Akhir-akhir ini, di tengah simpang-siur beragam berita, terseliplah berita yang menciutkan hati beberapa kalangan. Pelarangan bir, yang bukan sekadar wacana melainkan memang sudah terlaksana, dan gonjang-ganjing harga rokok yang akan meroket barangkali tak menjadi trending topic. Tetapi dua hal itu sudah membuat beberapa dari kita mulai putar kepala untuk menyelamatkan selera sekaligus isi dompet. Rachmat Gobel barangkali memang anak baik-baik sejak SD hingga SMA-nya dulu; tak pernah memungut sepuntung dari asbak ayahnya atau pamannya. Bisa jadi pula ia kerap digencet para berandalan sekolahnya.
Beberapa waktu yang lalu, barangkali juga hingga kini, perdebatan dan pertarungan antara mereka yang menolak rokok dan mereka yang mempertahankan rokok mengemuka. Kali ini, kami menurunkan esai foto dari Handrianus K. Belutowe. Tentu kami tak bermaksud masuk ke dalam perdebatan di muka, sekadar merekam praktik-praktik tua yang luput dari ingatan dan imajinasi kita saja.
Bako Koli (sebutan untuk Tembako Koli) akan kerap Anda temukan bila berjalan-jalan di pasar-pasar tradisional Kabupaten Flores Timur dan Lembata, NTT. Seperti namanya, ia adalah perpaduan antara tembakau (yang berasal dari kebun masyarakat setempat) dengan daun pohon koli (Pohon Tuak yang kerap ditemukan di kedua wilayah tersebut). Dari dulu hingga sekarang, komoditas satu ini memang belum hilang di dua wilayah tersebut. Selain sebagai konsumsi sehari-hari, Bako Koli tak pernah luput dalam upacara-upacara adat setempat, meski memang saat ini perannya mulai berganti rokok pabrikan. Dan maafkanlah bila pengantar ini ditutup dengan pertanyaan naif, “Apakah Rachmat Gobel akan melarang juga benda satu ini?”
*Teks pengantar oleh Berto Tukan
Handrianus K. Belutowe bergiat di Plan Internasional Indonesia Program Unit Lembata. Selain menggemari pendakian gunung, ia juga menyukai fotografi serta turut menggagas pendidikan alternatif bersama Komunitas Uma Kayu Lolong.