leluhurnya mengubah pola makan. Pembesaran kapasitas otak memerlukan pasokan energi berkualitas tinggi. Meski otak hanya 2 persen dari total tubuh, tapi dia perlu setidaknya 20 persen energi hasil metabolisme. Konsumsi daging memenuhi kebutuhan ini. Untuk mungkinnya sama sekali pembesaran otak, mestilah leluhurnya mulai mengonsumsi daging. Seperti kera, leluhur manusia ialah pemakan buah yang tinggal di belantara hijau. Karena itu pulalah manusia mewarisi fisiologi diurnal (aktif siang hari) dan retina yang mampu memilah warna-warna. Di antara primata, hanya manusia yang kini bisa mengonsumsi daging dengan porsi besar dari diet harian. Bila rata-rata manusia mengonsumsi 20-50 persen protein hewani, simpanse paling banter dua persen saja. Kenapa leluhur manusia makan daging? Perlu ada perubahan fisiologis pencernaan untuk bisa memakan daging. Tanpa enzim dan zat-zat tertentu, usus tak akan bisa mencernanya. Tanpa pencernaan tak ada energi. Tanpa energi, tentu saja, mati. Tidak seperti dalam khayalan, perubahan fisiologi dari pemakan buah ke pemakan segala perlu waktu ratusan ribu bahkan jutaan tahun. Lagi pula setiap perubahan itu menyakitkan. Coba saja tanya teman perempuan, kekasih, atau istri yang sedang menstruasi atau hamil. Karena perubahan hormonal akibat perubahan siklus metabolisme mereka tak cuma tiba-tiba suka uring-uringan, tapi juga mules, merasa kepanasan, atau pusing. Artinya, perubahan fisiologis dari leluhur pemakan buah ke pemakan daging memerlukan suatu tekanan besar yang pilihannya hanya berubah atau punah. Nah, ketika belantara Afrika berubah dari belantara ke padang sabana karena iklim bumi berubah dari dingin ke panas sehingga belantara menyusut drastis dan begitu pula makanan ‘tradisional’, leluhur manusia yang ternyata tak mau mati itu mencoba-coba mengais dan memakan bangkai sekitar 2,5 juta tahun silam. Kebiasaan ini pasti mematikan sebagian populasi. Tapi alhamdulillah sebagian lainnya bertahan dan menurunkan keturunan yang bisa mengolah daging. Sekitar 2 juta tahun silam, spesies yang bisa bikin perkakas batu dan berburu mamalia lahir dan bertahan hidup dan kelak menurunkan kita, Homo sapiens.
Lagi pula, pembesaran kapasitas otak menambah beban reproduksi biologis. Semua perempuan yang pernah melahirkan normal pasti tahu betul beban ini. Semakin besar rasio otak dan tubuh, makin berat beban melahirkannya. Tak seperti simpanse dan gorila yang kuadurpedal (berjalan dengan empat tungkai) dan dengan begitu lebar pinggul dan saluran beranaknya juga besar, semakin paripurna anatomi bipedalnya manusia makin sempit pula saluran beranaknya. Artinya janin semakin sulit dilahirkan. Pada manusia, jalan keluar evolusionernya ialah prematurisasi kelahiran. Janin dilahirkan ketika organ tubuhnya (termasuk otak) belum berkembang paripurna. Alih-alih 21 bulan ketika organ berkembang penuh, janin manusia dilahirkan ketika baru 9 bulan. Akibatnya, orok manusia jauh lebih ringkih ketimbang orok primata lainnya. Apalagi dibanding bayi reptil yang ketika menetas langsung bisa lari dan berburu. Jadi, kalau betul Alien itu ada dan kepalanya jauh lebih besar dari manusia, maka mereka pasti pernah mengalami babak evolusi yang persis sama dengan evolusi manusia, sepaket dengan perubahan-perubahan ekologisnya. Apa mungkin? Kecil sekali kemungkinannya ada planet yang riwayat geologi dan klimatologinya berubah sepersis bumi sampai ke hitungan bentang alam dan cuaca.
Kalau secara biologis-evolusioner kemungkinan adanya Alien, khususnya jenis yang sosoknya mirip manusia, agak mustahil, kenapa orang masih percaya? Bukankah membuktikan keberadaannya mesti ditopang pembuktian hal-hal lain soal penopang keberadaan kehidupan dan evolusinya? Semakin kita percaya, semakin berat beban ilmiah untuk membuktikan kenapa mereka bipedal? Kenapa mereka punya mata besar yang retina semua? Kenapa kepala mereka begitu besar? Dari struktur macam apa dan bagaimanakah anatomi pascakranial penopang kepala ini berevolusi? Lingkungan planet seperti apa yang memungkinkan berevolusinya ciri-ciri biologis ini? Kenapa jemari mereka lebih sedikit jumlahnya dari jemari primata di bumi, padahal mereka konon bisa memproduksi pesawat canggih? Dengan jemari begitu, kira-kira bagaimana bentuk gitar, piano, dan mesin ketik mereka? Kalau benar mereka pernah ke bumi, bagaimana mereka mengatasi oksigen yang suka merusak yang serba hayati? Kalau benar mereka ke sini naik pesawat UFO, dari mana dan bagaimana bahan baku produksi pesawatnya? Cara produksi macam apa yang melandasi perekonomian mereka sampai-sampai bisa memproduksi pesawat supercanggih? dan seterusnya-seterusnya ad absurdum.
Meski sebetulnya lebih berat beban pembuktian ilmiahnya untuk percaya pada Alien ketimbang tidak, masih banyak saja orang yang percaya keberadaannya. Malah ada orang-orang yang sampai bikin agama untuk memuja dan rela mati karenanya. Buat saya sih sederhana. Alien itu, terutama yang sosoknya digambarkan mirip Homo sapiens, tidak ada. Kalau pun ada, keberadaan mereka hanya di ranah kepercayaan sehingga beban penjelasannya cukup dengan cultural studies, sosiologi gaya hidup, atau antropologi agama. Pakai teori kesadaran kolektifnya Durkheim atau teori mitologisnya Lévi-Strauss juga boleh.
Xenofanes pernah menulis, “andaikata sapi dan kuda punya tangan dan bisa menggambar, serta mereka bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti halnya manusia, kuda akan menggambarkan dewanya seperti kuda, dan sapi seperti sapi”. Perkataan ini jauh hari kemudian dipungut Ludwig Feuerbach. Buat Feuerbach si materialis, sosok dan sifat Alien tak lebih dari proyeksi kesadaran manusia atas keberadaan dirinya sendiri. Tambahkanlah ‘maha’ pada sosok dan sifat manusia, maka jadilah Alien, kata Feuerbach. Boleh jadi gambaran otak Alien yang ‘maha’ besar tak lebih dari proyeksi kesadaran sosial di bawah kapitalisme bahwa otak, yang tak lain dari wujud materiil pikiran, lebih penting ketimbang fungsi-fungsi tubuh lainnya; bahwa CEO itu lebih penting ketimbang pekerja.
Akhirul kalam, benar kata Engels kalau idealisme itu produk akut masyarakat kelas. Bahkan di dalam masyarakat kapitalis paling maju dengan serba sains dan teknologi canggihnya, tahayul tak kunjung lenyap. Tak cuma Alien yang hidup dalam kesadaran sosial masyarakat kapitalis. Sosok-sosok beranatomi bipedal lain warisan masyarakat perbudakan dan feodal juga masih sehat wal afiat sampai sekarang. Mungkinkah ada yang keliru dengan pengajaran sainsnya? Atau mungkinkah karena sains di bawah kapitalisme belum kaffah menerapkan asas-asas ilmiah karena didorong terus sekadar sebagai kaki tangan kapital dalam mengeksploitasi alam dan manusia secara efektif dan efisien? Atau, bisa jadi karena tahayul memang punya fungsi dahsyat di tangan kelas yang mengandalkan keberadaannya dari penghisapan hasil kerja kelas lain dalam peperangan kelas? Entahlah. Hanya Alien yang tahu.***
Jatinangor, 3 Agustus 2015