SEORANG perempuan paruh baya tiba-tiba menghampiri saya dengan membawa secarik tulisan yang dibungkus sebuah map. Kertasnya nampak lusuh. Warnanya putih berpadu dengan coklat muda—’mangkak’, kata orang Jawa. Berbagai model tanda tangan terlampir di kolom-kolom yang sudah disiapkan. Saya dibuat bingung, masa iya ada yang minta bantuan untuk membangun masjid atau menyantuni anak yatim seperti yang biasa saya temukan di kampung halaman?
Ia menyodorkan kertas itu. Tanpa banyak bicara, dia hanya menunjuk-nunjuk sembari memberi contoh bagaimana mengeluarkan uang dari dompet.
‘Wah, kalau begitu sih saya juga bisa,’ saya membatin.
‘Do you speak English?’ tanyanya. Saya menjawab, ‘Iya’.
Dengan sangat sigap, wanita itu kemudian bersuara.
‘Money, money! Do you have some money? I need food’, terangnya. Dan entah kenapa, seketika itu juga saya langsung pergi. Pura-pura tak menghiraukan.
Itulah kali pertama saya melihat sesosok wanita paruh baya, memakai penutup kepala seadanya dan berkeliling sambil menenteng map atau amplop. Bukan hanya satu, tapi puluhan. Ada juga yang masih usia belia. Dengan rambut hitam panjang yang hanya diikat sekenanya, mereka berkeliling di pusat-pusat wisata di Berlin dan menghampiri beberapa turis. Tentu, untuk mengharapkan beberapa koin euro untuk makan esok hari.
Setelah beberapa kali saya perhatikan, kebanyakan pengemis itu rata-rata perempuan keturunan Gypsy. Tak satupun saya menjumpai laki-laki Gypsy keliling menenteng map seperti penarik iuran RT.
Sekali lagi, itu bukan atas nama emansipasi perempuan. Itu keterpaksaan.
Di negara sekaya Jerman, kemiskinan memang tidak terlalu mencolok. Orang kaya, miskin, atau berkecukupan, menggunakan fasilitas publik yang sama—dan ketiganya sulit saya bedakan. Tidak ada kesenjangan yang luar biasa dan serba membatasi.
Pelabelan terhadap komunitas Gypsy (Sinti dan Roma) di Jerman nampaknya masih berlanjut. Beberapa media ternama seperti Deutsche Welle atau Berliner Morgenpost sering menyajikan bermacam berita seputar kehidupan imigran Gypsy. Ada yang mengulas tentang kehidupan mereka yang suka berkelompok atau anak-anak yang berpendidikan rendah. Namun yang paling sering disorot adalah kemiskinan.
Awalnya saya berpikir mereka adalah orang-orang dari Eropa Timur—Bosnia atau Serbia. Saya pun mengira mereka muslim karena memakai penutup kepala. Telisik punya telisik, ternyata asal-usul mereka dari Rumania, keturunan komunitas Gypsy yang dahulu merupakan korban kekejaman Nazi.
***
Saya baru saja sampai di sebuah bangunan memorial di pusat kota Berlin. Tertulis di depan gerbang besar itu: ‘Memorial to The Sinti and Roma of Europe Murdered under National Socialism.’ Walaupun sudah beberapa kali saya mengunjungi lokasi di sekitar area ini, tetapi baru sekarang saya melangkahkan kaki ke dalam, mengeja kisah demi kisah yang berjejer urut di sebuah tembok besar.
Selain keturunan Yahudi, target pembersihan etnis yang dilakukan oleh Hitler adalah orang-orang Gypsy. Abad pertengahan menjadi saksi berbondong-bondongnya kelompok Gypsy ke dataran Eropa yang kemudian menyebar dan beranak-pinak.
Nasib betul, ternyata mereka harus menelan kisah tragis di bawah kekuasaan Nasional-Sosialis Nazi. Kurang-lebih 500,000 keturunan Gypsy dibunuh di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Sejenak, mereka harus merelakan mimpi-mimpinya untuk hidup di dataran Eropa.
Mau tidak mau, sepertinya saya harus turut mengakui bahwa Jerman merupakan negara yang berani mengungkap aib sendiri. Tidak semua negara, saya rasa, punya keberanian seperti itu. Dan atas nama solidaritas inilah, pemerintah Berlin kemudian membangun sebuah memorial untuk mengenang korban Holocaust.
Ketika saya sedang berasyik-masyuk mengeja nama-nama korban Holocaust yang diukir di atas bebatuan, dari luar terdengar alunan musik sendu yang tak kunjung selesai. Alamak, suasana benar-benar dramatis. Mendung dan sepi pengunjung, lengkap sudah. Hanya terlihat beberapa orang saja yang masuk ke memorial ini.
Udara dingin dan salju menumpuk dimana-mana, nampaknya tidak juga mengurungkan niat perempuan tua berwajah Gypsy untuk terus menerus memainkan akordion di depan bangunan baru itu sambil sesekali melempar senyum ke beberapa turis. Tentu, dan lagi-lagi, mengharapkan pecahan euro singgah di sebuah kaleng besi tepat di hadapannya.
Seringkali penampakan luar kawanan Gypsy dari Rumania di Berlin memang sedikit menyayat hati. Rata-rata miskin. Tak jarang mereka kerap diperlakukan secara tidak adil dan jadi korban rasisme. Pemerintah Jerman juga nampaknya kewalahan dengan banyaknya imigran gelap dari berbagai negara Eropa, termasuk orang Gipsy. Bahkan kabarnya, pemerintah Prancis, yang juga menjadi tujuan beberapa imigran Roma, telah menyediakan dana ratusan Euro untuk memulangkan mereka ke negara asal.
Beda bangsa beda nasib. Sama-sama tercatat sebagai korban Holocaust, namun nampaknya warga Yahudi di Jerman sekarang lebih bisa diterima. Apakah faktor diplomasi dengan Israel, beban moral, atau sederet kepentingan yang membelakangi persahabatan kedua negara, saya tidak tidak tahu persis. Yang pasti, kehadiran warga Yahudi di Jerman kini terasa mulus—atau bisalah disebut ‘tamu istimewa’. Jarang sekali saya membaca berita nasional yang mengangkat isu integrasi atau ketimpangan sosial dalam kaitannya dengan orang-orang Yahudi. Lebih dari itu, tentu pemerintah Jerman juga ingin mengobati luka sejarah akibat Holocaust.
Beda bangsa beda nasib. Kata ini saya pilih untuk menggambarkan potret kehidupan imigran Sinti di Berlin yang jauh dari kata sejahtera. Pantas saja, beberapa waktu lalu, selang sekian hari setelah memorial ini diresmikan, sebuah media nasional mengangkat berita berjudul ‘Can a Memorial End Discrimination?’
***
Entah mengapa, kehidupan komunitas Gypsy ini mengingatkan saya akan sebuah negeri nun jauh di sana, ribuan kilometer dari benua yang telah melahirkan konsep baru dalam dunia modern yang dikenal dengan sebutan ‘kemerdekaan’, ‘kebebasan’, ‘liberty.’ Kadang terkesan utopis, namun bagi bangsa Papua, menjadi ‘rakyat Papua’ berarti menjadi merdeka. Merdeka untuk menikmati hasil bumi yang melimpah, merdeka menentukan nasib sendiri.
Namun sialnya, isu separatisme justru seringkali didengungkan bagi mereka yang bersuara untuk mencari keadilan. Alih-alih mendapatkan haknya sebagai bagian dari NKRI, yang terjadi malah sebaliknya. Perlakuan represif militer terhadap rakyat Papua bertubi-tubi datang tanpa henti. Ruang-ruang kebebasan ditutup. Diskriminasi tak ubahnya seperti komando yang digerakkan langsung dari ibukota, dari para pemegang kebijakan.
Sulit membayangkan penderitaan warga Papua diabadikan dengan pendirian monumen. Namun memori rakyat Papua nampaknya memang disiapkan untuk menyimpan rentetan kisah sedih yang diciptakan oleh negara Indonesia.Tanggal 6 Juli 1998 seakan menjadi saksi atas keberlangsungan peristiwa pahit yang terjadi terus-menerus di bumi Papua. Ketika itu di beberapa titik kota Papua terjadi pembredelan secara kejam oleh TNI. Puluhan orang ditembak, ditahan, diculik dan disiksa. Alasannya, mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora, setinggi 35 meter. Apa betul pengibaran bendera ini menandai separatisme? Bagaimana jika pengibaran bendera ini hanya simbol protes? Pun jika masalahnya adalah separatisme, harusnya kita bertanya: apa yang telah dilakukan Indonesia di Papua sehingga Bintang Kejora berkibar?
Penjajahan di tanah Papua sama tidak adilnya dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang sudah mempunyai sistem sosial dan kultur yang telah berjalan ratusan tahun dipaksa untuk mengadopsi budaya dan sistem masyarakat yang baru. Pemaksaan terhadap rakyat Papua untuk menjadi Indonesia itulah yang saya sebut sebagai penjajahan budaya.
Martabat orang Papua tidak akan pulih hanya dengan diperbolehkannya kembali jurnalis asing meliput Papua. Bukan juga dengan sekadar membebaskan segelintir tahanan politik. Selama eksploitasi dan diskriminasi masih berlangsung di sana, praktis kita akan tetap menyandang status penjajah.
Ah, andai saja tanah Papua tidak kaya, tentu saja ia tidak akan diperebutkan negara-negara rakus.
Beda bangsa beda nasib, sama-sama tercatat sebagai bagian dari wilayah NKRI, namun faktanya, Papua seperti warganegara kelas dua. Beda bangsa beda nasib, kata ini pun saya pilih untuk menggambarkan peliknya ketidakadilan dan diskriminasi di bumi Papua. Dan bangsa Papua memang sedang dijajah oleh negerinya sendiri, Indonesia, yang enam puluh tahun lalu turut mensponsori Konferensi Asia-Afrika.***