DALAM artikelnya di IndoPROGRESS beberapa waktu lalu, Muh. Ardiansyah Leitte mengatakan perlunya gerakan sosial Indonesia untuk belajar dari pengalaman Podemos. Hal ini tampak, setidaknya, pada argumentasi Leitte yang melihat signifikansi Podemos bagi gerakan sosial di Indonesia. Ia memulai dengan kritik terhadap posisi saya dan juga Zely Ariane, sebagai terlalu optimis dalam melihat kemajuan gerakan sosial sekarang. Baginya, pembangunan partai elektoral dan gerakan sosial adalah hal yang berbeda. ‘Pengalaman gerakan sosial dan pembangunan institusi politik adalah dua hal yang berbeda. Mengorganisir massa rakyat untuk turun ke jalan atau mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap negara tentunya tidak dapat disamakan dengan meyakinkan massa rakyat untuk datang ke bilik suara dan menggunakan hak suaranya’, demikian tulisnya. Dari kritik ini, ia selanjutnya mengajukan tawaran perihal pentingnya melihat Podemos sebagai referensi signifikan bagi upaya pembangunan partai elektoral gerakan sosial di Indonesia.
Terdapat beberapa kebenaran dari kritik ini. Namun, alih-alih memberikan klarifikasi mengenai bagaimana pengalaman Podemos dapat dipelajari oleh gerakan sosial di Indonesia untuk membangun partai, Leitte justru terjerembab dalam pola argumen yang sarat retorika berbalur jargon. Tidak ada penjelasan mengenai mengapa dan bagaimana Podemos dapat berguna sebagai referensi penting bagi pembangunan partai elektoral gerakan sosial di Indonesia.
Kita semua pasti tahu bahwa Podemos muncul dari kritik terhadap kebuntuan politik Spanyol yang telah mengadopsi neoliberalisme. Akan tetapi mengajukan proposisi ini tidak pernah memberikan penjelasan apapun. Karena pada dasarnya penetrasi neoliberalisme yang begitu luas dan dalam dimanapun, tidak melulu menciptakan respon seperti yang dilakukan Podemos. Pertanyaan utama yang harus kita ajukan perihal belajar dari Podemos seharusnya adalah, ‘apa yang secara praktis dilakukan oleh Gerakan Sosial di Spanyol untuk mendorong kemunculan Podemos? Dan mengapa mereka bisa secara efektif melakukan intervensi politik sejauh ini?’
Di sini, pemblejetan mengenai relasi Indignados dengan Podemos menjadi penting. Podemos tidak muncul secara natural dari mobilisasi massif gerakan rakyat Indignados (Kemarahan) yang sempat menyeruak mengguncang konstelasi politik Spanyol pada tahun 2011. Podemos adalah hasil dari suatu proses intensional dalam elemen-elemen Indignados yang menghendaki adanya sistematisasi politik atas tuntutan massa yang sudah terbangun melalui gerakan Indignados itu sendiri. Kehendak untuk membangun partai politik dalam konteks formal gerakan sosial Indignados, yang kemudian memungkinkan Podemos secara efektif menjadi artikulator politik yang penting (jika tidak dikatakan yang utama) dalam gerakan Indignados.
Itu sebabnya, jika diperiksa lebih teliti, Podemos tidak lahir dalam proses yang sepenuhnya horisontal. Podemos hadir dari pengaruh inisiatif politik yang signifikan dari segelintir kolektif intelektual yang dikenal sebagai Izquerda Anticapitalista (Kiri Antikapitalis), yang dikordinatori oleh Pablo Iglesias. Kolektif ini menjadi wadah utama bagi banyak inisiatif Podemos, dimana proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka dan demokratis. Kolektif inilah yang kemudian memungkinkan translasi programatik atas tuntutan gerakan Indignados dalam bentuk partai politik.
Intensionalitas yang sensitif dengan denyut tuntutan massa ini selanjutnya memfasilitasi warna politik yang ‘bukan kiri dan kanan’ dari Podemos. Pilihan atas warna ini bukan melulu mengenai kejeniusan para pimpinan Podemos seperti Iglesias, atau juga bukan karena kesahihan tesis populisme Ernesto Laclau, sebagaimana yang dipercaya sejauh ini. Sebaliknya, ia tertaut secara nyata dalam konteks material politik Spanyol, dimana perbedaan ideologi Kiri dan Kanan tengah mengalami kebuntuan. Partai Pekerja Sosialis Spanyol (PSOE) yang merepresentasikan kekuatan Kiri dan Partai Rakyat (PP) yang merupakan perwakilan utama dari politik sayap kanan adalah dua operator utama dari agenda neoliberal di Spanyol. Siapapun yang berkuasa, agenda neoliberal akan selalu diterapkan dalam pemerintahan yang mereka bentuk.
Problem ketidak-relevan-an politik ‘kiri dan kanan’ ini semakin akut ketika kekuatan ‘kiri’ yang lain, yang berada dalam institusi masyarakat, seperti gerakan Buruh yang terorganisir, juga tidak mampu memberikan tantangan yang serius terhadap operasi neoliberal di Spanyol. Pengalaman yang menyejarah mengenai kooptasi Serikat Buruh oleh negara melalui strategi politik korporatisme atas nama negara kesejahteraan serta serangan bertubi-tubi kebijakan ekonomi politik neoliberal terhadap kapasitas organisasi Serikat Buruh melalui pelucutan keanggotaan karena sistem kerja kontrak, membuat ‘kiri institusional’ seperti gerakan sosial yang tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk merepresentasikan perlawanan terhadap agenda neoliberalisme di Spanyol.
Dalam konteks impotensi kiri institusional di ranah sosial maupun politik inilah yang menyebabkan Indignados, dan juga Podemos, mengambil posisi bukan ‘kiri atau kanan’. Pada masa mobilisasi awal Indignados tahun 2011, ekspresi penolakan partai kiri dan kanan begitu kentara karena ekspresi ini bermakna penolakan terhadap operasi neoliberalisme. Dalam ruang politik inilah artikulasi populis Podemos menjadi nyawa politik gerakan Indignados. Hanya dengan posisi ini Podemos merelasikan secara kuat trajektori politik mereka terhadap artikulasi tuntutan Indignados itu sendiri. Sampai titik ekstrimnya, dan ini yang cukup mengkhawatirkan dari Podemos, mereka bahkan melakukan penolakan secara vulgar terhadap keberadaan Serikat Buruh yang ada karena begitu lekatnya Serikat tersebut dengan preferensi politik PSOE.
Mencermati jejak historis ini maka tidak heran jika banyak inovasi politik yang dilakukan oleh Podemos pada dasarnya adalah respon terhadap kebuntuan ‘kiri institusional’ tersebut. Kolektif-kolektif spontan yang sempat bermunculan selama momen gerakan Indignados, kembali dirajut keterorganisirannya melalui penggunaan yang efektif atas teknologi informasi. Selain merupakan upaya untuk menerabas jalur institusi sosial yang ada, teknologi informasi ini memungkinkan interaksi langsung ke khalayak massa yang terpengaruh oleh momen politik Indignados. Di sini dimungkinkan suatu proses partisipasi virtual yang menciptakan satu bentuk relasi politik antara Podemos dengan massa yang tidak lagi puas dengan situasi yang ada.
Namun, perlu ditekankan, bahwa semua inisiatif ini, sekali lagi, tidak terjadi melalui proses yang sepenuhnya horisontal. Faktor vertikal, yakni kepemimpinan kolektif Iglesias untuk menentukan seting agenda bagi Podemos perihal apa yang harus didiskusikan dan apa yang tidak, ikut mempengaruhi proses politik Podemos secara keseluruhan. Disinilah kemudian muncul pertanyaan sekaligus kritik mengenai derajat demokrasi internal dalam Podemos, karena metode maksimalisasi teknologi informasi justru meminimalisasi partisipasi anggota dalam menentukan agenda partainya sendiri.
Pembacaan seperti ini menjadi penting untuk menghindari pandangan romantik mengenai Podemos sebagai sesuatu yang selalu dirujuk, tapi juga selalu sulit untuk dibayangkan bentuk realisasinya. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pembangunan partai politik dari gerakan sosial selalu membutuhkan kepeloporan dalam elemen gerakan sosial itu sendiri. Dalam pengalaman Indonesia, mungkin akan sulit kita menemukan semacam kepeloporan seperti yang terjadi dalam Podemos, karena kita tidak memiliki keistimewaan ‘konsentrasi kemarahan’ melalui momen politik Indignados. Tetapi kita memiliki dinamika yang hampir serupa, yakni semakin maraknya kemarahan gerakan sosial terhadap rezim politik neoliberal. Dalam dinamika ini, kita perlu menemukan bentuk kepeloporan kita sendiri.***
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana di Murdoch University, Australia. Pemimpin Redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS dan anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).