TULISAN kali ini tidak akan mengulas soal politik penghematan IMF dan Bank Dunia. Sebagai bagian dari proyek neoliberalisme, seperti para pembaca tahu betul, politik penghematan atau austerity merupakan salah satu syarat penalangan utang-utang jatuh tempo bagi negara-negara yang sedang krisis utang. Indonesia pun pernah dan masih mengalaminya.
Apa yang dimaksud penghematan tak lain dan tak bukan ialah pemangkasan tetek-bengek subsidi dari daftar anggaran pemerintah. Tak perlu lagi negara turut menanggung ongkos konsumsi warga negara. Khususnya dalam soal energi, pendidikan, kesehatan, dan tetek bengek yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam logika politik penghematan, krisis utang adalah salah pemerintah dan warga. Karena itu pemerintah dan warga harus hemat anggaran. Semakin sedikit anggaran untuk membiayai hal-hal di luar infrastruktur, makin bagus. Biarlah sektor energi, kesehatan, dan pendidikan diurus swasta. BUMN yang menjadi beban anggaran, tak menghasilkan laba, jual saja ke swasta. Tak perlulah ada lagi subsidi-subsidian karena semua itu akan membikin rakyat malas. Di media-media massa juga disebarkan berita bahwa lewat politik penghematannya IMF sedang bermulia hati mengingatkan betapa hemat itu baik karena ia pangkal dari kaya. Dan kaya itu baik karena pinjaman dari bankir-bankir raksasa bisa dilunasi, semua bisa kembali berada di jalurnya, kehidupan menjadi normal, semua bahagia. Saya, sekali lagi, tak akan mengulas persoalan ini.
Pembaca tentu pernah mengalami masa kanak-kanak. Kalau tidak, pasti tak akan membaca tulisan ini. Salah satu pelajaran penting dari masa kanak-kanak ialah kata-kata mutiara dan peribahasa. Kalau tidak di gerbang sekolah, di taman depan kelas, atau dinding kelas sekolah dasar, terpampang tulisan-tulisan yang mengajarkan nilai apa yang penting kita miliki sebagai manusia. Dalam kesempatan tertentu, guru atau pembina pramuka juga suka mengajarkan, salah satunya, peribahasa ‘Hemat Pangkal Kaya’. Sebagai anggota masyarakat yang sedang dibudayakan menurut tata norma dan nilai masyarakat, kita hafalkan peribahasa bijak ini. Secara kognitif kita pun jadi tahu hemat itu pangkal kaya. Meski belum terpikir soal kebenaran bahwa semua orang kaya itu asalnya dari orang biasa yang hemat, kita tahu hemat itu baik. Hemat adalah nilai sosial. Secara asasi, tak ada yang keliru soal ini. Peribahasa itu menjadi keliru dipahami ketika kita lupakan kodratnya sebagai teori dan watak historis pernyataan dalam peribahasanya.
Meski hanya tersirat bahwa yang kaya itu asalnya karena hemat, tapi peribahasa ini mengajarkan demikian. Secara teoritis untuk bisa kaya engkau perlu hemat. Apabila kau tak kaya, berarti salah satu sebabnya karena kau tak hemat. Tersirat pula pengertian bahwa lawan kata hemat ialah boros. Dan karena boros itu perilaku setan, maka kaya itu (yang disebabkan oleh hemat) mulia, sedangkan miskin (yang disebabkan perilaku boros) itu bejat. Tak sampai situ, mereka yang menyandang predikat kaya dan miskin pun ikut-ikut diletakkan ke dalam kerangka moral mulia-bejat.
Persoalannya, seperti semua teori, teori bahwa hemat itu pangkal kaya ditarik dari pengalaman lewat abstraksi. Di setiap proses abstraksi, operasi ceteris paribus berlaku, dan karenanya ada yang hilang dari cakrawalanya. Apa betul semua orang miskin itu miskin karena mereka boros? Setahu saya mereka hidupnya segitu-gitu saja dari tahun ke tahun. Apa yang bisa mereka hemat kalau untuk menutupi kebutuhan hidup harian saja mereka kelimpungan. Apakah mereka mesti menjadi pertapa, atau harus jarang makan dan beli baju baru, dan sedikit uang yang mereka punyai ditabung supaya mereka kaya? Bukankah demi sedikit uang pun mereka kesulitan? Mereka tidak punya mobil balap yang boros bahan bakar, balapan seminggu sekali di Sentul demi kesenangan, menunggang kuda di akhir pekan untuk hiburan, atau sekadar liburan ke Korea demi beli baju baru. Lagi pula, untuk menjadi pertapa disyaratkan ada produksi nilai berlebih di dalam masyarakat sehingga pertapa bisa tetap hidup dari dana umatnya. Baiklah, untuk usulan jarang makan atau beli baju, tak perlu syarat semacam itu. Tetapi mereka tetap harus bekerja mencari nafkah, dan kurang makan menurunkan produktivitas kerja mereka. Sehemat-hematnya mereka makan, mereka tetap manusia yang tak mungkin melepaskan diri dari kondisi material objektif sebagai mahluk biologi yang memerlukan asupan makanan cukup untuk beraktivitas.
Sebaliknya, apa betul semua orang kaya itu kaya karena mereka hemat? Bisa saja mereka kaya karena orangtua mereka sukses merampasi harta milik kaum yang dituduh komunis sepanjang pembantaian 1965 atau korupsi bebas hambatan selama Orde Baru. Bisa jadi mereka kaya karena nenek moyang mereka mendapatkan porsi luasan lahan yang beratus-ratus hektar ketika Agrarische Wet 1870 memberlakukan aturan pemetakan lahan sebagai hak milik. Dan kini, di bawah naungan hukum perdata borjuis buatan penjajah, mereka berhak atas apapun yang secara hukum diakui milik orangtua karena pasal-pasal hukum perdata tak peduli dari mana dan bagaimana harta itu diperoleh. Belum lagi kalau kita periksa gaya hidup mereka. Bahkan untuk bahan bakar mobil mewah yang tak cukup satu saja, mereka bisa mengeluarkan dana yang setara dengan gaji sepuluh PNS golongan 3. Mungkin benar ada orang yang kaya karena hemat. Tapi mengartikan teori hemat pangkal kaya dan dengan demikian mereka yang kaya itu karena mereka hemat sebagai yang universal, sudah keliru sejak benih pikiran itu muncul di benak.
Tentu saja teori mensyaratkan kebersahajaan. Kata Einstein semakin bersahaja, teori semakin baik. Maksudnya, semakin sedikit variabel yang dimasukkan, semakin baiklah suatu teori. Kita bisa saja tambahkan proposisi peribahasanya menjadi ‘hemat pangkal kaya dengan syarat-syarat sebagai berikut….(sepuluh atau dua puluh variabel empiris-historis)’. Tapi itu berarti sebagai teori ia tak lagi elegan. Susah pula kalimatnya dipampang di ruang kelas sebagai pelajaran kalau sepanjang kolom Logika. Inilah persoalan pertama peribahasa ‘hemat pangkal kaya’; persoalannya sebagai teori, bukan fakta. Karena tak ada yang namanya teori universal, yang tak terikat ruang-waktu, maka ia harus terus-menerus dibenturkan dengan realitas.
Persoalan kedua terletak di watak historisnya. Maksudnya? Pernyataan ‘hemat pangkal kaya’ mengandaikan beberapa hal. Pertama, kemasukakalan konsepsi kaya dan hemat di dalam masyarakat. Untuk adanya sama sekali nilai kaya dan hemat, masyarakat itu haruslah masyarakat yang berlandaskan pada akumulasi nilai. Akumulasi nilai, pada gilirannya, mensyaratkan keberadaan institusi yang memungkinkan nilai dihitung dan ditumpuk dalam jangka waktu lama tanpa merusaknya. Dalam masyarakat tani seperti di jaman feodal dan masa kerajaan dahulu, ketika kebanyakan orang ialah pengolah lahan subsisten, kekayaan tidak bisa diakumulasi kecuali melalui lembaga politik. Uang belum lagi dikenal. Apalagi industri perbankan. Hasil kerja hanya bisa langsung dikonsumsi. Paling-paling panenan disimpan di lumbung dan disetor ke penguasa politik sebagai upeti. Itupun sekadar yang mencukupi kebutuhan hidup sampai musim tanam berikutnya. Buat apa menyimpan panenan bertahun-tahun? Kalau tidak busuk, tentu penguasa akan mengambilnya. Lagi pula semua kebutuhan hidup dipenuhi oleh setiap rumahtangga dan komunitas desa. Jual saja. Bagaimana bisa dijual kalau jual-beli sebagai institusi belum ada? Pasar tak ada atau kalau pun ada amat terbatas di pusat-pusat pemerintahan demi memenuhi kebutuhan penguasa pula. Daripada disimpan, alangkah masuk akal mengkonsumsi apa yang berlebihan. Kalau tidak oleh sendiri tentu untuk para tetangga dan kerabat. Buat kelas menengah kota kita sekarang, berbagi sesama tetangga, tolong-menolong pemenuhan kebutuhan hidup, gotong royong, dan pesta-pesta desa yang buang-buang tenaga dan sumberdaya tentu akan dianggap perilaku tolol orang desa yang tak mengerti arti hemat pangkal kaya. Tanpa pemahaman historis memang begitu jadinya. Persis ketika kontrolir Belanda berkunjung ke perdesaan dan ambil kesimpulan orang desa itu pemalas hanya karena mereka berkunjung ketika padi baru berumur dua minggu, masa ketika tak ada kerjaan lain selain menghemat tenaga untuk kerja panen kelak.
Selain itu, untuk adanya sama sekali konsepsi kaya dan hemat, masyarakat itu haruslah sudah tersusun sedemikian rupa ke dalam pembagian kerja sosial yang memungkinkan ekstraksi surplus tidak hanya lewat institusi politik pengambilalihan hasil kerja, tetapi lewat institusi ekonomi seperti produksi komoditi dan pasarnya. Masyarakat itu mestilah sudah mengenal institusi uang, bank, pasar, dan industri. Untuk adanya sama sekali institusi-institusi ini, masyarakat haruslah sudah mengenal kepemilikan pribadi atas sarana produksi dan konsep keuntungan ekonomis yang memilah antara mereka yang bermilik dan tak bermilik. Ketika sarana produksi sudah menjadi sarana produksi, maka ada pintu untuk akumulasi hak milik di tangan sebagian orang sekaligus menyingkirkan sebagian lainnya dari kepemilikan. Arti pentingnya ialah penciptaan pekerja upahan yang tak terikat sekaligus bergantung pada sarana produksi milik orang lain. Dengan begitu, transaksi keuangan (beserta institusi penyokongnya seperti uang dan bank) dalam pemenuhan kebutuhan hidup menjadi syarat hidup-mati. Kapankah masyarakat semacam ini ada? Di Jawa dan beberapa tempat di Sumatra, monetisasi berkembang sejak kebijakan Tanam Paksa 1830 dijalankan. Dari Tanam Paksa, kota-kota baru, para pekerja upahan, dan kaum pedagang lahir. Dari masa inilah uang memasuki kehidupan masyarakat. Semua istilah terkait transaksi moneter muncul dari masa ini. Dalam bahasa Jawa, misalnya, tak ada padanan asli untuk konsep uang. Istilah uang sendiri berasal dari ‘wang’ yang berasal dari perbendaharaan kata kaum pedagang Nusantara, yang kini secara keliru diperlakukan ‘sukubangsa’ Melayu. Bagaimana dengan ‘duit’? Duit berasal dari bahasa Belanda. Orang Jawa pertama mengenalnya ketika mereka menjadi buruh upahan di perkebunan-perkebunan selama Tanam Paksa.
Jadi, lain kali ketika menyuruh mereka beli celengan babi, ajari jugalah adik-adik kita bahwa bisa jadi benar kata peribahasa bahwa hemat itu pangkal kaya. Tapi kita mesti tambahkan keterangan agar dicamkan baik-baik bahwa ‘hemat pangkal kaya’ itu bukan dogma yang niscaya benar untuk semua orang dan kondisi. Bagaimana pun proposisi dalam peribahasa itu wataknya teoritis. Sebagai teori ia terikat pada prosedur penarikan abstraksi dari pengalaman yang sudah tentu menyisihkan banyak rincian historis-empiris. Untuk itu kita mesti senantiasa kembali ke realitas empiris untuk mengujinya. Tak niscaya yang kaya itu hemat, atau yang miskin itu boros. Bahkan konsepsi kaya dan hemat itu sendiri punya sejarah, tidak sejak Nabi Adam punya arti. Sekali menengok ke kembali realitas empiris, kita akan diperhadapkan dengan fakta baru karena tak ada realitas yang ajeg. Itu artinya kita mesti legowo dalam berteori. Itulah yang saya tangkap dari revisi Engels untuk teori ‘Sejarah dari masyarakat yang ada hingga sekarang ialah sejarah perjuangan-perjuangan kelas’ yang tertulis dalam Manifesto Komunis. Engels merevisinya dengan menambah catatan kaki di kalimat itu: ‘maksudnya, semua sejarah tertulis’ sambil memaparkan bukti-bukti etnologis tentang masyarakat prakapitalis dari berbagai belahan dunia.
Revisi Engels ini seperti mengajarkan tak apalah kita rombak teori terdahulu kita karena fakta empiris menghendaki demikian. Marxisme dan berbagai rupa penafsirannya pun berwatak teoritis. Ia bukan dogma. Dan untungnya Marx mewariskan satu metode yang bagus: materialisme historis; bahwa segala hal (termasuk pemikiran Marx) itu tak hanya bisa dilacak ke dalam kondisi material yang menopangnya, tetapi juga historis, terikat pada ruang-waktu tertentu yang tidak bisa difotokopi sekadar demi keeleganan. Bila kita mengajarkan sebaliknya, mesin fotokopi dan burung beo bisa menjadi tauladan bagi pada Marxis.
Selamat belanja, selamat merayakan Lebaran.***
Jatinangor, 13 Juli 2015