SYRIZA kalah. Menghadapi tekanan mengenai paket-paket pengetatan (austerity) dari Troika (Uni Eropa, IMF dan Bank Sentral Eropa), aliansi popular demokratik yang kemarin berhasil memenangi pemilu Yunani ini, gagal.
Kekalahan politik aliansi politik demokratik-popular yang terwakilkan dalam Partai SYRIZA, dapat dimaknai sebagai bentuk kebodohan. Dalam politik, kekalahan SYRIZA di atas telah dijelaskan sebelumnya oleh Bernard Keane dan Helen Razer (2014)[1] sebagai bentuk keterbatasan nalar untuk memahami sebuah persoalan secara utuh sehingga membuat kita sebenarnya tidak paham atas apa yang kita lakukan maupun kita nilai dalam suatu peristiwa yang tengah terjadi. Sehingga kebodohan dalam konteks ini bukan identik dengan kelambatan berpikir (dungu) atau kegagalan untuk memahami pengetahuan (tolol), namun soal absennya pengetahuan yang memadai untuk memahami realitas sosial, sehingga menghasilkan tindakan tanpa sebuah peta pemahaman akan realitas sosial yang jelas. Dalam konteks aksi politik yang dilakukan oleh SYRIZA, kebodohan dalam beberapa hal patut kita alamatkan kepada mereka.
Keberhasilan memperoleh mandat dari rakyat untuk memajukan agenda bersama anti pengetatan (anti-austerity) bagaimana mungkin menghasilkan sebuah capaian yang tidak dapat diterima oleh nalar, yakni menerima paket tekanan Troika berupa bantuan uang dengan prasyarat-prasyarat yang mengatur soal pengetatan? Analisis untuk memahami momen politik ini tidak lain adalah bentuk pengkhianatan terhadap aspirasi demokratik warga Yunani. Konsekuensi dari analisis tersebut membuat kita terancam untuk tidak mengambil pelajaran politik yang sangat berharga bagi kemajuan arah politik progresif di Indonesia.
Hal yang hilang dalam diskusi tentang aksi politik hingga soal tragedi politik yang dialami SYRIZA menjadi hijab bagi pemahaman kita atas problem dominasi rezim kapitalisme neoliberalisme- yang tengah mengepung kekuatan rakyat Yunani. Persoalan tersebut adalah absennya diskusi tentang ideologi dan implementasinya dalam aksi politik SYRIZA. Apabila menarik sedikit ke belakang, Gramsci dalam Prison Notebooks telah menjelaskan bahwa kekalahan dari kekuatan sosial progresif dalam arena politik berakar dari dua hal yakni: keterbatasan pengetahuan agensi politik dalam memahami realitas sosial dan atau kekalahan dari kekuatan progresif dalam membangun hegemoni di dalam front politik kerakyatan untuk memajukan agenda politik mereka. Berdasarkan analisis Gramsci diatas, dapat disebutkan bahwa kegagalan politik SYRIZA bukan hanya soal kesalahan strategi seperti diungkapkan oleh Muhammad Ridha[2], namun tidak lebih dari bentuk pengkhianatan.
Problem dari apa yang disebut sebagai tragedi SYRIZA memang terkait dengan problem strategi. Namun memahami persoalan strategi tanpa penjelasan tentang persoalan ideologis, maka tidak akan ada pelajaran yang dapat diambil tentang bagaimana sebuah pilihan ideologi dapat menghambat agensi politik untuk memahami realitas pertarungan sosial beserta implikasi-implikasi katastropik setelahnya. Sebuah anekdot sarkastik oleh Slavoj Zizek[3] dapat menjadi contoh. Ketika seorang tentara Mongol berkunjung ke sebuah kampung di daerah taklukan di Rusia,\ sang prajurit tidak dapat menahan syahwatnya. Ia kemudian mendatangi sepasang suami-istri dan memaksa mereka agar sang istri mau melampiaskan syahwat si prajurit di tanah terbuka. Tidak lupa, prajurit tersebut mengancam sang suami sembari meminta agar pada saat prajurit menyetubuhi istrinya, sang suami harus memegang testis si prajurit agar tidak terkena pasir karena akan mengotorinya. Ketika selesai melampiaskan hasratnya dan meninggalkan sepasang suami-istri tadi, tiba-tiba sang suami berteriak senang. Sang istri bertanya dengan emosi mengapa suaminya berteriak senang. Sang suami mengaku senang karena telah mengoleskan pasir ke testis si prajurit Mongol.
Dalam konteks bertahtanya kapitalisme neoliberal, perlawanan politik tanpa pemahaman ideologi yang akurat hanya akan memunculkan tindakan seperti yang dilakukan oleh suami yang merasa sukses besar setelah mengoleskan pasir ke tentara Mongol. Demikian pula analisis atas strategi tanpa kritik ideologi dan pengetahuan tidak akan pernah memberi penjelasan bahwa tindakan seperti anekdot di atas tidak memberikan pukulan mematikan. Analisis yang tajam terhadap politik perlawanan rakyat Yunani melawan Troika tentu membutuhkan pemahaman yang melampaui konstelasi pertarungan sosial pada aras strategi politik semata. Kita membutuhkan refleksi politik mendalam dan bukan hanya ulasan pendek soal strategi yang lebih tajam dibandingkan komentar dalam pertandingan sepakbola.
Artikel ini ingin menjelaskan bahwa tragedi SYRIZA adalah buah dari beberapa kekalahan yakni: Pertama, problem ideologis dimana sebagian besar anasir-anasir politik di dalam SYRIZA memiliki tendensi pengetahuan yang menghalangi mereka dari pemahaman utuh atas realitas sosial yang berakibat tragis bagi kekuatan rakyat. Kedua, keterbatasan tendensi pengetahuan (ideologi) sebagian kalangan tersebut, berujung pada kesalahan strategi politik yang diambil sebagian besar elemen SYRIZA. Ketiga, adalah kegagalan kekuatan sosialis untuk membangun kepemimpinan yang hegemonik dalam fragmen pertarungan kelas antara rakyat Yunani versus Troika.
Itu mengapa penting untuk mengulas beragam tendensi pengetahuan/ideologis dari elemen-elemen di dalam SYRIZA yang dapat ditelusuri jejaknya baik dalam aksi maupun pandangan politik mereka. Yang mana di awal artikel telah disebutkan bahwa setidaknya ada tiga proyeksi politik ideologi yang mempengaruhi SYRIZA yakni; Polanyian (ideologi yang dipengaruhi oleh ekonom liberal-sosial Karl Polanyi), Laclauian (ideologi yang terproyeksi dari akademisi asal Argentina Ernesto Laclau tentang artikulasi radical democracy dan progressive populism) dan Leninism (proyeksi politik dan pengetahuan sosialis yang terinspirasi dari kemenangan Revolusi Bolshevik 1917 yang dipimpin oleh V.I. Lenin). Artikel kali ini akan membatasi ruang diskusi pada keterbatasan dari tendensi pengetahuan ideologis Karl Polanyi di dalam tubuh SYRIZA.
Tendensi Karl Polanyi dalam SYRIZA
Tendensi pengetahuan Polanyian anehnya, merupakan arus utama dalam SYRIZA, yang tidak pernah diulas. Perwujudannya terartikulasikan dengan baik oleh ekonom brilyan yang merupakan mantan Menteri Keuangan Yunani, Yanis Varoufakis. Dalam artikelnya di The Guardian[4], Varoufakis menjelaskan posisi ideologisnya sebagai seorang Marxis eratik[5]. Sebagai ekonom, Varoufakis mengaku memperoleh pencerahan dari gagasan teoritik Karl Marx yang memperkenalkan realitas dari sistem kapitalisme yang menghasilkan oposisi biner kontradiktif antara hutang dan surplus, pertumbuhan dan pengangguran, serta kemakmuran dan kemelaratan. Kontradiksi tersebut lebih mendalam lagi berpijak pada kontradiksi antara modal (capital) dan kerja (labour). Dalam aktivitas kerja terdapat dua karakter yang bertolak belakang. Pertama, sebagai aktivitas menciptakan nilai yang tidak bisa dikomodifikasikan dan dikuantifikasikan. Kedua, kerja sebagai sesuatu yang bisa dikuantifikasi dan dikomodifikasi dalam pasar kapitalistik, dijual dan memiliki harga.
Dalam pandangan Varouvakis, kontradiksi di dalam sistem kapitalisme berlangsung dalam konteks pertarungan untuk menentukan nilai komodifikasi dari proses kerja. Kaum borjuis menggunakan segala macam cara untuk menekan nilai kerja yang terkomodifikasi dalam kapitalisme, sementara kelas pekerja berusaha menaikkan nilai dirinya melalui kuantitas harga. Baginya, pertarungan kelas dalam proses kapitalisme neoliberal tampak dalam strategi kaum borjuis untuk meyakinkan khalayak secara luas bahwa hanya mekanisme pasar yang harus dipercayai untuk menentukan harga barang dan kerja. Karena dengan kepercayaan total kepada pasar sebagai Yang Maha Penentu, kelas-kelas dominan dapat menarik profit sebesar-besarnya dan mendinamisasi proses akumulasi modal. Sementara perjuangan melawan kapitalisme neoliberal dalam perspektif Varoufakis adalah menolak tendensi komodifikasi tanpa batas atas kerja dalam kapitalisme neoliberal.
Dalam pengertian khas Polanyian inilah, Varoufakis meletakkan kontradiksi ekonomi-politik dari kapitalisme.
Dari akar persoalan di atas, Varouvakis menjelaskan dalam artikelnya bahwa tugas yang harus dilakukan seorang Marxis Eratik bukanlah mengikuti perspektif Marxist secara taklid dogmatis. Yaitu dengan memproyeksikan jalan politik menuju pembentukan negara di bawah kepemimpinan kelas pekerja. Jalan pembebasan dari kapitalisme neoliberal maupun tekanan Troika di Eropa adalah dengan menyelamatkan kapitalisme dari kapitalisme itu sendiri. Yang artinya, adalah membangun tiang pancang institusi-institusi demokratik yang dapat melekatkan logika pasar dengan kehendak demokratik warga negara (embedded market).
Di permukaan, tendensi Marxis Eratik ini terlihat indah. Mirip dengan kaidah etik untuk mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Mengambil yang baik dari Marxisme tentang analisis kontradiksi kapitalisme dan membuang yang buruk di dalamnya tentang tendensi totalitarian dalam rezim-rezim negara buruh yang dekat dengan semangat demokrasi sosialis-demokratik.
Apabila kita telusuri, dalam dimensi yang lebih dalam lagi, benarkah Varoufakis adalah seorang penganut Marxis yang fleksibel? Benarkah ia Marxist yang lebih memahami apa yang baik dari ajaran Karl Marx sehingga memahami apa saja yang buruk yang harus dibuang? Atau sebenarnya Varoufakis adalah mengusung tendensi ideologi pengetahuan yang berbeda namun sekilas mirip dengan posisi Karl Marx? Mungkinkah Marxis Eratik yang dikampanyekan Varoufakis tidak lain merupakan mutasi dari posisi ideologis Karl Polanyi, yang banyak menginspirasi para ekonom atau ilmuwan politik abad ke-21 seperti Joseph Stiglitz, Jedediah Purdy, sampai Ronaldo Munck?.
Untuk menyingkap hakikat dari tendensi ideologis dan agenda politik Yanis Varoufakis, menjadi penting untuk kemudian membahas Global Minotaur[6]. Karya Vourafakis ini berusaha memproyeksikan analisis dan solusi yang sebelumnya telah dituliskan Karl Polanyi[7]. Perbedaannya hanyalah upaya Vourafakis untuk merasionalisasi teori Polanyi dalam konteks krisis Eropa maupun krisis neoliberal terkini. Varoufakis menggemakan kembali tesis Polanyi tentang problem yang muncul dari unregulated market mengenai kontradiksi antara logika produksi kapitalis untuk menciptakan surplus yang harus berhadapan dengan hadirnya elemen nilai kerja dan pasar uang (money market). Uang menjadi energi sekaligus beban, karena uang dalam bentuk hutang harus dibayar kembali. sementara elemen nilai kerja yang terkuantifikasi menjadi beban dalam proses produksi. Krisis kapitalisme berlangsung ketika pasar tidak dapat mengontrol dan mengelola kontradiksi tersebut dan memunculkan ketidakberfungsian pasar (malfunction market) yang berupa modal yang telah terinvestasi, nilai harga yang cenderung turun disertai dengan daya permintaan yang jatuh akibat proses pemelaratan sosial, serta pengangguran yang menyebar dan beban hutang yang menumpuk tak terbayar sehingga membuat sirkulasi ekonomi kolaps.
Dalam pandangan Varouvakis, tendensi krisis dalam kapitalisme neoliberal ini memunculkan respons perlawanan politik berbasis kerakyatan. Perlawanan politik terhadap tendensi unregulated market ini -seperti diuraikan dalam artikelnya di The Guardian- lalu ditujukan untuk menyelamatkan kapitalisme dari kapitalisme itu sendiri[8], bukan menyelamatkan seluruh rakyat dari eksploitasi oleh tatanan kapitalisme.
Bagaimana kita memahami paradoks dari kalimat Varoufakis di atas? Inilah kunci untuk memperoleh kesimpulan mengenai kedekatan tendensi pengetahuan Polanyi dalam gagasan yang dituangkan oleh Varoufakis.
Apa yang diuraikan Varoufakis tentang problem kapitalisme neoliberal memiliki pijakan pada pemahaman tentang masyarakat pasar (market society) seperti yang diuraikan oleh Polanyi dalam The Great Transformation.[9]. Polanyi menjelaskan bahwa problem kapitalisme terletak pada realitas masyarakat pasar dimana masyarakat diletakkan dibawah kekuasan mekanisme pasar. Masyarakat pasar adalah sistem ekonomi yang dikontrol, diatur dan diarahkan oleh pasar, tatanan dalam produksi dan distribusi barang dan jasa dipercayakan kepada mekanisme pasar itu sendiri tanpa kontrol mekanisme politik demokratik. Perluasan ekspansi pasar tanpa batas ini secara eksesif mengakibatkan terserapnya entitas-entitas non-pasar sepenuhnya ke dalam mekanisme pasar seperti nilai kerja (autentisitas aktivitas manusia), tanah (alam) dan uang (alat pertukaran dalam pasar) menjadi komoditi (fictitious commodity yang dibedakan dengan normal commodity)[10].
Polanyi menjelaskan bahwa unregulated market membutuhkan kontrol institusional yang berbasis pada politik demokrasi. Tatanan institusi politik tersebut muncul dari respon gerak dialektik perlawanan rakyat terhadap tendensi komodifikasi pasar dalam unregulated market. Suatu dinamika sosial menuju proses transformasi sosial yang disebut double movement. Gerak perlawanan dinamik dari rakyat yang muncul sebagai respon terhadap kapitalisme pasar tanpa batas ini tidak bermaksud untuk meruntuhkan tatanan kapitalisme, namun justru untuk mengawinkan institusi ekonomi pasar dengan kontrol demokratik dari warga negara yang berpijak pada negara (atau dalam konteks hari ini, tata kelola demokratik berbasis global governance seperti Uni Eropa dan lembaga-lembaga internasional). Sosialisme dalam pengertian Polanyi bukanlah sebuah tatanan sosial alternatif yang melampaui tatanan ekonomi kapitalisme, namun merupakan proses politik berbasis institusional untuk meregulasi pasar agar bekerja bagi kehendak-kehendak warganegara.
Pemahaman umum teoritik atas gagasan Polanyi diatas menjelaskan pandangan yang diartikulasikan oleh Varoufakis maupun kalangan-kalangan eksponen SYRIZA lainnya yang menggalang kekuatan politik popular demokratik untuk menolak doktrin pengetatan (austerity) dengan tetap meyakini bahwa Uni Eropa sebagai wadah bersama untuk membincangkan problem-problem mereka dalam krisis kapitalisme secara konsensual dan dialogis berbasis nalar yang mencerahkan. Kepercayaan ini terrefleksikan dalam formula yang ambivalen yakni menolak pengetatan (austerity) –yang dikenal dengan OXI, namun di saat yang bersamaan tetap mempercayai bahwa institusi politik dan ekonomi Uni Eropa sebagai pelabuhan dari setiap persoalan. Kepercayaan tersebut juga memiliki pijakannya pada buku Polanyi berjudul For A New West[11] yang membayangkan solidaritas warga Eropa di bawah tatanan politik demokratik dan egalitarian.
Karl Polanyi. Foto diambil dari http://prospect.org
Kritik atas Tendensi Polanyian dalam SYRIZA
Apa yang salah dari posisi pengetahuan bertendensi Karl Polanyi dalam SYRIZA di atas? Apa keterbatasan dari tendensi ideologis ini sehingga menghasilkan sebuah keputusan strategi yang keliru di tengah mandat politik yang begitu kuat melalui suara OXI (tidak) dari rakyat?
Untuk membedahnya kita membutuhkan pemahaman pengetahuan berbasis materialisme historis dengan menunjukkan keterbatasan-keterbatasan ideologis dari tendensi Polanyian dalam menghadapi krisis di Yunani maupun keterbatasannya sebagai formula analitik sekaligus rekomendasi politik dalam konteks pertarungan kelas yang dihadapi oleh SYRIZA, kekuatan kiri dan rakyat di Yunani dan Eropa.
Perspektif pengetahuan dari Polanyi (yang mempengaruhi sebagian besar tendensi ideologi dari SYRIZA) memaknai proses eksploitasi terhadap kelas pekerja dan rakyat secara keseluruhan sebagai turunan dari komodifikasi barang dan jasa terutama hal-hal yang tidak terkait dengan elemen-elemen yang tidak boleh dikomodifikasikan yakni tanah, kerja dan uang -entitas-entitas yang diperjualkan di arena pasar. Berangkat dari asumsi tersebut, Polanyi melihat bahwa problem utama dari kapitalisme yang memelaratkan rakyat adalah ketika aktivitas ekonomi dalam arena pasar dipisahkan dari institusi sosial-politik yang dapat mengontrol bekerjanya pasar. Bagi Polanyi, eksploitasi terhadap kelas pekerja dan rakyat adalah manifestasi dari degradasi moral, sosial dan politik sebagai konsekwensi dari terpisahnya pasar dari institusi regulatif sosial politik (disembedded markets). Dari pemahaman di atas, Polanyi melihat bahwa eksploitasi ekonomi adalah akibat dari ketimpangan pertukaran ekonomi yang diakibatkan oleh mekanisme pasar tanpa batas. Kedua, eksploitasi ekonomi sebagai kegagalan masyarakat membangun tatanan pelembagaan sosial-politik untuk mengatur mekanisme pasar.
Kalau kita cermati secara jeli, tesis Polanyi di atas sejalan dengan analisis Varoufakis dalam Global Minotaur tentang problem krisis ekonomi Eropa dan Yunani, yakni sebagai problem komodifikasi kerja yang mengakibatkan ekspansi rezime pasar bebas yang menghasilkan pertukaran yang timpang (unequal exchange) dan eksploitasi terhadap kelas pekerja maupun warga secara keseluruhan. Berangkat dari kesimpulan tersebut, maka posisi Polanyi maupun Varoufakis (yang sekarang lebih skeptis setelah ia menghadapi jalan buntu perindungan, namun posisi tersebut masih dianut oleh elit Yunani seperti PM Alex Tsipras) adalah bagaimana mempercepat proses double movement yakni perlawanan dari kelas pekerja dan rakyat bukan untuk menghancurkan sistem kapitalisme, namun mendorong formula anti-pengetatan (anti austerity) sebagai jalan rehabilitasi politik, dengan mengembalikan pasar pada kontrol institusi politik dengan Uni Eropa dan institusi-institusi nasional (negara) maupun supra-nasional (global governance) sebagai kekuatan kontrol terhadap dinamika pasar. Tujuannya tentu saja, seperti yang telah diuraikan secara retorik oleh Varoufakis bahwa perjuangan tersebut adalah untuk menyelamatkan kapitalisme dari dirinya sendiri.
Di balik kritik menentang karakter totalitarian oleh Varoufakis terhadap eksperimentasi negara buruh modern yang berusaha melampaui tatanan sistem kapitalisme, perspektif ideologi yang ia advokasikan tidak memiliki pandangan untuk membangun alternatif di luar tatanan kapitalisme. Varoufakis melalui perspektif neo-institusionalnya merekomendasikan solusi bahwa mekanisme pasar cukup diikat di bawah kontrol tatanan sosial-politik demokratik, sehingga desain pasar dapat berubah dari karakter eksploitatif menuju karakter yang lebih memberdayakan.
Berpijak pada perspektif materialisme historis, kita dapat membaca keterbatasan-keterbatasan dari rezim pengetahuan yang berporos pada pemikiran Polanyi dalam memahami struktur kapitalisme maupun krisis di Eropa dan Yunani. Pendekatan Polanyi berkarakter a-sosial-historis ketika memahami tentang gambaran besar bekerjanya ekonomi pasar terutama ketika dia membedakan antara normal commodities dan fictitious commodities. Polanyi menjelaskan bahwa komodifikasi atas tanah, kerja dan uang sebagai bentuk fictitious commodities karena entitas-entitas tersebut secara moral haram untuk diperjualbelikan secara penuh dalam sistem ekonomi pasar, namun tidak memberikan pemahaman akurat secara historis tentang bagaimana kehadiran formasi sosial sistem kapitalisme bekerja.
Asumsi teoritik Polanyi yang memaknai eksploitasi dalam sistem kapitalisme sebagai turunan dari komodifikasi atas kerja, tanah dan uang di dalam mekanisme pasar yang bekerja tanpa regulasi mengabaikan dua dimensi bekerjanya sistem kapitalisme yakni keterhubungan erat antara: pertama, aktivitas produksi dalam tatanan kapitalisme yang menciptakan ekstraksi nilai lebih (surplus value) bagi kaum borjuis di atas aktivitas rakyat pekerja dalam proses produksi yang mendukung komodifikasi dan pertukaran yang timpang (unequal exchange) dalam aktivitas jual beli di pasar. Kedua, meskipun di tingkat permukaan terlihat ada demarkasi antara proses sosial-politik dan proses ekonomi, namun secara fungsional baik institusi social-politik seperti negara berfungsi secara konstitutif dengan sistem ekonomi pasar. Sehingga alih-alih absen dalam menetapkan kontrol terhadap pergerakan pasar, negara maupun otoritas politik lainnya telah inheren bekerja melayani logika eksploitasi dalam sistem kapitalisme.
Penjelasan Polanyi tentang normal commodities dan fictitious commodities yang disebutkan di atas berangkat dari fokus yang terbatas pada eksploitasi sebagai problem komodifikasi. Ia tidak melihat secara totalitas bagaimana proses eksploitasi sosial terbentuk dalam mata rantai antara aktivitas pasar dan aktivitas produksi untuk menciptakan nilai lebih (surplus value) yang berperan mereproduksi aktivitas ekonomi maupun relasi sosial dalam sistem kapitalisme. Berbeda dengan pendekatan Polanyi di atas, dalam analisis tentang nilai, Marx menjelaskan betapa penciptaan nilai lebih memiliki keterkaitan dengan relasi kuasa antara buruh dan borjuis, terkait dengan monopoli alat-alat produksi, difusi produksi komoditas dan upah buruh, proses komodifikasi dalam pertukaran didalam arena pasar, dan subordinasi proses produksi oleh motif penciptaan keuntungan oleh kaum borjuis (Alfredo Saad-Filho 2002: 12).
Berbeda dengan pandangan Polanyi, menurut Karl Marx kerja, tanah dan uang dalam tatanan kapitalisme adalah basis substansial dari reproduksi sosial yang inheren dalam sistem kapitalisme, baik dalam aktivitas produksi maupun pertukaran di pasar, yang membentuk ketegangan dialektik dalam formasi kelas, konflik kepentingan antara kelas maupun modus pertahanan maupun akumulasi kemakmuran dalam pertarungan kelas (Selwyn dan Miyamura 2013: 653).
Apabila pendekatan Polanyi memahami kontradiksi dalam sistem ekonomi sebagai hasil dari komodifikasi barang dan jasa, yang bisa dipulihkan melalui penyatuan mekanisme pasar dan kontrol politik, maka metode materialisme historis Marx melihat bahwa problem sesungguhnya adalah eksploitasi rakyat pekerja melalui integrasi aktivitas produksi dan pasar dalam penciptaan nilai lebih untuk melayani kepentingan perburuan profit dari kaum borjuis. Dengan demikian, bagi Marx, persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan melampaui sistem kapitalisme itu sendiri.
Selanjutnya problematika dari Polanyi adalah perspektifnya yang melihat eksploitasi terhadap rakyat sebagai ekses dari proses komodifikasi yang bekerja dalam sistem pertukaran pasar tanpa pengawasan terhadapnya (unregulated market). Dengan memaknai persoalan utama pada berkuasanya otoritas pasar di atas otoritas politik, Polanyi dapat dengan mudah merumuskan bahwa kontradiksi kapitalisme terletak pada dominasi pasar di atas daulat rakyat. Solusi khas Polanyi dalam menghadapi problem tersebut adalah menghadirkan otoritas politik yang berbasis kedaulatan rakyat dan kehendak konsensual rakyat untuk mengontrol aktivitas pasar. Polanyi menegasikan proposisi penting Marx tentang perspektif pertarungan kelas. Kapitalisme cum demokrasi dalam pandangan Polanyi menjadi nostrum yang dapat merekonsiliasikan antara ekspansi pasar dan kontrol politik negara atau tatanan politik supra-state menjadi solusi bagi tatanan pasar, sekaligus kondisi yang mendorong kehadiran sosialisme.
Keterbatasan pendekatan Polanyi adalah ketika kita memahami realitas sosial dalam kerangka alur materialisme historis, bahwa sistem kapitalisme tidak memisahkan antara institusi ekonomi pasar dan institusi politik negara untuk saling mendukung satu sama lain dalam menciptakan kemakmuran bagi kaum borjuis, eksploitasi bagi kelas pekerja, dominasi dan akuisisi kaum borjuis atas alat-alat produksi di atas aktivitas kerja dari buruh dan terbangunnya relasi sosial yang timpang dalam sistem pertukaran pasar. Otoritas politik ‘demokrasi’ yang mewujud dalam bentuk negara maupun institusi supra-state seperti Uni Eropa, dalam realitasnya sudah eksis sebagai otoritas politik melalui kontrol dan regulasinya yang tidak bekerja untuk membatasi ekspansi pasar dalam wilayah ekonomi. Otoritas politik tersebut adalah bagian integral yang tak terpisahkan dengan otoritas ekonomi dan berperan secara fungsional sebagai pelayan dari sistem kapitalisme untuk memastikan praktik-praktik eksploitasi bekerja sebagai instrumen untuk membangun reproduksi sosial dalam system kapitalisme sekaligus menjadi instrument yang melanggengkan kesengsaraan bagi kelas pekerja dan rakyat secara menyeluruh.
Lalu bagaimana kita melihat fenomena “embedded liberalism” pada era paska Perang Dunia II yang diyakini oleh penganut Karl Polanyi sebagai manifestasi keberhasilan kontrol masyarakat terhadap pasar yang menghasilkan tatanan sosialisme demokratik di negara-negara Eropa dan rezim liberalisme sosial di Amerika Serikat? Dalam kerangka pendekatan materialisme historis, maka realitas tatanan ekonomi-politik global paska Perang Dunia II itu bukanlah kemenangan masyarakat melalui mekanisme kontrol otoritas politik atas pasar. Konstelasi paska Perang Dunia II adalah buah dari dialektika pertarungan kelas, dimana pada saat krisis kapitalisme yang berpotensi melemahkan dominasi kaum borjuis atas modal terjadi, reproduksi sosial sistem kapitalisme membutuhkan kesepakatan konsensual dari rakyat pekerja untuk melestarikan tatanan ekonomi kapitalisme itu sendiri. Unit analisis sejarah dalam hubungan-hubungan sosial pada saat itu adalah relasi ekonomi-politik berbasis kelas sosial bukan relasi kontradiksi antara masyarakat dan pasar seperti uraian Polanyi (David Harvey 2005).
Dari uraian panjang lebar di atas tentang keterbatasan pendekatan Polanyian dihadapkan pada analisis berbasis materialisme historis, lalu apa relevansinya dengan keterbatasan tendensi ideologi Polanyian dalam tubuh SYRIZA, baik dalam pemahaman maupun laku politik mereka?
Salah satunya dapat kita cermati dalam pidato PM Alex Tsipras ketika dia masih menjadi kandidat PM Yunani dalam debat yang diorganisir oleh Partai Sosialis Belanda di Amersfoort pada 18 Januari 2014. Dalam orasinya, Tsipras menyatakan bahwa mundurnya demokrasi dan kedaulatan rakyat di Eropa terjadi akibat dua hal. Pertama adalah formula neoliberal berupa paket pengetatan (austerity) yang menyebabkan resesi ekonomi, rendahnya penyerapan kerja dan pemiskinan sosial secara masif diseluruh Eropa. Kedua, rendahnya transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dari institusi-institusi trans-national Eropa, serta keterasingan mereka dari suara dan aspirasi rakyat. Selanjutnya Tsipras menjelaskan problem dari krisis ekonomi sebagai problem sosial-politik terkait tumbangnya otoritas politik negara dan institusi demokrasi di seluruh negara Eropa, maupun bertahtanya institusi supra-nasional anti-demokrasi yang bekerja di atas kedaulatan rakyat. Tsipras dalam orasinya memandang persoalan krisis Uni Eropa dari kacamata pertarungan antara kedaulatan pasar versus kedaulatan rakyat, atau menggunakan kontradiksi Polanyian sebagai rakyat versus pasar.
Dalam konteks ini, tidak ada persoalan terkait dengan pentingnya demokratisasi institusi-institusi politik untuk mengartikulasikan agenda politik kerakyatan ketika berhadapan dengan rezim kapitalisme neoliberal. Problem utama dari perspektif Tsipras dan diadopsi oleh sebagian kalangan di dalam tubuh SYRIZA adalah ketika agenda untuk memperluas dan memperdalam demokrasi (kedaulatan rakyat) berhadapan dengan dominasi neoliberal via program pengetatan (austerity) yang membatasi pemahaman kita tentang dimensi pertarungan kelas dan relasi institusi ekonomi maupun institusi politik sebagai perpanjangan kepentingan kelas kapitalis transnasional untuk melanggengkan eksploitasi rakyat pekerja dalam kapitalisme.
Pemahaman komprehensif atas konstelasi ekonomi-politik kapitalisme neoliberal adalah bahwa, baik institusi negara maupun Uni Eropa beserta Bank Sentral Eropa dan institusi lainnya adalah institusi yang berperan untuk menjaga kesinambungan kapitalisme neoliberal beserta instrumen-instrumen kerjanya. Dari perspektif tersebut maka perlawanan rakyat yang berhasil diorganisir secara politik semestinya menyadari bahwa desain tatanan kapitalisme neoliberal tidak bisa dengan mudah dijinakkan sedemikian rupa dengan mendorong institusi-institusi ekonomi-politik itu bekerja bagi solidaritas warga Eropa alih-alih demi kepentingan pasar. Kekuatan progresif di Yunani semestinya menyadari bahwa jalan panjang perjuangan politik yang telah mereka lakukan tidak hanya terbatas pada penguatan institusi politik demokrasi untuk membatasi pasar, namun juga siap dengan jalan politik yang lebih radikal yakni membangun proyeksi politik revolusioner yang melampaui tatanan kapitalisme itu sendiri.
Dalam kasus tragedi politik SYRIZA, kita melihat bahwa di tengah dukungan mandat yang cukup kuat melalui kemenangan referendum –suara pemilih opsi OXI mencapai 61 persen, namun kekuatan elite SYRIZA tidak berhasil mendesakkan capaian keberhasilan politik bagi warga Yunani. Alih-alih memberikan tekanan pada Troika, pada akhirnya pemerintahan Tsipras bertekuk lutut dan terpaksa menerima agenda pengetatan di tengah penolakan massif berbasis mandat demokrasi untuk menolak. Kondisi tersebut terjadi karena -sejalan dengan tendensi pengetahuan ideologis Polanyi- sebagian kalangan elite SYRIZA memahami proyeksi politik mereka terbatas pada kontrol demokratik melalui institusi negara dan supra negara terhadap mekanisme pasar. Demokrasi dan sosialisme, dalam perspektif mereka, adalah kontrol demokratik kerakyatan atas ekonomi pasar. Mereka tidak menyisakan kritisisme lebih dalam, bahwa ketika pada kenyataannya institusi-institusi tersebut berfungsi untuk melayani sistem kapitalisme dan bertugas untuk memaksakan paket pengetatan -meskipun hal tersebut telah nyata ditolak oleh mandat daulat rakyat melalui referendum. Elite SYRIZA tidak siap dengan proyeksi politik revolusioner untuk melepaskan diri dari negosiasi dengan Troika, keluar dari zona Euro atau bahkan keluar Uni Eropa dan mengawali jalan politik demokrasi untuk melampaui kapitalisme sebagai konsekuensi dari kontradiksi kelas dan imbas dari perlawanan rakyat atas represi kapitalisme itu sendiri.
Belajar dari Tragedi SYRIZA
Hal-hal yang menimpa SYRIZA memberikan beberapa pelajaran politik yang berharga.
Pertama, perlawanan terhadap proses eksploitasi kelas pekerja dan rakyat secara umum dalam dimensi kapitalisme neoliberal membutuhkan pengorganisiran kekuatan kolektif melalui organisasi politik sebagai katalis dari perjuangan tersebut. Namun demikian agar perjuangan kolektif tersebut tidak berujung proyeksi-proyeksi ilusif yang membangkrutkan kemenangan-kemenangan dalam pengorganisiran rakyat, maka perlawanan politik tersebut harus diproyeksikan dalam konteks kesadaran kelas, yakni dari kelas dalam dirinya sendiri (class in itself) menuju kekuatan kelas yang sadar keadaan dan kekuatannya sendiri (class for itself). Kekalahan SYRIZA dalam pertandingan politik saat ini adalah kekalahan proyeksi politik kelas, dan pengabaian bahwa semakin kuatnya perlawanan terhadap sistem kapitalisme neoliberal, maka secara dialektik, semakin keras pula resistensi aliansi kelas borjuis untuk melawan tendensi perlawanan tersebut dan tidak menyisakan ruang negosiasi di dalamnya.
Kedua, bahwa sebuah perjuangan politik untuk membangun aliansi politik demokratik membutuhkan bukan saja perluasan basis sosial pendukung untuk memperkuat posisi politik. Perjuangan politik pembentukan front rakyat demokratik juga harus memberikan ruang yang luas bagi diskusi dan kritik dan oto-kritik melalui perdebatan ideologis dan interogasi kritis atas pengetahuan yang dianut untuk melawan dominasi kelas dominan dalam sistem kapitalisme. Relevansi perdebatan dan interogasi atas pengetahuan dari agensi-agensi progresif adalah penting karena: (i) perjuangan politik sosialisme melawan eksploitasi di dalam sistem kapitalisme adalah perjuangan demokratisasi pengetahuan, dimana penghimpunan kekuatan massa dan basis sosial membutuhkan perumusan proyeksi praksis politik-pengetahuan untuk menentukan agenda politik progresif (ii) diskusi dan perdebatan teoritik yang memadai tentang realitas sosial dan konstelasi kekuasaan di dalamnya akan menentukan keberhasilan, kemunduran bahkan kegagalan dari perjuangan politik yang telah dibangun.
Ketiga, dalam konteks Indonesia elaborasi kritis atas perspektif Karl Polanyi di atas adalah penting untuk mencermati agenda-agenda politik progresif di tanah air. Apabila kita mencermati alur proyeksi pengetahuan dari sebagian besar intelektual maupun aktivis progresif, seperti yang berlangsung di Yunani, jejak-jejak pandangan Karl Polanyi maupun perspektif yang mirip dengannya banyak sekali tersebar dalam ruang publik yang termanifestasi dalam arus pemikiran sebagian kelompok intelektual. Kalangan progresif seperti ini melihat bahwa problem utama dari persoalan penjajahan neoliberalisme adalah absennya otoritas politik negara berbasis mandat demokratik untuk mengontrol bekerjanya pasar. Mereka melupakan bahwa entitas negara sendiri merupakan entitas politik yang problematis, yang dikuasai oleh aliansi-aliansi bisnis politik yang bekerja untuk kesinambungan sistem kapitalisme neoliberal bernuansa predatoris. Apabila kita merefleksikan kondisi Yunani dengan Indonesia, maka saatnya kita menyebarkan formula politik pengetahuan bahwa akar persoalan yang kita hadapi saat ini bukanlah soal absennya institusi demokratik berbasis dukungan rakyat versus pasar, namun pada konteks kontradiksi kelas dimana lemahnya proyeksi politik revolusioner berbasis rakyat pekerja yang berhadapan dengan aliansi kekuatan oligarki dan rezim kapitalisme transnasional sebagai akar utama dari pertarungan ekonomi politik di Indonesia.
Keempat, suatu perlawanan politik terhadap rezim kapitalisme neoliberal hendaknya menyadari bahwa mereka harus siap untuk menempuh konsekwensi-konsekwensi politik paling radikal dari proyeksi perlawanan tersebut. Kekalahan SYRIZA kali ini memberikan pelajaran berharga bahwa kompromi dan negosiasi politik tanpa konsistensi untuk memegang prinsip-prinsip yang dibangun melalui pemahaman ideologis yang kuat tidak memberikan hasil signifikan bahkan kekalahan dalam pertarungan politik tersebut. Keengganan untuk menempuh konsekuensi politik radikal dari sebuah perlawanan dan berpaling pada proses konsesi dan negosasi politik hanya akan menghasilkan pukulan telak pada keberhasilan-keberhasilan yang telah ditempuh melalui perjuangan politik kerakyatan.
Namun demikian kegagalan ini tidak perlu kita ratapi dan tidak perlu pula kita vonis ini sebagai bentuk pengkhianatan politik, karena proyeksi politik progresif sosialis memang hadir dari pembelajaran atas kekalahan demi kekalahan untuk mencapai kemenangan politik. Seperti yang pernah disampaikanSoekarno, bahwa sebuah kemenangan politik dari kekuatan rakyat tidaklah dibangun melalui kemudahan dan keberhasilan tapi adalah sebuah perjuangan politik yang ditempa oleh kerasnya keadaan. Perjuangan politik yang kuat dan matang oleh gemblengan yang kuat, kemudian hampir hancur lebur namun berani melawan dan bangkit kembali!***
Penulis adalah Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia.
———-
[1] Helen Razer dan Bernard Keane, A Short History of Stupid: The decline of reason and why public debate makes us want to scream. (London: Allen & Unwin, 2014)
[2] Muhammad Ridha, “Tragedi Syriza: Salah Strategi, Kalah Bertarung” Harian IndoProgress,. 17 Juli 2015, diakses 26 Juli 2015. http://indprogress.com/2015/07/tragedy-syriza-kalah-strategi-kalah-bertarung/
[3] Slavoj Zizek, First as Tragedy, Then as Farce. (London: Verso Books, 2009)
[4] Yanis Varouvakis, The Guardian. “How I Became an Eratic Marxism”, 18 Februari 2015. Diakses 25 Juli 2015, http://theguardian.com/news/2015/feb/18/yanis-varoufakis-how-i-became-an-erratic-marxist/
[5] Eratik, diserap dari bahasa Inggris erratic, dapat diartikan sebagai tindakan yang sering tidak menentu dan atau tidak tetap. Dalam pengertian Marxisme, istilah ini digunakan Varoufakis untuk menyebut keengganannya menjadikan Marxisme sebagai doktrin ideologi yang absolut tanpa kekurangan. Bagi Varofakis, Marxisme itu sendiri membutuhkan kontribusi dari pengetahuan lain (bahkan yang mungkin dianggap antagonistik sifatnya).
[6] Yanis Vourafakis, Global Minotaur: America, the True Origins of the Financial Crisis and the Future of the World Economy, (London: Zed Books, 2011)
[7] Karl Polanyi, The Great Transformation: The Origin of Our Time. (Boston: Beacon Press, 2001)
[8] Penekanan dari penulis, mengingat argumentasi ini menjadi sangat menarik untuk ditelusuri dan dibedah lebih lanjut.
[9] Polanyi, Loc.Cit
[10] Polanyi, Loc.Cit 71-75
[11] Karl Polanyi, A New West: Essays, 1919-1958. (New Jersey: Wiley, 2014)