TUJUH belas tahun gerakan Reformasi, demikianlah usianya genap tahun ini. Gerakan menggulingkan pemerintahan otoriter Suharto, begitulah intinya bila kita mau menyederhanakan penjelasan. Usia yang tidak sedikit, bahkan setara dengan usia pemuda pemudi yang sudah berhak memiliki kartu tanda penduduk. Usia dimana mereka menjadi warga negara penuh, setidaknya secara administratif, lengkap dengan segala konsekwensinya. Tujuh belas tahun usia muda tapi juga tak lagi kanak-kanak, dipersimpangan jalan menuju masa yang baru seharusnya. Hanya saja asosiasi kita dengan gerakan reformasi kini kental dengan sesuatu yang telah jauh tertinggal, sesuatu yang sekadar nostalgia.
Kenangan tentang pergolakan sosial dan segala harapannya kini terbentur karang kekecewaan. Kekuasaan yang terbentang belasan tahun ini ternyata menciptakan keterasingan dan perasaan kehilangan yang menyakitkan bagi ‘kaum muda reformasi.’ Kini yang dulu muda telah berangsur menjadi manusia paruh baya. Segelintir dari mereka telah terserap dalam jaringan kekuasaan beragam pemerintahan yang silih berganti paska Suharto lengser. Sebagian besar lainnya telah bercerai dari kehidupan politik karena kesibukan pertarungan hidup sebagai rakyat pekerja. Yang ada adalah sisa-sisa nostalgia dari serpihan ingatan pengalaman gerakan jalanan. Sepertinya, pola generasi-generasi gerakan sebelumnya kembali berulang.
Reformasi mungkin kadung ‘gugur sebelum berkembang’. Sehingga dari segala macam cita-cita radikal yang tertanam dalam perjuangan gerakannya, kini tinggal isu anti korupsi yang sepertinya masih bertahan. Bila bicara tentang agenda dan visi gerakan anti korupsi, pun kita seperti jauh tertinggal dari retorika-retorika agitasi gerakan reformasi 1998. Tidak ada kemarahan dan keberanian menggugat harta dan kuasa mereka yang paling berkuasa. Tidak ada lagi tuntutan “adili dan sita harta kepala Negara dan para kroni-kroninya”. Juga, tidak pernah ada penjelasan mengapa tuntutan gerakan itu hilang dan tak pernah jadi pelajaran buat para penguasa selepas Suharto.
Buat mereka yang lahir di tahun 1998 dan sesudahnya, tentu tidak punya ingatan langsung tentang gerakan reformasi. Mungkin ada sedikit tetesan cerita dari pelajaran sekolah atau buku-buku populer di toko buku. Belakangan, beberapa film layar lebar mengambil 1998 dan hal-hal yang beririsan dengannya sebagai tema cerita. Sebuah generasi yang belum jelas dengan masa lalu dan juga galau dengan masa depan. Tetapi mungkin kesadaran mereka tidak lebih kabur dari kesadaran ‘ayah-ibu-paman-tante-kakak’ mereka yang terlibat aktif dalam jungkir balik pergolakan sosial dan politik gerakan reformasi. Persoalan ingatan bersama memang tak kunjung reda menjadi masalah, semenjak ingatan bersama adalah musuh utama kekuasaan sejak Orde Baru berkuasa.
Bukan salah generasi yang baru bila mereka harus mewarisi nostalgia yang membingungkan dari generasi sebelumnya. Generasi reformasi memang tak pernah mengaku kalah dan karenanya tak pernah mewarisi catatan yang memadai tentang kegagalannya. Setidaknya, elemen dari generasi 66 seperti Soe Hok Gie, masih meninggalkan catatan kritis yang menyumbang landasan perlawanan generasi muda pada rezim Orde Baru. Generasi reformasi terus berharap perubahan dengan bergantung pada romantisme moral dan beragam jenis ketokohan kepemimpinan. Nostalgia gerakan reformasi yang semakin pudar membuat beragam alternatif politik nostalgia berebutan mengisi kevakuman tersebut. Meski absurd dan terbayangkan sebelumnya, kini generasi baru memeluk nostalgia tentang beragam hal: mulai dari kekhalifahan, kejayaan Orde Baru, hingga Sukarnoisme pro pasar bebas ala Nawacita Jokowi.
Sesungguhnya dilema politik nostalgia ini tidaklah khas Indonesia. Alastair Bonnet (2010) membahasnya secara lebih mendalam dalam konteks “kalangan kiri (the left)” di Inggris. Mengacu penelusuran Bonnet, istilah nostalgia tercatat muncul pertama kali tahun 1688 oleh Johannes Hofer, yang menggabungkan dua kata dari bahas Yunani nostos (rumah) dan algos (nyeri). Awalnya nostalgia dianggap sebagai gangguan medis, sebuah ketidakmampuan mengatasi kerinduan akan rumah, seperti gejala yang dialami para awak kapal yang ikut dalam eksplorasi ke negeri-negeri yang jauh. Kemudian sejak abad 19, ia menjadi terhubung ke meluapnya perasaan sentimental akan masa lalu, perasaan kehilangan, kerinduan dan keterikatan akan sesuatu yang dianggap biasa.
Bagi Bonnet dan sejumlah intelektual kiri, nostalgia dapat dibedakan antara yang publik dan privat. Kondisi ‘kekalahan’ paska perang dingin (runtuhnya rezim-rezim sosialis) di Eropa, membuat nostalgia terhadap politik kiri di ruang publik menjadi berkecamuk antara penyangkalan akan kemujaraban politik kiri dengan ketiadaan alternatif hari ini yang menjanjikan arah menuju masa depan peradaban politik yang lebih cerah. Nostalgia di ruang publik, menurut Raymond Williams, seorang ahli studi budaya kritis, dianggap sesuatu yang mengesalkan buat sebagian dan menyenangkan buat yang lain.
Adalah tak terhindarkan kerinduan akan sesuatu yang diharapkan namun tidak terjadi membuat nostalgia harus diakui berarti penting dalam realitas sosial politik hari ini. Menarik memahami dilemma nostalgia pada pengalaman gerakan di Amerika Latin yang menyuarakan sosialisme abad 21 sembari menjelajah rujukan pada masa lalu gerakan yang berakar pada abad 19. Atau beberapa waktu terakhir ini kita melihat kebangkitan politik Kiri di Negara-negara Eropa yang tengah dilanda krisis (Syriza, Podemos, dll).
Kaum progresif percaya gerak sejarah harus berjalan maju (progress), karenanya ada penolakan untuk terperangkap dalam nostalgia. Persoalannya, nostalgia adalah sesuatu yang tidak semata-mata dapat dilampaui dengan mengabaikan masa lalu dan sejarah yang mengganjal di dalamnya. Kembali ke refleksi 17 tahun reformasi, kita memang harus melampaui nostalgia yang justru mengantarkan kita pada kebodohan, seperti menyematkan gelar bapak reformasi pada Jokowi. Akan tetapi, kita juga harus mengakui bahwa nostalgia akan terus berperan mendorong ekspresi-ekspresi politik di tengah konteks politik yang mengalami kebuntuan arah seperti saat ini. Misalnya, kerinduan akan kesaktian gerakan mahasiswa, kerinduan akan pemerintahan yang dengan cara apapun bisa menjamin stabilitas ekonomi dan keamanan.
Pelampauan akan nostalgia mensyaratkan pembelajaran yang tuntas dan evaluatif atas kekalahan-kekalahan di masa lalu. Kekalahan gerakan mahasiswa, kekalahan partai alternatif, kekalahan berbagai gerakan sosial, terutama dalam himpunan ikatan yang dulu bersama-sama mempropagandakan semangat gerakan reformasi. Pembelajaran yang pahit tapi perlu untuk menyeret kita menjauh dari mental self-defeatism (kepasrahan diri). Tugas kita untuk menghadapi nostalgia dan membawanya pada penyelesaian atas masa lalu yang masih berisikan lobang menganga dan juga membawa pada landasan nyata politik masa depan yang progresif. Tugas yang menantang reaksi generasi politik masa kini, yang dengan suka hati berkilah ‘aku mah apa atuh.’
Secara personal saya akan mengingat nostalgia 17 tahun Reformasi dengan getir. Karena Jopi Peranginangin, seorang kawan berjuang dari gerakan reformasi, di bunuh musuh lama yang yang seharusnya sudah dapat kita tinggalkan jauh namun ternyata belum juga selasai ditumpas: militerisme.***