SEORANG gadis berjilbab menyembunyikan sebuah buku di balik kain jilbabnya. Dia menyusuri rak buku yang memenuhi ruangan. Berjalan menuju mesin elektronik yang digunakan untuk meminjam buku secara mandiri tanpa bantuan petugas. Tiba di depan mesin elektronik, sang gadis mengeluarkan buku dan menyentuhkan barcode pada mesin elektronik, untuk mulai mendaftar buku yang akan dipinjamnya.
Saya dari tadi mengamati gadis tersebut kemudian menyusul ke meja bagian peminjaman buku. Saya pun melirik apa judul buku yang akan dipinjam gadis itu. Saya cukup penasaran, pasalnya ini perpustakaan salah satu universitas terbesar di Indonesia. Sebegitu menakutkankah sebuah buku sehingga untuk meminjamnya harus sembunyi-sembunyi, tanpa pengunjung perpustakaan yang lain tahu.
Gadis itu meminjam tiga buah buku yang membahas tentang LGBT, dua buku berbahasa asing dan satu novel Herlinatiens, Garis tepi Seorang Lesbian. Akhirnya, setelah mengetahui buku yang dipinjam dalam hati saya bertanya, mungkinkah gadis itu seorang lesbian? Pertanyaan konyol itu segera saya usir dari pikiran, sekarang pertanyaannya adalah kenapa musti sembunyi-sembunyi? Bukankah perpustakaan adalah tempat orang-orang yang mau dan akan terus belajar? Menerima segala pendapat dengan penuh semangat tukar pikiran yang terbuka dan bebas. Memang iya, tapi apa di negeri ini yang tidak disalahpahami dengan akut tanpa ada kehendak untuk bertanya terlebih dahulu?
Kebiasaan kita memang sangat lucu. Kita seolah memiliki rasa penasaran, tapi terlebih dahulu sudah mantap menyiapkan jawaban di belakang rasa penasaran itu. Kita bertanya mengapa sekelompok mahasiswa di sebuah kantin universitas setiap Sabtu sore berdiskusi dalam kelompok yang mereka sebut Lingkar Materialis? Tanpa pikir panjang, sudah ada stok jawaban di belakang rasa penasaran itu: ‘mereka itu kumpulan orang-orang kiri, atheis, antek-antek PKI!’ Sulit memang menghadapi yang seperti itu, belum sudah kita ajak mereka duduk bersama bertukar nalar, mereka lekas merasa diri cukup alasan untuk satu kali lagi berkata ‘jangan-jangan mereka itu tidak Pancasilais’. Siapa yang tidak capek berhadapan dengan orang-orang seperti itu?
Bukan sikap ingin tahu yang membimbing setiap laku mendalami ilmu, melainkan prasangka, dugaan, dan segala variannya yang lebih kuasa mendorong setiap kita masuk ke dalam sebuah kotak. Merasa diri cukup dengan mengetahui seluruh sudut kotak yang kita tempati, merasa tidak perlu berdialog dengan kotak-kotak lain di sekitar kita. Dunia begitu sempit. Institusi pengembangan ilmu menjadi ladang semai sikap-sikap ideologis yang berpotensi membunuh ilmu dari dalam. Bukan hanya kekuasaan yang bisa menjadikan manusia tiran dan otoriter, ilmu pun punya peluang yang sama. Untuk semua itu, tidak ada kata paling tepat untuk kita teriakkan selain: Lawan!
Kembali pada kejadian di perpustakaan yang menjadi awal kegelisahan, sehingga saya perlu menulis uraian singkat ini. Siapa di negeri ini yang tidak takut dituduh gay atau lesbian? Kelompok minoritas yang selalu menjadi kambing hitam segala kepentingan digdaya tirani mayoritas. Jangankan gay atau lesbian, komunitas kecil keagamaan, gerakan sosial-politik, hingga yang paling abstrak gerakan pemikiran, yang dalam mata mayoritas menjalankan aktivitas ‘keluar jalur’ pun terus hidup dalam bayang ketakutan di negeri ini. Mereka yang hendak menemui Tuhan yang diyakini kuat dalam hati pun mengalami kesulitan yang besar. Komunitas Eden, Ahmadiyah, Kejawen, dan Syiah, hanyalah bagian kecil dari daftar panjang orang-orang yang ‘berbeda’ dan hidup dalam ketakutan karena pilihan hati mereka.
Terlepas gadis peminjam buku itu seorang lesbian, sejatinya inilah cermin kehidupan kebersamaan bangsa kita. Lebih miris lagi, ketakutan terhadap minoritas itu terjadi di sebuah universitas yang seharusnya menjadi wadah untuk menyemai semangat kebersamaan dengan segala keberbedaan di dalamnya. Inilah ketika ilmu gagal menjadi instrumen pembebasan bagi manusia dari segala sikap yang disebut Tan Malaka sebagai mistis, tanpa dasar, tanpa pemahaman dialektika dalam pengertian yang paling sederhana sekalipun. Istilah ‘kemanusiaan’ hanya layak digunaan dalam alur definisi mayoritas.
Dalam struktur masyarakat kita yang beragam, kemanusiaan hendak diciutkan hanya dalam pengertian identitas mayoritas. Ilmu kehilangan aspek emansipatoris, ketika sikap para pencarinya tidak ubah seorang yang pergi ke dukun dan mengikuti setiap kata-kata dukun. Kita tidak pernah paham bagaimana sebenarnya logika materialis, bagaimana ilmu menjadi jalan pembebas bagi setiap penindasan kelas. Tidak, kita tidak akan paham itu, karena sejak awal sudah ada ‘dukun’ yang berfatwa; semua materialis haram karena sejak awal marxisme sudahlah membawa keburukan dan pertumpahan darah. Seolah ada pihak-pihak yang mempunyai hak mendefinisikan moral kebenaran sebagai A dan kesalahan sebagai B. Atas itulah kemudian lahir istilah-istilah yang provokatif, pembelahan kehidupan pada dua sisi yang ekstrim bersebrangan: Normal vs Abnormal, Baik vs Buruk, Kiri vs Kanan.
Nalar kita tidak pernah berusaha menjangkau inti terdalam kehidupan yang sebenarnya sangat sulit disimulasikan dalam logika antagonistik Normal vs Abnormal. Seorang anak pada usia remaja memutuskan menjadi gay, karena di masa kecil dia korban pelecehan seksual seorang tenaga pendidik di sekolah. Sang anak tidak bisa menolak karena diancam tidak akan dibayarkan biaya pendidikannya yang menunggak, sedangkan orang tuanya hanya seorang buruh rumah tangga.
Sang anak hidup dalam bayang-bayang traumatik yang dalam dan begitu mengacaukan perkembangan psikisnya. Belum selesai beban traumatik sang anak yang harus diatasinya sendiri, begitu masuk dalam kehidupan masyarakat yang luas, kita tiba-tiba saja datang dan memaki sang anak ‘dasar iblis’, ‘kau lebih buruk dari hewan, hewan saja bisa membedakan jenis kelamin’, ‘bertaubatlah kau’. Sambil berharap mereka bisa sama dengan kita, kita menghampiri mereka yang berbeda tidak dengan kasih, tidak dengan laku seorang yang berilmu, saat itu juga kita todongkan senapan tepat ke arah mukanya, bertaubatlah!
Barangkali kita terlalu sibuk mengurus hiruk-pikuk artifisial soal-soal laku politik yang campuraduk dengan logika ekonomi untuk memperkaya diri. Kita dikuasai kapitalisme neoliberal yang abai terhadap setiap penindasan. Sementara kita sibuk mengurusi para elit, kehidupan sosial mayoritas membangun logika-mistik yang diskriminatif dan tak berkeadilan. Kerumitan realitas kehidupan sosial-budaya diciutkan dengan membandingkan dua oposisi moral yang seolah cermin paling sahih dari kehidupan. Realitas dan kategori moral seolah sangat jernih sehingga dapat dengan mudah warna hitam kita lawankan dengan putih. Akhirnya, kekerasan psikis maupun fisik menjadi solusi paling sahih bagi mereka yang berbeda.
Jika ada remaja yang memutuskan menjadi seorang gay atau jika gadis peminjam buku itu seorang lesbi, adakah hak-hak hidup kita sebagai yang heteroseks terambil? Tanpa menjadi seorang agamawan pun kita sepertinya dengan mudah bisa menerima kenyataan Tuhan tiada mencipta manusia dengan kesamaan yang penuh. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tapi sayang, penerimaan tersebut sepertinya hanya berlaku di atas kertas. Dalam lubuk hati, kita masih memendam kebencian purba terhadap mereka yang berbeda dari mayoritas. Buktinya laku diskriminatif masih menjadi tontonan favorit kita di media massa.
Penyair, William Shakespeare berkata “Di alam ini tiada yang bernoda kecuali pikiran; tak seorangpun boleh disebut cacat kecuali yang kejam”. Tapi, lagi-lagi kita belum menemukan cara membersihkan noda pikiran. Revolusi mental bukan pekerjaan yang mudah, ketika setiap prilaku diskriminatif, tirani mayoritas, ketidakadilan sosial selalu lolos dari pengamatan kita. Revolusi mental adalah membersihkan noda-noda di pikiran kita, tapi masalahnya pikiran bukan barang fisik seperti pakaian yang bisa dicuci dengan gampang. Tapi kita bisa tetap optimis jika semakin banyak ruang-ruang sosial yang bisa digunakan untuk bertukar nalar secara bebas dan terbuka. Tempat segala macam perbedaan dihargai dalam suasana tukar nalar yang dialektis. Ruang itu hanya bisa terwujud jika ilmu kita kembalikan pada intinya sebagai jalan pembebasan..***
Penulis adalah editor Jurnal Cogito dan Kepala Bagian Litbang di Lingkar Studi Filsafat Cogito, Fakultas Filsafat UGM.