MEI DATANG kembali. Selamat hari Buruh Internasional buat kita semua. Ijinkan tulisan ini sedikit meracau tentang hal-hal yang saling berhubungan. Tahun ini, beberapa hari sebelum peringatan May Day, Presiden Indonesia menemui beberapa pimpinan serikat buruh dan mengajak mereka naik pesawat kepresiden dalam kunjungan kerja ke Semarang. Mereka berfoto bersama sebagaimana disebarkan melalui media massa dan media sosial. Langkah yang mestinya bertujuan menghidupkan popularitas kedua belah pihak yang berfoto bersama.
Pertemuan dan foto bersama terjadi tepat tak lama setelah pemerintahan Jokowi melakukan eksekusi hukuman mati pada para terpidana kejahatan narkoba. Kebijakan hukuman mati telah berbulan lamanya menyita perhatian masyarakat baik di dalam dan luar negeri. Diwarnai perdebatan sengit di berbagai media, tapi tampaknya telah membawa hasil yang positif buat popularitas sang Presiden yang baru 6 bulan mendiami Istana Negara. Kediaman resmi presiden yang tiap tahun jadi sasaran aksi para buruh yang merayakan May Day.
Salah satu terpidana yang dijadwalkan ikut eksekusi tersebut adalah Mary Jane, perempuan asal Filipina yang kemudian mendapatkan penundaan. Aktivis buruh migran Indonesia dan Filipina giat berkampanye menggalang popularitas tekanan bagi Jokowi agar memberikan pengampunan bagi Mary Jane, yang juga pernah jadi buruh migran. Masalah buruh migran adalah soal yang memengaruhi popularitas di Filipina. Tak kurang Presiden ‘Noynoy’ Aquino menyampaikan kabar langsung pada Jokowi tentang adanya bukti baru kasus Mary Jane yang kemudian mengubah keputusan eksekusi.
Modal popularitas, sialnya, tak dinikmati Zainal, warga negara Indonesia yang terpidana mati karena ditemukan ganja di kediamannya. Zainal tetap dihukum mati walau kemudian terungkap kisah proses peradilannya yang sungguh buruk dan tidak adil. Dimulai dari Berita Acara Pemeriksaan yang penuh kekeliruan, proses banding buat warga miskin ini justru membuat hukumannya malah dinaikkan dari 15 tahun penjara. Permohonan peninjauan kembalinya ‘terselip’ selama 10 tahun lebih di pengadilan negeri dan baru sampai di Mahkamah Agung beberapa minggu sebelum eksekusi. Tak ada penundaan, dengan tegas eksekusi buat Zainal dilanjutkan. Hingga detik akhir hidupnya, Zainal menolak semua tuduhan atas dirinya. Tak ada pernyataan maaf, bahkan jenazahnya pun dilarang pemerintah daerah untuk dikuburkan di kampung halamannya.
Buat kebanyakan kaum progresif, kebijakan hukuman mati Jokowi sangat lah mengecewakan dan mengejutkan. Kebanyakan mereka tentu tidak menyangka kebijakan hukuman mati dilakukan oleh tokoh yang diidentikkan dengan citra mendukung Hak Asasi Manusia pada masa pilpres tahun lalu. Pembeda dukungan pada Jokowi dibandingkan kandidat capres saingannya adalah tidak adanya rekam jejak pelanggaran HAM masa lalu. Rasanya memang hal yang luput ditanyakan kalangan progresif waktu itu adalah soal posisi terhadap hukuman mati.
Politik selalu penuh celah dan dinamika, karenanya tak mungkin menebak lika liku jalan ceritanya semenjak awal. Mereka yang berada di kubu tak mendukung Jokowi di masa pilpres, kini dapat bersatu padu dengan Jokowers yang mendukung kebijakan hukuman mati. Survey salah satu lembaga jejak pendapat menunjukkan, tak kurang 80 persen warga negara mendukung kebijakan hukuman mati yang diterapkan Jokowi. Kini pada Jokowi terbentuk citra pemimpin yang punya sikap tegas melindungi warga dari bahaya penyelundupan narkoba dan kedaulatan negara dari tekanan negara asing.
Sentimen nasionalisme dangkal tumbuh dari isu yang terbayangkan sebelumnya: Narkoba. Darurat narkoba diterima luas sebagai agenda popular yang mempersatukan mayoritas rakyat di belakang Presiden barunya. Popularitas semacam ini tidak terjadi untuk urusan-urusan politik lainnya yang sebelumnya ganas mendera semisal: pencabutan subsidi BBM, soal gonjang ganjing Polri dan KPK, soal keteledoran-keteledoran tidak membaca dokumen negara yang ditandatanganinya sebagai presiden, dll.
Maka perlu kiranya kita memahami efek dan logika yang melandasi popularitas dari kebijakan hukuman mati Jokowi ini. Daya pikat utama kebijakan hukuman mati berangkat dari wacana bahwa pembunuhan tersebut sah dan perlu karena telah melalui proses hukum, tidak peduli betapa gamblang kacaunya dan tidak adilnya hukum bagi mayoritas rakyat di negeri ini. Presiden tidak memberikan grasi karena akan melemahkan proses hukum terhadap para penjahat narkoba. Tak peduli bahwa kebanyakan yang dihantam bukan lah gembong utama. Bukan juga menyasar pelaku dengan latar belakang aparat keamanan yang kita ketahui jelas berperan vital agar peredaran narkoba memang efektif.
Sebagaimana para jagoan yang kita tonton dalam film laga ada alasan: ‘kekerasan yang perlu dilakukan’. Sang jagoan film laga harus berpikir cepat dan tegas demi membalas dendam pada para penjahat yang selama ini seperti hantu yang tak dapat diatasi. Jagoan bukan mengurusi akar masalah dan implikasi-implikasi strategis dari kebijakan. Kedaruratan yang diakibatkan kejahatan yang tidak terkendali di masyarakat butuh gebrakan sensasi yang memberi rasa puas dan tenang di masyarakat.
Sensasi ala film laga lebih memberikan kepuasan ketimbang pengetahuan yang ilmiah tentang akar masalah dan penyelesaiannya. Mantra yang diulang-ulang adalah soal efek jera. Ini sejalan dengan propaganda bahwa tindakan tegas mendesak dilakukan demi melindungi warga negara dari serangan pihak asing. Harus ada yang jadi bentuk nyata perwujudan musuh yang disebut asing tersebut. Sasaran yang mudah telah dipilih agar keberhasilan segera terlihat. Padahal sesungguhnya soal asing dan keterasingan lebih rumit dari yang dipertontonkan para politisi oportunis hari ini.
Sedikit meloncat cerita, tepat di tengah acara perayaan May Day tahun ini, kita dikejutkan oleh tindakan seorang aktivis buruh yang memilih ‘menghukum mati’ dirinya sendiri dengan aksi bunuh diri di Gelora Bung Karno. Aktivis buruh tersebut bergabung dengan salah satu barisan buruh terorganisir terbesar saat ini di negeri kita. Dari pesan terakhirnya di media sosial, tampaknya tindakannya didorong oleh rasa frustasi yang memuncak atas rendahnya perhatian kita semua akan kejahatan yang terjadi setiap hari di tempat kerja: buruknya keselamatan kerja. Padalah korbannya jauh lebih banyak dari mereka yang terjebak dalam penyalahgunaan narkoba.
Popularitas isu kejahatan dan keadilan dalam proses kerja begitu rendah sehingga kita mengenalnya sebagai ‘soal nasib buruk’. Sementara itu proses kerja kini berlangsung dalam produksi berjaringan secara global antara berbagai negara yang secara bendera ‘asing’ satu sama lainnya. Kita mengasingkan diri dari kepentingan menegakkan keadilan pada proses kerja. Ironisnya, kita lebih kecanduan ‘nasionalisme dangkal’ atau ‘anti asing’ untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi berlandaskan eksploitasi rakyat pekerja. Kecanduan ini juga memberi efek positif buat kekuasaan partai-partai oligarki.
Karena efektivitasnya, besar kemungkinan strategi popularitas nasionalisme dangkal ini akan terus didorong berkembang dalam era Jokowi. Posisi kalangan progresif mestinya berposisi seperti Gandhi, seperti juga sering dikutip Sukarno: “Nasionalismeku adalah kemanusian.” Kalangan progresif jelas perlu punya popularitas dukungan nyata terorganisir untuk dapat mewujudkannya. Popularitas yang lebih besar dari Jokowi dan partai-partai oligarki hari ini.***