WACANA mengenai pembangunan partai alternatif kembali mengemuka dalam diskusi publik kita. Hal ini, tentu saja, merupakan perkembangan bagus dari gerakan rakyat kita. Rakyat kembali melihat urgensi mengenai keberadaan partai politik yang memiliki kapasitas untuk mengartikulasikan kepentingan mereka sendiri dalam politik negara. Secara pribadi, saya menilai kemunculan kembali wacana ini adalah penting. Keputusan untuk melakukan ‘Dukungan Kritis’, dimana saya sendiri sedikit banyak menjadi bagian dari keputusan tersebut, harus dipertanggungjawabkan secara etis-politis. Berkaca dengan kenyataan-kenyataan dimana Jokowi sebagai ‘orang baik’ semata tidak membuat kita ke luar dari kepungan ketat kekuasaan jaringan oligarki, maka posisi lanjutan yang bertanggung jawab adalah melanjutkan perlawanan terhadap oligarki melalui perlawanan politik di tingkat formal. Tentu saja dengan mendorong pewadahan dari gerakan rakyat yang sudah berani terbuka melawan operasi kekuasaan oligarki produk Orba dengan mengubahnya menjadi kekuatan politik alternatif.
Bagi mereka yang mendaku sebagai bagian dari gerakan Kiri, tidak ada pilihan selain menghadirkan partai politik buat bertarung dalam ruang demokrasi elektoral pasca Soeharto. Ruang tersebut selama 17 tahun ini, nyatanya malah dikuasai oligarki dan jadi pembenaran bagi kebijakan-kebijakan berorientasi neoliberal. Kemungkinan berpolitik melalui ‘orang baik’ dan partai-partai oligarki yang sudah eksis saat ini, tidak akan mengubah konstelasi dominasi oligarki serta kebijakan neoliberal di ruang yang ada. Yang terjadi adalah terus menerus dicaploknya konsep-konsep gerakan, seperti anti-neoliberalisme, transparansi, kerakyatan namun dengan mempertahankan relasi timpang yang menghancurkan kesadaran kritis rakyat itu sendiri. Absennya gagasan tentang membangun partai memberikan kemunculan bagi pilihan-pilihan solusi politik yang parsial model proyeksi pemberdayaan, koalisi kasus-kasus dsb, atau malah bahkan bersifat delusional seperti perjuangan bersenjata.
Namun di tengah kemendesakan ini, bukan berarti semuanya menjadi jelas. Masih banyak yang menganggap sumir mengenai pembangunan partai alternatif itu sendiri. Bagaimana kita berupaya untuk merealisasikan kemendesakan ini masih merupakan pertanyaan bersama.
Ketidakjelasan ini setidaknya dapat dilihat pada bagaimana pembangunan partai ini harus disikapi. Pimpinan serikat besar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) seperti Said Iqbal berpendapat, keberadaan partai alternatif itu adalah suatu kewajaran, namun bukan dalam jangka waktu dekat ini partai tersebut harus dibangun (Pemilu.com, 2015). Harus ada pendidikan politik terlebih dahulu, pendirian organisasi massa sebagai embrio partai, serta diperlukan jajak pendapat internal sebagai prakondisi bagi pembangunan partai itu sendiri sebagai pemenuhan kondisi yang mencukupi bagi pembangunan partai (Utama, 2015).
Editorial LKIP (Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS) (2015) juga mengajukan problem perihal apa kondisi yang penting bagi pembangunan partai alternatif ini. Problem yang diajukan dalam editorial LKIP lebih bersifat evaluatif mengenai bagaimana partai harus dibangun: jika memang pembangunan partai begitu mendesak, mengapa tidak sedari dulu ia hadir dalam sejarah Indonesia pasca reformasi? Bukankah ruang demokratisasi pasca reformasi juga memungkinkan bagi munculnya partai? Lalu, dimana evaluasi dari kegagalan itu?
Ada beberapa kebenaran dari dua argumen yang diajukan. Tidak dapat ditampik bahwa belum ada proses pendidikan politik agar rakyat secara luas harus mengkonsolidasikan dirinya dalam partai. Juga memang belum ada, sejauh pengamatan saya yang terbatas, suatu evaluasi sistematis mengenai kegagalan pembangunan partai di masa lampau. Akan tetapi argumen-argumen seperti ini tidak bisa berdiri di luar dalam urgensi pembangunan partai itu sendiri. Dengan menempatkannya di luar dari upaya pembangunan partai justru menunjukkan kemubaziran dari urgensi agenda partai itu sendiri. Karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap pembangunan partai maka kegagalan untuk memenuhi problem-problem yang diajukan justru menjadi rasionalisasi bahwa pembangunan partai sudah dan akan selalu gagal. Di sini akhirnya, argumen yang tadinya diniatkan sebagai refleksi untuk mengatasi problem yang akan dihadapi pembangunan partai malah menjadi penahan serta penghambat bagi aspirasi membangun partai itu sendiri.
Sebagaimana kita belajar dari pengalaman para revolusioner di masa lampau, tidak pernah ada situasi yang ideal, yang mencukupi ketika suatu intervensi politik dilakukan. Selalu ada keterbatasan dan hambatan yang ditemui dalam momen intervensi politik. Berupaya mengharapkan suatu langkah politik tanpa hambatan dalam merealisasikan kemenangan politik rakyat pekerja, ibarat mengharapkan jomblo yang selalu mengeluh untuk segera mendapatkan pacar: suatu hal yang tidak mungkin karena upaya untuk mendapatkan pacar bukan mensyaratkan keluhan namun tindakan nyata.
Penting untuk kemudian memeriksa pertama kali apa kondisi serta kesulitan yang tengah kita hadapi sekarang. Argumen Zely Ariane (2015), menurut saya, bisa menjadi titik berangkat yang penting dalam memahami kondisi kita. Upaya untuk membangun partai ternyata tidak se-madesu (masa depan suram, red) yang kita kira. Semua orang yang merasakan ketidak-adilan dan penindasan di negeri ini masih begitu semangat untuk menggelorakan perlawanan mereka. Gerakan perlawanan rakyat, alih-alih mundur, malahan selalu tumbuh dan berlipat ganda. Menariknya, Zely juga mencatat bahwa pelipat-gandaan gerakan rakyat ini juga diikuti dengan satu ciri mendasar: bahwa tidak ada karakteristik yang homogen dari menjamurnya gerakan rakyat ini. Dalam hal ini, Zely telah mengajukan hal yang krusial perihal basis material dari partai yang hendak dibangun. Bahwa antusiasme berlawan gerakan rakyat sekarang harus menjadi bagian integral dalam partai yang hendak dibangun.
Namun Zely tidak mengelaborasi lebih mendalam mengenai bagaimana partai tersebut dapat direalisasikan. Bahkan ia di sini cenderung skeptis ketika partai yang hendak diupayakan dibangun melalui ‘penyatuan bersyarat penyamaan pemahaman atas program’. Skeptisisme Zely, sedikit banyak, tentu dapat diterima karena suatu pengetahuan yang lengkap yang mendasari suatu gerakan adalah suatu kemusykilan. Namun menolak sama sekali upaya penyatuan program sebagai bagian dari pembangunan partai adalah kesalahan juga, karena dengan sendirinya membiarkan aktivitas perlawanan berlangsung sebagaimana adanya.
Di sini penting untuk kita pahami bersama bahwa terbangungunnya partai alternatif tidak pernah terjadi secara otomatis dan alamiah. Ia adalah sesuatu yang harus diupayakan, yang seringkali harus membuat kita keluar dari rutinitas perlawanan seperti biasanya. Dan itu terkadang harus menegosiasikan kembali perbedaan-perbedaan yang ada untuk mencari titik temu persatuan. Benar bahwa partai bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Namun ia adalah instrumen bagi konsentrasi serta penyatuan kekuatan untuk merealisasikan tujuan utama gerakan. Tanpa ada keinginan untuk menyatukan secara strategis antar elemen gerakan, akan sulit bagi tujuan itu untuk dapat direalisasikan.
Sejarah serta pengalaman kita sendiri telah memberikan pelajaran penting mengenai pembiaran atas gerak perlawanan yang tidak tersatukan ini: pengalaman bagaimana gerakan rakyat mencoba terlibat secara politik dalam momen pilpres 2014 kemarin adalah bukti dari keterbatasan intervensi ala diaspora. Karena tidak ada upaya untuk melakukan suatu penyatuan kerja, maka setiap elemen gerakan bermanuver berdasarkan kepentingan mereka pada saat itu. Tidak ada yang salah dari proses ini dari kacamata gerakan rakyat sebagai suatu organisasi massa, namun secara politik justru menuver tanpa penyatuan ini berimplikasi pada fragmentasi tuntutan dari gerakan rakyat itu sendiri, yang membuat gerakan rakyat mudah untuk dikooptasi dan dicacah-cacah artikulasi politiknya melalui agenda politik pecah-belah ala kelas berkuasa. Sebagaimana telah dibuktikan dalam pengalaman kita sekarang, justru intervensi politik tanpa kesatuan menciptakan oportunisme baru di kalangan aktivis dan juga, bahkan, disorientasi politik itu sendiri.
Di sini penting kita merefleksikan kembali tradisi kaya dalam politik Marxisme yang sempat menjadi acuan pengorganisiran kaum revolusioner awal abad 20an yang dikenal sebagai “sentralisme demokratis/sendem”. Termin ini seringkali dirancukan dengan bentuk kekuasasan negara yang tersentralisasi secara penuh dan totaliter. Akan tetapi pada mulanya termin ini justru adalah sebagai penamaan atas suatu bentuk relasi organisasi politik yang memiliki kapasitas untuk mendorong kepentingan kelas pekerja yang beragam dalam kaitannya dengan perjuangan melawan kelas kapitalis. Dalam pengalaman kita, tentu saja sentralisme demokratis berarti menciptakan satu bentuk relasi yang terkordinasi, tersatukan, tersentralisasi atas berbagai keragaman elemen-elemen gerakan rakyat yang tengah melakukan perlawanan kini.
Namun, saya tentu saja mengakui bahwa persatuan itu haruslah berdasar praksis politik gerakan rakyat itu sendiri. Ia bukanlah sesuatu yang superfisial dipaksakan dalam kondisi yang ada sekarang. Untuk itu, di tengah urgensi mengenai pembangunan partai, yang paling awal dan pertama kali dapat didorong untuk merealisasikan persatuan nyata ini adalah dengan membuat program atau platform bersama mengenai bagaimana membangun partai itu sendiri. Upaya pembangunan ini haruslah dibuat seterbuka dan sedemokratis mungkin. Dengan kata lain, diskusi mengenai membangun partai tidak lagi berbicara mengenai seperti apa partai yang ideal bagi, tapi bagaimana dalam kondisi kekinian yang penuh dengan hambatan serta karakteristik kita yang beragam, dapat menciptakan satu posisi bersama, yang bersatu dan terkonsolidasikan untuk segera merealisasikan institusi partai buat rakyat itu senddiri. Disinilah sikap sektarianisme serta rasa ‘benar sendiri’ harus disingkirkan.
Penyatuan ini menjadi penting untuk menciptakan kerja pengorganisiran yang terkordinasi antar elemen gerakan rakyat. Yang harus dipahami dari upaya pembangunan partai alternatif ke depan nanti adalah ‘perjuangan kelas’ akan selalu mempengaruhi prosesnya. Dalam arti, kelas berkuasa akan menggunakan segala daya upaya dengan sistematis dan terorganisir untuk memastikan bahwa partai alternatif ini akan gagal untuk direalisasikan. Dengan mengorganisasikan diri kita dalam kerja yang terkordinasi dan tersatukan, kita akan memiliki kapasitas politik kolektif yang terstruktur untuk menantang secara serius upaya sabotase politik kelas berkuasa itu sendiri.***
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana di Murdoch University, Australia. Pemimpin Redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS dan anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).
Kepustakaan:
Ariane, Z. (2015). Untuk Mengubah Semua Hal Kita Perlu Semua Orang. IndoProgress. Diambil dari https://indoprogress.com/2015/05/untuk-mengubah-semua-hal-kita-perlu-semua-orang/
Editorial LKIP. (2015). LKIP Edisi 26. Lembar Kebudayaan IndoProgress. diambil dari https://indoprogress.com/2015/05/lkip-edisi-26/
Politik.com. (2015). Said Iqbal: Belum Saatnya Buruh Dirikan Partai. Diambil dari http://www.pemilu.com/berita/2015/05/said-iqbal-belum-saatnya-buruh-dirikan-partai/
Utama, A. (2015). May Day, Buruh Indonesia Terpecah soal Pembentukan Partai. CNN Indonesia. Diambil dari http://www.cnnindonesia.com/politik/20150430085558-32-50203/may-day-buruh-indonesia-terpecah-soal-pembentukan-partai/