Surat dari Halmahera Timur
ISTILAH pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita adalah mitos. Mitos yang diciptakan untuk memuluskan jalan bagi korporat-korporat nasional dan multinasional untuk melipatgandakan kapitalnya yang sudah demikian besar. Sebagai warga Halmahera Timur, berdasar amatan kami pertumbuhan ekonomi daerah tidak lebih dari cerita perampasan dan perusakan ruang hidup masyarakat.
Sejak otonomi daerah dibikin, Investasi pertambangan dibuka lebar-lebar. Kebun, hutan, gunung, tanjung, dan pulau-pulau kecil – sebagian berstatus Hutan Lindung, dijual murah kepada perusahaan tambang. Pembukaan lahan dimungkinkan berkat Surat Keputusan tentang harga tanah dan tanaman yang diterbitkan Bupati Halmahera Timur, Rudi Erawan. Surat Keputusan ini membuat penjualan lahan jadi bisnis yang menggiurkan. Akibatnya, warga kampung berduyun-duyun menghakmilikkan hutan-hutan adat. Sengketa lahan pun tidak terhindarkan. Di Buli Asal, Maba, Halmahera Timur, sengketa penentuan tapal batas kampung menjadi soal serius. Saling klaim kepemilikan kaveling lahan menjadi pemicu banyak konflik antar kelompok masyarakat. Di Halmahera Timur tak jarang ditemukan saudara sekandung sampai terlibat baku pukul.
Institusi pendidikan berperan melanggengkan bencana sosial dan ekologis di Halmahera Timur. Perusahaan-perusahaan tambang, seperti PT Aneka Tambang, acap kali menerima kunjungan studi para pelajar terbaik daerah. Tujuannya untuk meninjau lokasi pabrik pengolahan nikel. Para pelajar diperlihatkan proses produksi secara teknis. Persoalannya, perusahaan tidak memberikan informasi mengenai dampak ekologis maupun sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas mereka. Melalui institusi pendidikan yang berpihak pada perusahaan, tanpa sadar, perubahan pola kepemilikan lahan dan institusi pendidikan yang menopangnya mengubah alam berpikir masyarakat setempat. Semula masyarakat mengelola dan membagi lahan secara kekerabatan. Pertanian dan perikanan yang jadi kehidupan produktif masyarakat perlahan hilang. Masyarakat lebih memilih menjual lahannya pada perusahaan tambang, tanpa sadar mereka ikut diubah jadi buruh tak berlahan. Masyarakat menjadi pemuja tambang.
Warga Maba dan Maba Pura perlahan mulai meninggalkan bagam (perahu nelayan), beserta semua pengetahuan dan kebudayaan nelayan. Banyak warga yang beralih dari nelayan menjadi pekerja tambang mendapati diri dengan status ketenagakerjaan yang tidak jelas. Perusahaan membatasi para pekerja untuk berserikat. Gerak-gerik para pekerja diawasi. Belum lagi soal waktu kerja yang sering melebihi ketetapan. Cukup tujuh belas tahun saja, seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat diporak-porandakan oleh perusahaan-perusahaan tambang tersebut.
Sebelum ada operasi perusahaan tambang, para penduduk di kecamatan Maba tidak membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pohon sagu dan padi yang ditanam cukup memenuhi kebutuhan pangan warga. Sagu raja (sagu adat) yang tumbuh subur di kampung Maba ditanam dan disalurkan secara komunal. Saudara kami dari kampung yang agak jauh juga boleh ikut rembuk mengelola dan memanfaatkan tanaman-tanaman pangan tersebut. Kekayaan tidak hanya ada di darat. Di laut, beragam kebutuhan pangan bisa terpenuhi. Air laut yang jernih di sekitar pulau Gee dapat diolah menjadi garam. Kekayaan ikan di perairan Halmahera Timur terbilang melimpah. Daerah Topa, Sen, dan pulau Gifou adalah ruang yang menyimpan begitu banyak ikan tuna. Cukup membentangkan jala dan melempar kail dari tepi pantai, berbagai jenis ikan untuk dikonsumsi dengan mudah diperoleh.
Sementara kebutuhan harian lainnya dapat dipetik dari kebun sendiri. Untuk mendapatkan uang, masyarakat tani menanam kopra, pala, dan kakao. Uang yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Dalam hubungan produksi sebelum hak milik pribadi diperkenalkan, solidaritas antar masyarakat terbina dengan baik. Masyarakat tak perlu mengkhawatirkan ketersediaan uang untuk memenuhi macam-macam kebutuhan. Kerabat dan lingkungan sosial membentuk jaring pengaman sosialnya sendiri. Uang tidak terlalu banyak dikeluarkan untuk kebutuhan pangan. Setiap pagi hari, perahu-perahu nelayan dari kampung Maba dan Maba Pura berlabuh ke tepi pantai. Untuk mendapatkan ikan, warga tidak perlu membayar mahal. Begitulah gambaran kehidupan kami sebelum perusahaan-perusahaan tambang merusak keharmonisan kekerabatan masyarakat perkampungan yang bersahaja. Hubungan masyarakat sosial lekat dengan alam, berbaur sepenuhnya dengan daratan dan lautan.
Sebagian besar daratan Halmahera sudah disertakan jadi area pengusahaan-perusahaan tambang. Akibatnya, sebagian penduduk Halmahera, khususnya Halmahera Timur, bisa dikatakan telah kehilangan ruang hidupnya. Meski tanpa lahan banyak penduduk yang tetap bisa bertahan hidup, tetapi hidup itu sendiri untuk bisa benar-benar tegak, ia membutuhkan ruang hidup.
Di tengah fakta kerusakan lingkungan yang diciptakan, perusahaan tambang masih saja mengulang-ngulang janji mengupayakan perbaikan lingkungan dan kesejahteraan. Sampai saat ini perusahaan belum serius memenuhi janjinya. Upaya yang dilakukan perusahaan diantaranya dengan menanami lahan bekas tambang dengan pepohonan, Seperti yang berkali-kali dilakukan oleh PT. Antam di pulau Gee dan tanjung Buli. Namun perbaikan lingkungan hanya bersifat tambal sulam saja. Pasalnya manakala lahan kembali dibutuhkan perusahaan, pohon-pohon yang sudah ditanam kembali ditebang.
Menghadapi kenyataan-kenyataan tidak baik tersebut bagaimana masyarakat dapat menerima pembangunan pabrik pengolahan feronikel yang mengancam keselamatan mereka sendiri? Aktivitas PT. Antam akan semakin gencar dengan pembangunan anak perusahaan untuk mengelola pabrik pengolahan dengan ukuran yang lebih kecil.
PT. Antam disinyalir membayar sekelompok akademisi untuk menyusun Amdal. Penyusunan Amdal bersifat tertutup. Warga sekedar dimintai mengisi kuisioner dengan pertanyaan-pertanyaan menjebak. Warga dipaksa menyetujui aktivitas pabrik. Ilmu pengetahuan semata-mata digunakan untuk kepentingan perusahaan. Aspirasi masyarakat setempat diabaikan.
Ruang hidup yang direbut dan dihancurkan tentu tak bisa sekedar ditukar dengan uang. Program Corporate Social Responsibility (CSR) tidak dapat mengembalikan kearifan lokal yang sudah terlanjut dihancurkan. Belum lagi pemanfaatan CSR sebagai ladang bisnis bagi beberapa oknum pegawai PT. Antam. Ini bukan cerita yang bikin kita kaget. Seperti tuturan kelompok usaha di Kampung Pekaulang. Saat ini kebudayaan sekedar jadi pertunjukan seremonial.
Tentu saja ratapan semata tak dapat memperbaiki keadaan. Tetapi kami percaya, bahwa ikatan batin antara kami dan kepulauan Halmehara tidak lekang oleh waktu. Di tahun 2015 ini, ketika ruang hidup kami sudah dilukis dengan kanfas modern, masih ada orang tua dan saudara-saudara kami yang ruang batinnya terisi oleh kebudayaan lampau. Saudara-saudara kami di kampung Lolobata, mendatangi gunung Wato-wato, mengadakan ritual adat. Do’a tolak bala dipanjatkan, supaya alam tak lagi dirusak aktivitas produksi pertambangan. Sedangkan beberapa orang anak muda di kampung Maba Pura, mendapatkan kebebasan tatkala semua beban hidup mereka lepaskan dikeheningan Wagemna, kemudian mereka berkata “ketika hati hidup dan nafas terjaga”.