ADA YANG bilang kalau Karl Marx tak pantas jadi panutan hidup. Gondrong rambutnya. Bahkan sampai sampai usia tua. Wajahnya tidak klimis. Penuh berewok dan kumis. Umurnya juga pendek saja, cuma 65 tahun. Tapi lihat, baru umur segitu saja rambut, kumis, dan berewoknya penuh uban. Pasti dia sering stress.
Dalam soal rumahtangga, seumur hidupnya Marx itu miskin nyaris tak mampu menafkahi keluarganya. Utang sana, utang sini. Pinjam duit sana-sini. Gali lobang tutup lobang. Cuma bisa sewa rumah di wilayah padat penduduk. Anak, istri, dan dirinya seringkali sakit. Tiga anaknya mati tanpa sempat mengenyam pacaran. Bukti bahwa dia tidak mampu membayar ongkos dokter.
Kalau keklimisan patokannya, benarlah Marx tak pantas jadi panutan. Tapi bukankah tokoh-tokoh besar yang sampai sekarang turut mewarnai paras dunia juga tak seklimis Mario Teguh? Nabi Musa, Yesus, Muhammad, dan Ali bin Abi-Talib berkumis dan berewokan. Zarathustra, Mahavira, Guru Nanak, dan al-mukarrom Abdul Qadir Al-Jailani juga. Kalau jumlah anak yang hidup sampai dewasa sebagai patokan, bukankah Nabi Muhammad saw juga cuma punya satu anak yang hidup hingga dewasa?
Baiklah, kalau pun memang dalam serba-serbi tampilan pribadinya sebagai seorang fakir Marx agak kurang pas untuk dijadikan tauladan, mungkin kita bisa menarik pelajaran dari caranya belajar ilmu.
Tidak banyak orang tahu Marx pernah menulis perihal matematika. Dia menuliskan setidaknya dua risalah lengkap siap terbit tentang kalkulus dan fungsi turunan. Ditambah dengan draft-draft serta catatan-catatan belajarnya, setidaknya tulisan Marx soal matematika itu nyaris 900 lembar halaman folio. Naskah-naskah tulisan tangan tentang matematika ini tidak pernah diterbitkan selama hidupnya. Lagi pula Marx tak berniat menerbitkannya. Dia tahu diri bukan matematikawan. Dia cuma sedang mengajari dirinya soal matematika. Dua risalah yang disebut di atas juga lengkap hanya untuk dibaca oleh karibnya saja, Engels, untuk diperiksa.
Memang sewaktu lulus dari sekolah menengah di Trier pada 1835, kepala sekolah menuliskan di ijazah bahwa pengetahuan Marx akan matematika ‘lumayan memadai’. Kalau ditengok ke kurikulum pendidikan sekolah Jerman kala itu, Marx mempelajari aritmetika dasar, aljabar sampai ke persamaan-persamaan kuadrat, dan geometri. Paling-paling, Marx sekadar mengenal trigonometri, sedikit aljabar tingkat tinggi, geomteri analitis, dan kalkulus dasar. Tak ada rekaman biografi yang mengisahkan Marx menggeluti matematika setelah lulus sekolah menengah. Kuliah pertamanya dalam bidang hukum. Ujian doktornya dalam filsafat. Keduanya tak memerlukan pendalaman atas matematika. Jadi bolehlah dikatakan bahwa Marx bukan penggila matematika, apalagi dibilang sebagai matematikawan. Karena Marx bukan matematikawan, lantas apa yang mendorongnya mempelajari matematika?
Tanda pertama yang membuktikan Marx mulai mempelajari kembali matematika ialah dari tahun 1858. Pada masa ini Marx mempelajari aljabar karena sedang kesulitan mengurai asas-asas ekonomika dan soal-soal kalkulasi. Seperti banyak orang tahu, sepanjang 1857-1858 Marx sedang bergelut dengan ekonomi dalam rangka persiapan menyusun Das Kapital. Salah satu hasil belajar ekonominya dari dua tahun ini ialah risalah dan catatan-catatannya soal berbagai hal terkait uang dan kapital yang kini dikenal sebagai Grundrisse. Boleh jadi, dorongan pertama yang memaksanya mempelajari matematika ialah upayanya mengkaji ekonomika. Ketika kesulitan kalkulasi ditemuinya, segera dia pelajari dulu ilmu yang bisa menolongnya.
Bukti kedua datangnya dari paro pertama dasawarsa 1860an. Tapi beda dengan masa sebelumnya, saat ini Marx mempelajari kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Dalam suratnya buat Engels pada 6 Juli 1863, Marx menjelaskan bahwa “karena aku saat ini habiskan 10 jam kerja sehari ex officio menggeluti ekonomika… waktu luangku kini dicurahkan pada kalkulus diferensial dan integral”.[1] Kenapa Marx mempelajarinya? Kalau kita tengok lagi tulisan-tulisan Marx yang saat ini kenal sebagai Teori-Teori Nilai-Lebih, maka pada paro kedua 1863 Marx sedang kelimpungan menghadapi Tableu économique karangan Quesnay. Semua pelajar ekonomi tahu bahwa Tableu économique itu terbilang risalah pertama yang mengajarkan arti penting ekonomi makro, soal pentingnya kalkulasi pendapatan, pengeluaran, dan sebagainya dalam ekonomi negara. Tapi, apa urusannya dengan kalkulus sehingga Marx mesti mempelajarinya?
Jawabannya ada di bukti ketiga. Dalam suratnya kepada Engels pada 1873, Marx menulis:
Sudah kuberi tahu [Samuel] Moore perihal masalah yang karenanya aku pusing tujuh keliling sampai sekarang. Namun, dia pikir masalah itu tak bisa selesaikan, setidaknya pro tempore, karena banyak faktor terlibat, faktor-faktor yang bagian terbesarnya belumlah ditemukan. Masalahnya seperti ini: kamu kan tahu soal grafik-grafik yang di situ pergerakan harga, tingkat kortingan, dsb., dsb., sepanjang tahun, dsb., ditunjukkan dalam kenaikan dan penurunan zigzag. Aku sudah dengan berbagai cara berupaya menganalisis krisis dengan mengkalkulasi ‘naik-turun’ ini sebagai kurva sulat-salit dan percaya (dan masih percaya hal itu mungkin dianalisis apabila bahan-bahan [empiris] secara mencukupi dikaji) bahwa aku sanggup menentukan secara matematis hukum-hukum asasi yang mengatur krisis. Seperti sudah kubilang, Moore pikir masalah itu tidak bisa dikerjakan sekarang dan aku putuskan menyerah dulu untuk sementara.[2]
Rupanya, dorongan berasal dari upayanya “mengkalkulasi ‘naik-turun’ ini sebagai kurva ‘’sulat-salit” atau dinamika siklus krisis yang geraknya seperti kurva secara matematis. Untuk sekadar menulis beberapa paragraf untuk bukunya Das Kapital, Marx puasa menulis dan belajar matematika dulu untuk memastikan ketepatan paparannya. Bukti lainnya, sekitar 1875, Marx membuat kalkulasi ‘Perlakuan Matematis atas Tingkat Nilai-Lebih dan Tingkat Laba” yang paparan naratifnya kelak menjadi bagian dari bab 3 Das Kapital jilid 3. Naskah matematikanya sendiri tidak pernah diikutsertakan. Tak pula pernah diterbitkan, dan hingga sekarang masih teronggok di gudang arsip International Marx-Engels Stiftung di Belanda.[3]
Marx kembali mempelajari matematika, khususnya kalkulus, pada 1878. Bedanya, sekarang Marx kebanyakan mempelajari matematika demi matematika itu sendiri. Tak ada urusan langsung dengan kajian-kajian ekonominya. Dia kumpulkan buku-buku kalkulus. Dia bahkan membaca karya-karya para pendiri kalkulus seperti Newton, Leibnitz, D’Alambert, Taylor, Maclaurin, Lagrange, Euler, dan sejumlah matematikawan lainnya. Dia bikin catatan-catatan, komentar-komentar, dan akhirnya pada musim gugur 1881, di tengah terpaan sakitnya, di meja belajar dekat ranjang reotnya, Marx menulis dua risalah. Pertama tentang konsep fungsi turunan, dan kedua ihwal konsep diferensial. Hasil belajarnya juga dituangkan ke dalam risalah ihwal sejarah kalkulus diferensial yang belum rampung ketika dia meninggal pada Maret 1883.[4]
Setelah Das Kapital jilid 1 terbit pada 1867, tak ada bagian-bagian Das Kapital yang terbit. Sekarang kita tahu mengapa Engels begitu kesal Marx tak segera merampungkan risalah besarnya itu di sisa hidupnya. Rupanya, setiap kali menghadapi tuntutan bukti-bukti ilmiah, tak jarang Marx berhenti menulis dan belajar dulu ilmu yang bisa memberinya bukti ilmiah.
Baiklah, Marx mungkin jarang sisiran, pakai minyak rambut, dan tidak klimis. Okelah Marx memang tidak punya acara talkshow mingguan di televisi ternama. Tak seperti Ustad Jefri atau Olga, saat pemakaman jasadnya pun dihadiri tak lebih dari enam orang. Tak seperti bayangan banyak orang, Marx bukan selebriti saat hidupnya selain bahan obrolan di kalangan intel polisi Jerman, Perancis, dan Belgia. Tak ada yang memuja-muji. Kecuali di antara para komunis degil nan militan, kebanyakan orang malah mendiamkan karya-karyanya. Tak ada pula ribuan orang bersolawat saat menghantar jenazahnya ke Pekuburan Highgate di London.
Memang Marx kini begitu tersohor. Saking tersohornya, tak sedikit orang yang menyebut-nyebutnya sekadar supaya ikut tersohor, entah dengan memuja-mujinya atau mengutukinya. Tak sedikit orang yang baru membaca satu dua bab dari sebuah buku ringkas tentang pemikiran Marx bikinan seorang rahib saja kita sudah koar-koar bahwa teori Marx itu ketinggalan jaman, tak lagi relevan, dan keliru. Baru sekali mengikuti ceramah atau kuliah dosen tentang ‘Marxisme’ saja kita seperti orang yang berkawan karib dengan Marx puluhan tahun atau tuntas membaca Marx-Engels Gesamtausgabe puluhan jilid. Persis seperti mahasiswa baru yang membaca potongan ayat al-Quran dari buletin masjid kampus lalu berlagak sudah seperti kyai yang hafidz Quran-Hadits menghakimi orang banyak sebagai munkar, maksiat, bid’ah, ahli neraka.
Dari sepenggal riwayatnya dalam mempelajari matematika, mata hati dan pikiran yang adil bisa memetik beberapa hikmah. Pertama, Marx memang bukan suri tauladan apabila tujuan kita kuliah doktoral ialah untuk sekadar titel yang mengisi lembar CV kita supaya bisa dijual untuk proyek-proyek konsultansi. Dari masa menamatkan kuliah doktor filsafat hingga wafatnya, Marx nyaris tidak pernah berhenti belajar. Tak hanya filsafat yang jadi bidangnya, tapi juga ekonomi. Tidak hanya kritik ekonomi-politik dan sejarah yang jadi kegemarannya, tetapi juga agronomi, fisiologi, evolusi, dan matematika. Demi apa? Demi memperkuat apa yang sedang ditulisnya. Sudah watak Marx yang sudi menunda semua aktivitas menulisnya ketika menghadapi persoalan yang harus dilacak jalannya ke dalam bidang-bidang ilmu lain. Bahkan untuk membereskan riwayat akumulasi kapital, karena kebetulan dapat kabar kaum tani Rusia punya pranata kepemilikan kolektif, dia belajar dulu Bahasa Rusia supaya bisa membaca laporan dan buku-buku tentang hal itu dalam bahasa aslinya. Begitu pula ketika setahun sebelum wafatnya dia menemukan praktik serupa di kalangan suku-suku Afrika Utara ketika oleh saran dokter dia berkunjung ke Aljazair, dia malah belajar Bahasa Arab sekadar untuk bisa membaca tulisan-tulisan masa lalu tentang kaum tani di sana. Itulah salah satu sebab ketertundaan penerbitan karya-karya besarnya. Buat kita yang hidup di jaman serba praktis, tak perlulah banyak membaca, apalagi mempelajari bahasa dari subjek yang sedang kita selidiki. Terjemahan pun cukup. Kalau bisa, kutip saja apa yang sudah orang tulis dalam bahasa kita sendiri. Ganteng-Ganteng Serigala lebih berharga ketimbang belajar Bahasa Rusia atau notasi kalkulus diferensial hanya karena dua paragraf perlu penegasan sumber langsung yang terpercaya.
Kedua, memang Marx bukan suri tauladan yang baik apabila kita menulis sekadar untuk gaya-gayaan, biar tersohor sebagai penulis di indoprogress.com. Beda dengan kebanyakan kita, di masa-masa sakit, di saat-saat tergeletak di ranjangnya, Marx tidak berhenti belajar. Malah, kebanyakan kegiatan belajar matematikanya dilakukan di saat-saat seperti ini.
Marx itu manusia biasa seperti kebanyakan kita-kita. Marx bukan superman. Tak semua peri kehidupannya bisa dijadikan tauladan. Tengok saja, tulisan-tulisan tangannya kecil-kecil, sulit dibaca meskipun dia bukan dokter. Mungkin karena itulah tim Marx-Engels Gesamtausgabe Generasi Kedua, mempekerjakan para filolog khusus untuk membaca tulisan-tulisan kecil nan ruwet itu. Maklumlah, sebagai fakir waktu itu Marx harus pintar-pintar irit kertas yang mahal. Meski dilumuri serba kekurangan, cobalah tengok apa yang dilakukannya dalam berilmu. Apa yang dikisahkan di sini cuma sebagian amat sangat kecil sekali dari bagaimana Marx belajar demi merangkai pemikirannya. Pemikirannya tidak muncul tiba-tiba pada Jumat Kliwon seperti wangsit, tapi dibentuk oleh proses belajar berpuluh tahun lamanya. Apabila Marx saja demikian, begitu pulalah semestinya kita bila hendak menyokong atau mengkritiknya, dengan disiplin berilmu yang tangguh tak lekang oleh “habis ngga ada terjemahannya sih”. Karena itulah sudah bukan saatnya lagi kita dukung-mendukung atau nista-menistakan pemikiran Marx hanya karena kita pernah membaca sehalaman tulisan seorang rahib tentangnya. Seperti pernah ditulis seorang arif bijaksana,
“Sekarang bukan jamannya mengindentifikasi cara pandang, seraya memberikan cap-cap yang tidak punya akar sejarah di Indonesia. Sekarang waktunya memikirkan, mempertimbangkan, merumuskan, dan melaksanakan kegiatan membaca tulisan-tulisan Marx secara tekun dan sistematis sebagai sebuah aktivitas politik, sebagai salah satu bentuk Aksi Massa.”[5]
Jatinangor18 Mei 2015
Catatan:
[1] K. Marx, 1985. ‘Marx to Engels, 6 July 1863’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 41. London: Lawrence & Wishat, hlm. 484.
[2] K. Marx, 1989. ‘Marx to Engels, 31 May 1873’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 44. London: Lawrence & Wishat, hlm. 504.
[3] Lihat bahasanya L. Smolenski, 1973. ‘Karl Marx and mathematical economics’, Journal of Political Economy, 81 (5): terutama hlm. 1195-1196.
[4] Buat yang minat, silahkan baca di K. Marx, 1983. Mathematical Manuscripts of Karl Marx. London: New Park Publications.
[5] A. Astika, 2011. “DI bawah baston Carlos Kleiner: menghadapi ancaman Marxisme ugal-ugalan’, Problem Filsafat, No. 1, Agustus, hlm. 24.