BERBEKAL bacaan literatur sejarah dan pengalaman, membuat penulis mengenal kalangan kiri dan kaum progresif di negeri ini yang sejak lama memang berisikan beragam posisi dan pendekatan. Beragam pembawaan dan kepentingan. Beragam istilah, jargon, dan konsep yang saling tumpang tindih dan diperdebatkan. Keberagaman yang justru lebih sering menghasilkan kabut yang memacetkan perdebatan. Selain keberagaman, sesungguhnya juga ada irisan dalam hal klaim apa yang harus diperjuangkan dan harus dilawan. Sayangnya, seperti sudah pernah direnungkan di editorial saya terdahulu, ada dua soal serius yang menjadi hambatan bagi gerakan kiri dan progresif Indonesia yaitu: soal mobilisasi dan konsolidasi. Editorial kali ini ingin kembali mengulasnya dengan cara yang lain.
Mulai 28 April lalu, ada bung Bonnie Setiawan yang terlibat di editorial IndoPROGRESS ini. Perspektif yang diajukan oleh editorial Bonnie tersebut bertolak belakang dengan editorial bung Coen Husain Pontoh yang dilansir seminggu sebelumnya. Kedua perspektif menemani penulis editorial kali ini kala menyaksikan peristiwa-peristiwa politik aktual yang dihadapi rakyat pekerja beberapa saat terakhir ini — terutama mengikuti perkembangan berita penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta.
Posisi utama yang diajukan dalam editorial Bonnie adalah pentingnya persatuan empat kelas rakyat untuk mendukung kepemimpinan bornas menuju pembebasan nasional. Sekaranglah saatnya, lewat pemerintahan Bornas Jokowi. Posisi menyerukan persatuan dengan bornas, menurut penulis, bisa diperdebatkan dan dapat dimintakan pembuktian-pembuktian ilmiahnya. Untuk itu, editorial tersebut harus kita apresiasi tinggi karena dapat dipergunakan untuk membuka perdebatan yang baik soal strategi. Perdebatan soal strategi gerakan, menurut penulis, selalu dapat membuka jalur bagi massa rakyat untuk mengupayakan mobilisasi pengetahuan dan konsolidasi tindakan politik kolektif.
Dalam editorialnya itu, Bonnie secara tersurat menyebut Jokowi sebagai representasi bornas. Ditegaskannya ‘sudah jelas kiranya bahwa Presiden Jokowi mewakili Bornas.’ Editorial itu juga mengesankan bahwa ‘saat ini, Bornas sedang pasang naik’. Nama-nama para penguasa lokal yang dianggap mewakilinya adalah: ‘Ahok’ Basuki Tjahya Purnama di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan lain sebagainya. Disimpulkannya, ‘Jokowi dan mereka ini mewakili pasang naiknya borjuis demokratis ke dalam kekuasaan di Indonesia’.
Editorial Bonnie tersebut, diakuinya sendiri, berlandas pada tesis ‘Semi Feodal Semi Kolonial’, yang menekankan arti penting persatuan mendukung kepemimpinan bornas untuk agenda yang vital: pembebasan nasional (dari kaum sisa Feodal dan Neokolonial alias para Borjuis birokrat dan Borjuis komprador).
Agenda yang tak pelak mengarahkan pertanyaan kita pada kiprah aktivis-aktivis gerakan sosial yang tengah berada dalam kepak sayap kekuasaan rezim Jokowi. Pertanyaan yang tepat diajukan pada bung Bonnie Setiawan, yang merupakan anggota tim pakar Seknas Jokowi, apakah mereka kini dapat diuji untuk membuktikan konsistensi misi pembebasan nasional tersebut? Inilah saat yang tepat, karena telah ada masa jeda yang cukup lama sejak riuh rendahnya mobilisasi bersama rakyat mendukung popularitas Jokowi berhadapan dengan rivalnya di pilpres lalu. Apakah kini, untuk agenda kepentingan pembebasan nasional, massa rakyat tak memerlukan mobilisasi? Apakah himbauan persatuan dengan bornas, bermakna rakyat miskin kota dan desa ‘sebaiknya diam saja (baca: berdamai)’ sembari, pada saat bersamaan, mengalami serangan penggusuran di mana-mana oleh para bornas tersebut?
Praktik kekuasaan Ahok, sebagai representasi bornas yang bergelimang popularitas di kalangan kelas menengah saat ini, jelas adalah contoh kasus yang perlu digunakan untuk memperjelas dampak himbauan bersatu dengan kebangkitan politik bornas. Bornas yang satu ini, Ahok, dalam praktik pemerintahannya telah mengembalikan kerjasama-kerjasama jasa perlindungan keamanan dan politik pada militer. Misalnya, ia membuat kesepakatan (MoU) dengan TNI untuk jasa pengamanan kawasan industri di DKI, yang artinya mengembalikan politik perburuhan Orde Baru. Ahok juga menggunakan kekerasan yang vulgar dan brutal dalam penggusuran rakyat miskin kota. Secara terbuka, ia mengabaikan pendekatan HAM dalam melihat persoalan pembangunan kota, khususnya terkait perebutan ruang hidup di kota. Dengan arogannya Ahok menyatakan, “Kalau saya ditanya, ‘Apa HAM anda?’ Saya ingin 10 juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang, (maka dua ribu orang itu) saya bunuh di depan anda”.
Tentu saja yang dirugikan dari praktik dan retorika kekerasan pemerintahan Ahok adalah rakyat pekerja. Pertanyaannya kemudian, apa gunanya rakyat pekerja berkorban untuk kebangkitan kelas borjuasi nasional yang justru menindasnya? Mengacu pada praktik represi terhadap rakyat pekerja, apakah tepat kita memandang para bornas tersebut sebagai ‘borjuis yang demokratis?’ Bukankah agenda utama di ruang demokrasi elektoral yang tersedia saat ini seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong kekuasaan demokratik yang diwakili langsung oleh perwakilan rakyat pekerja terorganisir?
Editorial kali ini sengaja mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap editorial Bonnie Setiawan, sebagai pintu masuk perdebatan yang lebih luas dan mendalam atas strategi dan analisis situasi politik yang aktual. Jenis perdebatan yang penulis yakini akan membuat IndoPROGRESS dapat mengubah sejarah gerakan kiri dan progresif yang selama ini tidak memiliki arena bersama untuk berdebat ilmiah secara demokratis dan produktif. Jenis perdebatan yang perlu agar kita tak perlu terasing dalam klaim siapa yang paling benar. Keterasingan yang membuat keberagaman taktik dan pendekatan kalangan progresif seolah tak berarti signifikan terhadap daya mobilisasi dukungan dan peningkatan pemahaman politik massa rakyat pekerja secara luas.
Menurut penulis, perdebatan yang substansial atas dinamika politik nasional aktual, penting diintensifkan di IndoPROGRESS dewasa ini. Dengan terus berkepanjangannya krisis mata uang rupiah terhadap dollar AS, bisa dipastikan bahwa rezim Jokowi akan semakin agresif dalam mendorong pembangunan-pembangunan infrastruktur di seluruh negeri. Ini berarti tindakan-tindakan penggusuran dan penjarahan hak milik rakyat miskin akan semakin intensif dan ekstensif. Dalam momen inilah, menurut penulis, adalah penting untuk mempertanyakan analisis dan strategi dari masing-masing kalangan progresif.
Semoga pengetahuan yang dihasilkan dari perdebatan soal analisa dan strategi akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kapasitas mobilisasi dan konsolidasi gerakan rakyat pekerja. Akhir kata, selamat datang bung Bonnie Setiawan, mari belajar sama-sama.***