Tanggapan untuk Arjuna Putra Aldino dan Arif Novianto
PERMASALAH serius dalam gerakan pelajar di Indonesia adalah kurangnya studi radikal yang dapat digunakan untuk dijadikan alat membaca kekurangan, kegagalan dan berbagai kemunduran yang telah dan terus menimpa. Dua artikel terakhir yang membahas gerakan pelajar di Indonesia, masing-masing oleh Aldino[1] dan Novianto,[2] dalam pandangan saya di banyak aspek masih terjebak dalam problem-problem mendasar yang kemudian akan berupaya dijabarkan dalam tulisan ini. Tanggapan ini sendiri mengusung dua tujuan utama. Pertama, kembali mengundang lebih banyak orang untuk terlibat kembali mendiskusikan secara serius masalah-masalah mendasar dalam gerakan pelajar di Indonesia. Tujuan kedua dari tulisan ini adalah untuk membantah sekaligus menegasikan poin-poin berkarakter reformis yang dibahas dalam dua tulisan terdahulu.
Penting juga untuk menjelaskan sejak awal bahwa tulisan ini memilih untuk tidak memasuki ranah kritik terhadap periode gerakan pelajar sebelum tumbangnya Suharto. Pertimbangan utama adalah kesadaran bahwa untuk mengemban tugas tersebut, mesti ada energi yang secara khusus didedikasikan. Sekaligus berupaya menghindari generalisasi-generalisasi yang sering terjadi, dimana kritik terhadap gerakan pelajar dalam sebuah rentang periode kemudian terjebak pada penghakiman spekulatif yang menilai sukses-gagalnya sebuah rentang perlawanan dalam kacamata yang tidak ‘objektif’. Yaitu kebiasaan untuk menghakimi gerakan pelajar di masa paska Sukarno dan di bawah rezim Suharto dengan pembacaan prematur yang basis-basis argumentasinya disusun dari kenyataan-kenyataan material hari ini, yang tentu saja memiliki banyak ketidaksesuaian dan kelemahan. Secara sadar menghindari hal tersebut agar tulisan ini bisa memfokuskan dirinya pada tujuan-tujuan yang telah dijelaskan di atas dan menyadari bahwa ada tugas berbeda yang menanti untuk dikerjakan di kesempatan berikutnya.
Memori dan Romantika Gerakan Pelajar
Di Indonesia, paska tumbangnya Suharto, gerakan pelajar menemukan panggung politik yang gemerlap. Kepunyaan yang dianggap hilang semasa depolitisasi serikat-serikat pelajar selama hampir dua puluh tahun. Gerakan pelajar yang tumbuh setelah periode tersebut, menemukan dirinya berada di tengah sorotan delusif yang berakar pada keterputusan rantai sejarah. Dilema yang timbul akibat lemahnya kerja-kerja kognitif untuk kemudian melakukan penyelidikan historis serta keterjebakan pada aspek moralis, membuat gerakan pelajar kemudian mengambil jalan pintas untuk membentuk karakter yang dianggap baru.
Karakter tersebut disusun di atas argumen-argumen moralistik yang berakar dari ketidakmengertian gerakan pelajar itu sendiri. Ketidakpahaman itu disebabkan oleh dua faktor utama; menguatnya memori sebagai dokumen sejarah dan romantika sebagai karakter kelas gerakan pelajar.
Memori yang dimaksud di sini adalah, aksi-aksi pembiaran – yang tentunya dilakukan secara sengaja, dilakukan oleh setiap orang di dalam gerakan pelajar untuk membiarkan ingatan mengambil peran sebagai basis analisa. Warisan-warisan yang didasarkan pada memori ini kemudian direpetisi dan, dalam beberapa kasus, mencapai titik absolut sehingga menutup ruang diskusi lebih lanjut. Peran utama memori menunjukkan bentuknya semisal dalam lemahnya kesadaran untuk melakukan dokumentasi terhadap berbagai arsip kesejarahan gerakan pelajar itu sendiri.
Kita dapat dengan mudah menemukan bahwa, hingga hari ini, serikat-serikat pelajar di Indonesia tidak memiliki catatan internal organisasi yang dapat dijadikan bahan studi. Segala bentuk perdebatan, kesepakatan dan kritik-otokritik dalam berbagai kelompok pelajar hanya tampil dalam bentuk oral yang cenderung bias. Kelemahan pengarsipan tersebut akhirnya mengurung gerakan pelajar dalam pengulangan-pengulangan yang mengarah kepada dogmatisme dan tentu akhirnya patronisme terhadap tokoh-tokoh tertentu yang dianggap memegang kunci terhadap sebuah peristiwa di masa lalu.
Kebiasaan tersebut bersahutan dengan lemahnya inisiatif untuk mempertanyakan, mendebat dan meragukan tesis-tesis yang diwariskan dari gerakan pelajar di periode sebelumnya. Pernyataan-pernyataan dengan tendensi absolutisme tersebut, tampak, misalnya, pada penghakiman sepihak mengenai kebijakan NKK-BKK yang ditawarkan oleh Daoed Joesoef, tanpa melakukan studi secara ilmiah terlebih dahulu terhadap perangkat kebijakan yang dimaksud. Kesimpulan tersebut langsung diterima sebagai kebenaran final hanya karena semata-mata dibenarkan oleh generasi aktivis pelajar di periode sebelumnya. Argumentasi tentang NKK-BKK diwariskan seperti catatan dalam surat wasiat yang tidak dapat diganggu gugat dan hanya bisa dibenarkan.
Pengulangan-pengulangan moralis yang memandang gerakan pelajar sebagai suara rakyat, agen perubahan, kelas menengah dan lain sejenisnya, merupakan buah dari kerja-kerja politik yang didasarkan pada memori ketimbang fakta sejarah. Jika salah satu aspek dari kritik terhadap kapitalisme – termasuk evolusinya di periode paska Fordisme – adalah pembacaan sejarah, maka tentu akan membingungkan bagaimana bisa melakukan analisis politik yang dibasiskan pada memori. Dengan demikian, hal tersebut akan secara tidak langsung menutup pintu terhadap pembacaan oleh gerakan pelajar terhadap kapitalisme sebagai ‘historical mode of production.’[3]
Itu mengapa pilihan taktik gerakan pelajar sangat terbatas, kaku, repetitif dan mudah diprediksi. Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukanpun pada akhirnya gagal melampaui batasan-batasan fisikal dan kognitif yang diciptakan oleh kapitalisme yang telah merampas masa depan dari para pelajar itu sendiri.[4] Dijadikannya memori sebagai tulang punggung analisa ideologi, politik dan organisasi di kalangan serikat pelajar, membuat artikulasi dari frustasi-frustasi yang timbul akibat represi yang dihadapi masing-masing pelajar sebagai individu atau kelompok di dalam kelas, dalam hubungannya dengan birokrasi kampus, dalam relasi pergaulannya dengan sesama pelajar yang lain, atau bahkan dengan gerakan di luar kampus, terjerembab dalam pembenaran-pembenaran reformistik yang disebut sebagai ‘methodical myopia’. Sebuah terma yang dipinjam Musthapa Khayati dari Fourier untuk menjelaskan suatu perilaku metodik yang memperlakukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tanpa melihat relasinya dengan keadaan pada saat ini dalam masyarakat secara keseluruhan. Suatu kecenderungan pemujaan terhadap fakta-fakta yang justru menopengi kategori paling mendasar dan kategori-kategori yang esensial sehingga seseorang tak dapat lagi melihat totalitas atas seluruh detail yang ada.[5]
Mengemukanya perilaku tersebut mendapat pembenarannya dengan wabah romantik di tengah gerakan pelajar yang melandaskan analisisnya pada kemenangan-kemenangan yang berkarakter reformis dan enggan melihat kegagalan-kegagalan yang pernah dialami.
Semisal yang tampak dalam dua paragraf akhir tulisan Aldino, yang kembali jatuh pada slogan-slogan moralistik terkait posisi politik gerakan pelajar. Sedangkan sejak awal tulisannya, Aldino gagal menyodorkan perangkat kritik terhadap internal gerakan pelajar. Namun justru berputar-putar pada kecenderungan yang melihat bahwa seluruh degradasi disebabkan oleh hantaman kekuatan yang lebih besar (oligarki) dari luar gerakan pelajar itu sendiri. Disorientasi gerakan pelajar, bagi Aldino, terjadi sekadar karena kegagalan propaganda, tanpa melihat bahwa akar problem tersebut sebenarnya terletak pada karakter organisasi itu sendiri.[6]
Sementara Novianto, memulai tulisannya dengan pembabakan periode gerakan pelajar yang sangat umum. Pembabakan tersebut kemudian ditempeli dengan tesis-tesis spekulatif mengenai karakter tiap periode. Dengan gegabah, misalnya, menyerang taktik politik ‘golongan putih (golput)’ yang diambil oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya, sebagai gerakan moral. Juga bagaimana ia kemudian merumuskan tesis mengenai Partai Rakyat Demokratik (PRD) tanpa melandaskannya pada penyelidikan yang ilmiah. Secara prematur Novianto dengan tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu sembari menegasikan kondisi sosial politik yang membentuk dan ikut menentukan strategi gerakan pelajar di sebuah rentang waktu.[7]
Bermain-main dengan potongan-potongan sejarah, Novianto dengan asal mencomot bagian-bagian yang dianggapnya penting untuk mendukung spekulasinya. Sebagaimana Aldino yang menyimpulkan adanya ‘krisis multi dimensi yang berujung pada krisis pengorganisasian dan krisis logistik’. Kedua penulis tersebut secara mengejutkan, sampai kepada kesimpulan bahwa ada ‘berbagai problem’ dalam gerakan pelajar di Indonesia namun tanpa menyediakan jejak-jejak yang dapat ditelusuri secara ilmiah mengenai asal-usulnya.
Hal tersebut tidaklah mengejutkan karena baik Aldino maupun Novianto – juga saya sendiri, merupakan bagian dari gerakan pelajar di mana materialisme menemukan bentuknya dalam romantika, sementara memori menjadi subtitusi bagi peranan pengetahuan sejarah. Inilah histomat (historical materialism) baru, yang mengingkari sekaligus kenyataan sosial secara umum dan secara spesifik. Penemuan spektakuler yang kemudian menjadi landasan baru filosofis gerakan pelajar di Indonesia.
Histomat kontemporer yang dimaksud di atas, membuat gerakan pelajar pada akhirnya terjebak pada kritik yang tidak utuh terhadap negara dan kapitalisme. Histomat yang bukan hanya tidak dialektis, namun juga idealis karena mengabaikan realitas ekonomi politik. Yang akhirnya membentuk cara pandang gerakan pelajar di Indonesia hari ini, yang melihat negara hanya sekadar ekspresi perjuangan kelas dan manifestasi kepentingan kelas dominan di dalamnya.[8] Yang diagnosanya tentang negara gagal melihat peran bagaimana pengorganisasian teritorial, seperti yang berlaku dalam negara-berdaulat Westphalian yang merupakan upaya perpanjangan dari pengorganisasian kapital itu sendiri, dengan logika internalnya yang relatif otonom.[9]
Itu mengapa artikulasi keduanya (baik Aldino maupun Novianto), alih-alih menyodorkan anti-tesis terkait kondisi gerakan pelajar di Indonesia hari ini, justru bagi saya tampak seperti curhatan remaja yang ditolak cintanya. Sebagai tandingannya, tulisan ini kemudian akan menyodorkan proposal untuk mendiskusikan secara ilmiah problem gerakan pelajar di Indonesia.
Otonomi Kognitif Sebagai Langkah Awal
Dalam kapitalisme paska Fordisme, universitas tak lain adalah pabrik, tenaga administrasi dan para pengajar berperan sebagai buruh, dan pelajar adalah produk yang dihasilkan dari mata rantai produksi tersebut. Itu mengapa pembahasan sekaligus kritik yang dialamatkan terhadap gerakan pelajar, semestinya tidak menafikan keberadaan universitas dan tenaga pengajar. Keduanya merupakan agen yang memiliki hubungan saling memengaruhi untuk digunakan dalam upaya melacak problem-problem yang muncul dalam ranah gerakan pelajar di dalam institusi pendidikan. Hal ini yang absen – dan tampak sengaja diacuhkan, oleh Aldino dan Novianto dalam pembahasan mereka.
Kebijakan kampus yang berpihak pada komersialisme sebagai narasi utama, diaplikasikan melalui kehidupan akademik yang hirarkis dan eksploitatif, termasuk di dalamnya ketidakberdayaan pelajar dalam menghadapi represif kognitif saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Produk-produk kebijakan institusi pendidikan sebagai alat represif, mendapat sokongan aktif melalui agen-agen ideologis yang bertugas mempasifikasi pelajar.[10] Itu mengapa aturan tentang pemecatan pelajar (DO) di perguruan tinggi, beban studi yang menumpuk serta jangka waktu belajar yang dibatasi, bersahutan dengan kurikulum yang feodal, pedagogi yang lumpuh serta rendahnya kualitas tenaga pengajar di institusi pendidikan. Masalah-masalah tersebut tidak muncul sebagai akibat yang berdiri sendiri, namun merupakan hasil langsung yang terhubung dengan perluasan dan percepatan transformasi perguruan tinggi sebagai pabrik penghasil tenaga kerja yang siap dilempar ke pasar.
Gerakan pelajar mesti memahami dengan benar dan serius bahwa medan pertarungan dirinya yang sejati tidaklah terletak di luar institusi pendidikan, tetapi di dalam kampus. Meninggalkan kampus tidak lain merupakan bentuk impotensi dan cacat filosofis yang hari ini marak di tengah gerakan pelajar. Ironisnya hal tersebut sering dilabeli dengan heroik untuk menutupi logika jungkir balik di tengah serikat-serikat pelajar saat memandang dirinya. Berubahnya kampus menjadi tukang stempel bagi praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam dan manusia,[11] adalah bukti kegagalan advokasi gerakan pelajar.
Solidaritas lintas sektor, seberapa pentingnya sekalipun, tidak dapat dijadikan pembenaran untuk meninggalkan arena pertarungan gerakan pelajar. Perang antagonistik pelajar adalah dengan alat-alat represif dan ideologis di dalam kampus. Mengacuhkannya berarti mengulang kembali heroisme fatalis serupa ‘bunuh diri kelas’.
Pilihan logis yang harus dihadapi kemudian, adalah bukan hanya memfokuskan diri pada pengorganisiran antar sesama pelajar, tapi juga dengan mengorganisir para pekerja di dalam institusi pendidikan, sekaligus secara bersamaan merumuskan caranya untuk menginterupsi logika universitas sebagai pabrik. Hal yang tidak mungkin dikerjakan jika gerakan pelajar masih tampak alergi dengan kerja-kerja imaterial (immaterial labour) yang jauh dari glamor orasi, bakar ban, perebutan jabatan BEM, sabotase jalan, penggrudukan simbol-simbol pemerintahan atau bahkan perang jalanan.
Kerja imaterial yang dimaksudkan di sini tidak boleh diartikan secara naif dengan menekankan perbedaannya dengan kerja material hanya pada aspek penampakannya semata. Sebaliknya, kerja imaterial memfokuskan dirinya pada kualitas produk yang dihasilkannya, yaitu berbentuk relasi sosial. Ia berbeda secara konseptual dengan kerja material yang memproduksi nilai (nilai lebih, abstrak, konkrit).[12]
Gerakan pelajar harus mengambil peran aktif untuk mentransformasikan kampus menjadi ruang otonom kognitif yang didedikasikan pada pembebasan setiap individu yang ada di dalamnya. Bahkan ia mesti menjadi skala prioritas agar gerakan pelajar tidak terus menerus mereproduksi para imbisil yang menyandarkan ideologi dan politiknya pada aspek-aspek moralis. Hal ini juga berarti mereka yang mengarahkan kritiknya kepada gerakan pelajar, mesti melihat peta ini secara holistik dan tidak segmentatif. Dengan demikian, gerakan pelajar dapat membawa diri dan serikat-serikatnya untuk tiba pada pemahaman bahwa kapitalisme kognitif adalah musuh.
Otonomi kognitif mensyaratkan penguasaan pengetahuan pelajar bahwa status mereka sebagai siswa bukanlah kelas, sehingga kontradiksi paling brutal justru terjadi tidak di dalam ruang-ruang kelas, tetapi di luar gedung-gedung universitas. Penguasaan pengetahuan pada akhirnya meminta pelajar untuk kemudian harus secara ilmiah menjabarkan problem-problem yang sedang dihadapinya semasa menyandang status sebagai siswa, dan kemudian menjauhkan dirinya dari tradisi spekulatif serta watak tergesa-gesa untuk menyimpulkan sesuatu secara prematur.[13] Meski demikian, walau menjadi pelajar adalah bentuk inisiasi yang dilakukan oleh negara dan kapitalisme agar seseorang siap menjadi pekerja yang patuh, interupsi justru mesti dilakukan dan berawal dari ruang-ruang di mana, pelajar adalah bagian integral di dalamnya.
Sun Tsu, pernah mengingatkan bahwa mengetahui diri sendiri (kelemahan dan kekuatan) adalah satu langkah menuju kemenangan. Mengacuhkan hal tersebut hanya akan menjadikan gerakan pelajar tidak lebih dari gerombolan pemarah tanpa alasan yang bukan hanya tidak revolusioner tapi juga moron.***
Penulis adalah peneliti lepas dan mahasiswa pasca-sarjana di Mahasarakham University, Thailand dan Editor IndoPROGRESS.
—————-
[1] Arjuna Putra Aldino, “Gerakan Mahasiswa: Antara Problema dan Harapan?” Harian IndoPROGRESS, 21 Januari 2015, diakses 30 Maret 2015. https://indoprogress.com/2015/01/gerakan-mahasiswa-antara-problema-dan-harapan/
[2] Arif Novianto, “Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi” Harian IndoPROGRESS, 25 Maret 2015, diakses 30 Maret 2015. https://indoprogress.com/2015/03/kemana-arah-gerakan-mahasiswa-sekarang-dari-refleksi-menuju-aksi/
[3] Paul Blackledge, Reflections on the Marxist Theory of History. (Manchester: Manchester University Press, 2006)
[4] Sebagai perbandingan, silahkan baca ulasan grup Ultra berjudul Black vs Yellow: Class Antagonism and Hong Kong’s Umbrella Movement (http://www.ultra-com.org/project/black-versus-yellow/) yang di dalamnya mencantumkan beberapa kritik terhadap bentuk-bentuk pilihan yang diambil oleh gerakan pelajar.
[5] Musthapa Khayati, “Tentang Kemiskinan Hidup Mahasiswa: Bab I”, Pustaka Situasionis Internasional, 2 Oktober 2013, diakses 30 Maret 2015 http://situasionis-internasional.blogspot.com/2013/10/obsessed.html
[6] Perhatikan dari paragraph ke 8 s/d 12 (Aldino, 2015).
[7] Silahkan lihat paragraf ke 5, 7, 8, 9, bagian 2: Sejarah Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa, (Novianto, 2015). Tampak sekali bahwa Novianto secara sengaja mengacuhkan metode ilmiah dan memilih untuk meyakini spekulasinya ketimbang melakukan perbandingan dengan semisal melihat tulisan-tulisan dari M. Rolip Saptamaji mengenai PRD. Misal, “Perjuangan Politik dari Luar Lingkaran Kekuasaan: Struktur Mobilisasi Partai Rakyat Demokratik pada Pemilu 1999”, atau artikel “Struktur Peluang Politik Partai Populis”.
[8] Lihat argumentasi Aldino (2015) tentang oligarki dan bagian “Apa Yang Harus Dilakukan” yang dirumuskan dalam tiga paragraf oleh Novianto (2015).
[9] Hizkia Yosie Polimpung, Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara (Depok: Penerbit Kepik, 2014)
[10] Membaca kembali tesis Gramsci tentang hegemoni, akan sangat membantu untuk memahami kondisi di atas.
[11] Zely Ariane, “Agar Tak Jadi Stempel dan Tukang Stempel Korporasi”, Editorial IndoPROGRESS, 30 Maret 2015, diakses 30 Maret 2015 https://indoprogress.com/2015/03/agar-tak-jadi-stempel-dan-tukang-stempel-korporasi/
[12] Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labour”, terj. Paul Collili dan Ed Emory, hal. 132-146, dalam Radical Thought in Italy, (eds). Paolo Virno dan Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota, 1996)
[13] Hal serupa misalnya dilakukan oleh Musa Maliki melalui artikelnya yang berjudul “Tentang Negara dan Kritik Prematur Atas Manufakturasi Pendidikan” (https://indoprogress.com/2015/02/tentang-negara-dan-kritik-prematur-atas-manufakturisasi-pendidikan/) ketika menanggapi Regit Ageng Sulistyo yang menulis “Kemerosotan Intelektual Mahasiswa, Praktek Pendisiplinan Manusia dan Produksi Pengetahuan Secara Otonom” (https://indoprogress.com/2015/01/kemerosotan-intelektual-mahasiswa-praktek-pendisiplinan-manusia-dan-produksi-pengetahuan-secara-otonom/). Artikel Maliki kemudian mendapatkan jawaban dari saya melalui tulisan “Negara, Kapitalisme Kognitif dan Tendensi Apologetik Fatalis tentang Pendidikan”, terbit 4 Februari 2015, https://indoprogress.com/2015/02/negara-kapitalisme-kognitif-dan-tendensi-apologetik-fatalis-soal-pendidikan/