Daftar Isi:
Gerilyawan di Balik Meja: Che Guevara Sebagai Peletak Fondasi Ekonomi Kuba
Melihat Biologi Secara Dialektis
Akhir tahun ini, tepatnya 9 Desember 2015, KPU akan menyelenggarakan Pilkada serentak. Bagi para elit predator di negeri ini, momen ini adalah waktu yang sangat pas untuk melakukan ‘kocok ulang’ dalam menentukan siapa yang harus memegang tampuk kekuasaan pemerintahan lokal. Para elit ini paham, dengan dipegangnya eksekutif pemerintahan lokal, upaya mereka untuk menjarah sumber daya publik atas nama akumulasi pribadi menjadi lebih mudah. Sedikit banyak, Aparatus Negara yang tersedia di tingkatan lokal dapat diberdaya gunakan untuk memastikan terpenuhinya hasrat sempit kepentingan pribadi para elit ini. Tidak heran jika para elit mengorganisasikan kepentingan personal untuk merampok sumber daya publik sedini mungkin.
Kesadaran predatoris para elit untuk berkuasa di tingkatan lokal berkebalikan dengan situasi umum gerakan rakyat sekarang. Dapat dikatakan kesadaran gerakan rakyat untuk berkuasa di tingkatan lokal masihlah terfragmentasi, jika tidak ingin dikatakan absen sama sekali. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan, mengingat raison d’etre dari gerakan rakyat adalah melakukan perlawanan untuk mengubah kondisi semenjana yang dialami oleh dirinya sendiri. Tidak ada presedennya dalam sejarah kemanusiaan modern, perubahan sosial yang mendasar terjadi tanpa adanya perubahan relasi kuasa itu sendiri.
Namun, bagi mereka yang mendaku Marxis, setiap kondisi selalu mengandung kontradiksinya sendiri. Hasrat berkuasa elit perampok ini untungnya diiringi dengan inkompetensi mereka dalam mengelola institusi pemerintahan daerah itu sendiri. Identik dengan visi profetik Marx dan Engels dalam Manifesto “tukang sihir yang tidak mampu mengendalikan dunia yang diciptakan karena manteranya,” elit yang berkuasa tidak mampu mengendalikan kekuasaannya karena hasrat untuk merampoknya lebih besar dibanding menjalankan pemerintahan. Di sinilah kita menemukan maraknya kritik publik terhadap perilaku elit berkuasa ini. Begitu mudah kita lihat dalam wacana media massa kita dimana tiap pribadi dimungkinkan untuk melakukan kritik terhadap elit yang berkuasa: dari kritik serius sampai dengan lelucon satir sebagai bentuk penilaian yang buruk terhadap para elit. Di sini kita setidaknya menemukan sejumput peluang ‘keretakan’ dalam tendensi kekuasaan elit Indonesia sekarang.
Tapi kita tahu, tidak ada yang pasti dalam ‘keretakan’ ini. Mudahnya kita untuk melakukan kritik serius sampai dengan yang paling jenaka dapat pula dipahami secara reflektif sebagai suatu proses dimana kondisi kekuasaan yang didominasi para elit ini memungkinkan untuk menginklusi suara-suara kritis terhadap mereka. Bagi para elit kelas yang berkuasa: tertawalah terus terhadap prilaku bejad kami; buatlah terus lelucon yang diperuntukan ke diri korup kami! Tapi kami yang sebenarnya masih menentukan hajat hidup kalian! Alih-alih berpotensi emansipatif, keretakan yang justru mengafirmasi keabsurdan kondisi apolitis gerakan perlawanan kita sekarang ini.
Untuk itu, kita perlu secara lebih kritis atas sikap kritis itu sendiri. Kritik terhadap elit tanpa disertai upaya untuk mengorganisasikan kritik itu menjadi praksis politik yang sadar hanya akan membuat kritik menjadi kritik itu sendiri. Oleh karena itu, kritik harus ditransformasikan menjadi pengetahuan konkrit untuk membangun gerakan politik dalam rangka merebut kekuasaan yang beroperasi di sekitar kita sendiri. Kritik adalah penting dalam politik, namun kritik tidak dengan sendirinya dapat menjadi politis. Diperlukan upaya pengorganisiran serta mobilisasi untuk merealisasikan potensi kritik sebagai upaya untuk perubahan sosial.
Dalam terang kesadaran ini, LBR kembali hadir diharibaan para pembaca. Pada review pertama, kami hadirkan ulasan buku Dialectical Biologist karya Richard Levins & Richard Lewontin yang dibahas oleh Fransiskus Hugo. Dalam ulasan ini, dijelaskan bagaimana biologi sebagai bagian dari ilmu eksakta, yang dalam pandangan awam merupakan ilmu nirpolitik, nyatanya mengandung unsur ideologis, yang melegitimasi relasi ekonomi politik yang ada. Yang kedua, kami hadirkan ulasan buku Ekonomi Revolusi Che Guevara dari Rio Apinino. Pada karya ini kita disuguhkan sisi lain dari sang gerilyawan: ekonom yang cemerlang yang menginisiasi dasar ekonomi sosialis Kuba.
Selamat membaca!