TINGGAL di dunia saat ini, wa bil khusus tinggal di Indonesia, membutuhkan tingkat kesabaran dan kewarasan yang cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena, setiap detiknya seakan-akan kita dibombardir dengan sejumlah berita yang membuat kita mengernyitkan dahi, mengepalkan tangan, atau menghela nafas panjang. Seakan-akan hidup adalah rentetan penderitaan yang tidak ada habisnya. Seakan-akan sejumlah isu seperti persoalan hukuman mati, korupsi, konservatisme dan fundamentalisme keagamaan dalam bentuknya yang vulgar, pengungsi Rohingya, instabilitas politik di Timur Tengah, perampasan tanah, hingga perjuangan kelas merupakan persoalan-persoalan yang terpisah satu sama lain.
Sesungguhnya, untuk bergerak melampaui kefrustasian tersebut, kita hanya perlu bergerak sedikit lebih jauh saja.
Kali ini, saya akan berfokus kepada empat persoalan yang sempat dan sedang menjadi bahan pembicaraan orang akhir-akhir ini: perjuangan kelas dan konservatisme keagamaan di Indonesia, penanganan isu pengungsi Rohingya, hingga prahara politik di Timur Tengah. Sepintas, sejumlah hal tersebut tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi, pembacaan dan analisa yang lebih ketat atas sejumlah persoalan tersebut dapat menyadarkan kita bagaimana sesungguhnya persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian dari permasalahan struktural yang lebih mendalam.
Lihat, misalnya, soal perkembangan perjuangan kelas di tanah air akhir-akhir ini. Wacana soal partai alternatif yang sempat mengemuka beberapa saat di kalangan gerakan buruh, merupakan sebuah contoh menarik yang dapat kita kupas lebih lanjut. Bagi saya, perkembangan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat evolusi dalam kesadaran politik rakyat pekerja di Indonesia. Rekam jejak perjuangan kelas pasca reformasi tak ubahnya sebuah protracted struggle dalam kondisi non-insurgensi: ada kemajuan gerakan di satu sisi, ada juga kemunduran gerakan di sejumlah hal lain. Kesadaran politik rakyat pekerja Indonesia tidak serta merta berubah dari kesadaran sebagai class in itself (klasse en sich) yang bersifat teratomisasi, individual, dan parsial menuju kesadaran sebagai class for itself (klasse für sich) yang melampaui pengalaman-pengalaman invididual dan parsial menuju aksi politik kolektif yang sadar dan terorganisir, meskipun arah menuju ke sana cukup terlihat.
Bahwa wacana politik progresif seperti ini mulai bermunculan patut kita syukuri, tetapi itu saja tidak cukup. Dapat kita lihat bahwa diskursus dan imajinasi politik publik pada kenyataannya seringkali masih didominasi oleh diskursus-diskursus yang reaksioner, sebagaimana dapat kita lihat dari bentuk-bentuk konservatisme keagamaan yang cukup vulgar kali-kali ini, mulai dari sentimen anti-Syi’ah hingga sinisme terhadap pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja: familiaritas atas kekayaan khazanah Islam Nusantara perlahan-lahan hilang digantikan dengan kejumudan beragama tingkat tinggi di tengah-tengah absennya suatu gagasan kebudayaan dan politik alternatif. Dalam konteks negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia, di mana banyak warga kelas menengah dengan pandangan hidup yang senantiasa ambivalen, kadang maju tapi lebih sering reaksioner, maka gagasan-gagasan vulgar macam sentimen anti-Syi’ah dan kecenderungan menyesatkan orang dapat menjadi jalan pintas, shortcut yang mudah bagi banyak orang. Di sini, saya tidak menihilkan agensi atau kemampuan manusia untuk memilah-milih gagasan dan praktek-praktek kebudayaan dan keagamaan, tetapi dalam suatu kondisi struktural tertentu maka ide-ide reaksioner yang saya sebut di atas dapat menemukan gaungnya.
Kontradiksi-kontradiksi semacam ini tidak hanya dapat kita lihat di dalam konteks politik domestik tetapi juga dalam dinamika politik luar negeri. Ambil contoh misalnya soal kasus pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Ribuan pengungsi Rohingya terpaksa terombang-ambing di laut lepas sebelum tekanan dari dunia internasional memaksa negara-negara Asia Tenggara untuk menampung orang-orang Rohingya – entah untuk tujuan kemanusiaan atau sekedar untuk menyelamatkan muka. Sementara ribuan saudara dan saudari mereka terlantar di laut lepas, nasib orang-orang Rohingya di Burma sendiri tidak jauh lebih baik: mereka mengalami persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang berlapis, baik secara ekonomi, politik, dan sosial, dari negara dan kelompok-kelompok Buddhis fundamentalis di sana. Melihat persoalan ini, maka bolehlah kita berujar sinis bahwa nampaknya yang ‘kosmopolitan’ dari pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara dan asosiasi regional yang menaunginya, ASEAN, hanya dua, yaitu kecenderungan otoritarianisme politik dan penghisapan rakyat pekerja melalui penetrasi neoliberalisme dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Contoh lainnya adalah instabilitas politik yang makin menjadi-jadi di Timur Tengah. Belum selesai persoalan ISIS, kawasan tersebut dihadapkan oleh dua persoalan yang tidak kalah gentingnya: invasi bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat melawan pemberontak Houthi di Yaman dan penetapan hukuman mati bagi mantan presiden Morsi di Mesir. Jelas bahwa dalam konteks dua kasus ini sisa-sisa despotisme lama di Timur Tengah yang bersekutu dengan atau difasilitasi oleh gelombang imperialisme baru akhirnya melanggengkan praktek-praktek kekuasaan represif dalam bentuknya yang paling brutal.
Persoalan-persoalan ini dalam banyak hal memang sangat berbeda. Konteks di mana berbagai persoalan ini muncul juga jauh berbeda. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menarik sebuah benang merah dari persoalan-persoalan ini. Justru di titik inilah menjadi penting bagi kita untuk mengabstraksikan persoalan-persoalan ini untuk melampaui partikularitasnya, merumuskan analisa yang lebih komprehensif, dan syukur-syukur merumuskan praksis bersama yang universal.
Pertama, sejumlah persoalan ini kembali mengingatkan kita bahwa sejarah pembentukan negara modern, yang terutama ditandai dengan bentuk-bentuk kedaulatan dalam kerangka Westphalian, adalah sejarah ekstrasi berbagai sumber daya, pendisiplinan warga, dan ‘racikan’ yang pas antara ekspansi kapital dan penggunaan kekerasan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang oleh sosiolog politik terkemuka, almarhum Charles Tilly (1990), dalam salah satu karya utamanya, Coercion, Capital, and European States. Karenanya, tak heran apabila Tilly (1985) sebelumnya berargumen bahwa sesungguhnya pembentukan negara modern tak ubahnya praktek premanisme yang terlembaga. Tugas gerakan progresif adalah memahami logika ini, menghancurkannya, dan melampauinya, sehingga kedaulatan ‘modern’ berubah fungsinya dari organ ekstratif dan koersif dan diletakkan dalam mekanisme kontrol secara bebas dan langsung oleh rakyat pekerja.
Kedua, bahkan seandainya Marx dan Polanyi tidak pernah ada untuk menjelaskannya secara rinci kepada kita, kita lagi-lagi menyaksikan kecenderungan progresif dari rakyat pekerja untuk melawan logika ekstraktif murni ala mekanisme pasar dan sentralisme negara dan pranata-pranata politik dan hukum yang melegitimasikannya. Upaya-upaya untuk memunculkan diskursus dan intervensi politik alternatif dan progresif dan solidaritas yang dipraktekkan oleh orang-orang biasa untuk menyelematkan pengungsi Rohingya adalah sejumlah contoh bagaimana tendensi progresif tersebut bukan hanya mungkin tetapi juga nyata adanya. Kedepannya, tendensi politik tersebut perlu dikembangkan lebih jauh lagi untuk pemenuhan agenda-agenda progresif.
Ketiga, persoalan-persoalan ini menunjukkan bahwa, terlepas dari berbagai perbedaannya, sejumlah masalah yang saya sebut di atas sesungguhnya merupakan bagian dari gugusan-gugusan persoalan yang saling berkaitan satu sama lain. Maraknya konservatisme dan fundamentalisme keagamaan di ruang publik tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan sejauh mana diskursus politik progresif yang dirumuskan oleh dan memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja memenangi kompetisi gagasan di ruang publik. Acuh dan diamnya banyak pihak terhadap apa yang terjadi di Burma dan Timur Tengah erat kaitannya dengan sejauh mana kosmopolitanisme sejati, yang melampaui logika otoritarianisme negara dan perampasan pasar, dalam bentuk solidaritas antar sesama kaum yang tertindas, bergaung di ranah internasional.
Implikasinya, ini menunjukkan bahwa kita tidak lagi bisa menganalisa berbagai persoalan-persoalan di dunia secara parsial. Persoalan-persoalan tersebut harus dan perlu dilihat sebagai bagian dari totalitas sebuah epos modernitas yang kita tinggali dan alami sekarang ini, yaitu modernitas kapitalis. Tugas bagi kaum progresif adalah untuk melakukan analisa yang komprehensif terhadap berbagai persoalan tersebut sebagai bagian dari totalitas persoalan dan merumuskan intervensi-intervensi politik yang memungkinkan relasi-relasi sosial yang menindas digantikan oleh praktik-praktik sosial yang emansipatoris.
Untuk menuju ke arah sana, kita perlu memahami persoalan-persoalan tersebut dan merumuskan solusi terhadapnya sebagai bagian dari universalitas praksis perjuangan kaum yang tertindas.***
Penulis adalah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitland dengan id @libloc