PADA suatu petang, Nashruddin Khoja terlihat di bawah lampu perempatan jalan sedang mencari-cari sesuatu. Kawannya datang dan bertanya: ‘sedang apa kau Nash?’ Nashruddin bilang kalau dia sedang mencari batu akiknya yang jatuh dan hilang. Kawannya itu menolong mencarikan. Bukankah sesama kawan kita mesti tolong-menolong, katanya. Setiap sudut ditelisik, tumpukan daun dikuak, namun tak jua batu itu ditemukan. Merasa sudah cukup lama mencari tanpa hasil, si kawan bertanya di manakah sebetulnya batu itu sebelumnya jatuh. Nashruddin enteng menjawab bahwa batu itu tadi jatuh saat dia di kamar tidurnya. Hah?! Kalau jatuh di kamarmu, kenapa kau cari batu ini di sini?! Dengan enteng Nashruddin bilang: ‘karena di sini lebih terang’.
Tanpa banyak disadari, itulah yang banyak dilakukan kebanyakan orang di Indonesia ketika mencari tahu ihwal Marxisme. Setelah sekian lama dilenyapkan dari dunia persilatan politik, Marxisme juga hilang dari dunia akademik. Saat ini, ketika kita hendak mencarinya kembali, tak jarang kita mencari di tempat yang keliru. Tempat itu dituju karena di situ dianggap sudah ada jawaban final seperti yang selama ini dikhotbahkan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, seperti yang disinyalir Martin dalam tulisan terakhirnya di kolom Logika, kebanyakan dari kita memahami Marxisme tak lebih dengan kaca mata prasangka, entah itu prasangka konservatif maupun revolusioner. Seperti kebanyakan tugas kuliah, alangkah mudah dan cepatnya pencarian pengetahuan atas Marxisme itu dikerjakan dengan jalan kopipaste. Tentu saja hormat pada orangtua adalah norma yang bagus, tapi apabila itu lantas menjauhkan kita dari terang kebenaran, maka selamanya kita akan mencari-cari di tempat yang salah dan terjebak dalam prasangka yang membutakan.
Salah satu tempat mencari tahu yang keliru itu ialah gudang tua desas-desus yang sudah kadung dianggap kebenaran oleh orang-orang tua kita bahwa Marxisme itu faham jahat yang mengajarkan ateisme, anti-agama, dan menerima dengan gembira ria semua bentuk kemudharatan paling keji yang mungkin ada di dunia ini. Akar kemudharatan dan serba kekejian yang ditelurkan Marxisme tak lain dan tak bukan karena fondasi filsafatinya itu materialisme. Dan apakah materialisme itu? Yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia dan dunianya tak lebih dari materi, bahwa tak ada tetek-bengek yang namanya jiwa, roh, dan dunia lain yang tak kasat mata; bahwa tak ada itu yang namanya Tuhan, dewa, malaikat dan entitas-entitas ruhaniah lain yang selama ini dipercaya para penikmat musik jazz yang anggun itu. Pokoknya, Marxisme itu sejenis ajaran Setan Laknatulloh (SL) yang keberadaan bayangannya di dekat pundak kita saja niscaya merusak moral. Benarkah demikian?
Memang betul Marxisme berfondasikan materialisme. Dua batu penjurunya saja materialisme dialektis dan materialisme historis yang sama-sama menyandang istilah ‘materialisme’. Persoalannya, betulkah sebagai materialisme, Marxisme itu mengajarkan bahwa manusia tak lebih dari gumpalan materi tak berjiwa tanpa ruhani, dan dunia tempatnya hidup ini tak lebih dari materi dan geraknya tanpa diikuti oleh keberadaan dunia lain; bahwa dunia yang riil itu tak lebih dari apa saja yang tercerap indra kita; bahwa tak ada apa-apa di balik yang kasat mata?
Apabila yang dimaksud materialismenya Marxis itu seperti ini, jelas Marxisme bukan materialisme. Pengertian materialisme ini hanya cocok untuk faham kaum materialis abad kedelapan belas yang justru dikritik Marx dan Engels sebagai metafisika. Kalau kita baca saja beberapa tulisan mereka secara seksama, apa yang membikin Marx dan Engels susah tidur bukanlah soal apakah dunia ini terbuat dari materi, roh, atau nasi kucing. Marx dan Engels tak hirau pada soal-soal metafisika macam begini. Buat keduanya, tak ada faedahnya sama sekali ribut-ribut soal apa hakikat semesta, jiwa, dan ruh, atau soal siapakah yang menciptakan semua itu, atau apakah ada tujuan dari keberadaan semesta ada itu. Sebagai mahluk biologis, ujung umur kita tak seberapa panjang. Untuk apa buang-buang waktu dan tenaga yang tak banyak guna mengulik soal-soal yang mustahil diketahui secara pasti itu? Persoalan yang merisaukan mereka hanyalah kenyataan bahwa sejarah manusia itu berubah, bahwa struktur kemasyarakatan tidaklah sama sejak asali, bahwa sistem perekonomian kapitalistik beserta borjuasi sebagai kelas kuncinya begitu produktif menghasilkan kekayaan dunia, bahwa kolonialisme-imperialisme berjaya menghisap kekayaan bangsa-bangsa di delapan penjuru mata angin ke kantung-kantung kapitalis di Eropa-Amerika, bahwa krisis ekonomi terjadi, bahwa teknologi produksi tampaknya berkembang senantiasa mengikuti pergulatan kelas kapitalis dan pekerja, dan bahwa-bahwa lain yang nyata-nyata berlaku dan tercatat dalam sejarah kehidupan masyarakat manusia tanpa merumuskan spekulasi yang tak perlu.
Jadi, boleh dibilang memang Marxisme itu sejenis materialisme. Akan tetapi, materialismenya itu materialisme yang historis; materialisme yang coba memahami akar-akar kesejarahan dari rupa dan dinamika masyarakat manusia, utamanya kapitalisme sebagai bentuk termutakhir masyarakat manusia, dengan menengok pada bagaimana syarat-syarat material keberadaan masyarakat ini diproduksi. Melampaui pengertian ini, kelirulah kita memahami apa yang materialis di dalam Marxisme.
Apabila yang dimaksud bahwa Marxisme itu materialis karena dalam upayanya memahami rupa dan dinamika kesejarahan masyarakat manusia para Marxis menyingkirkan entitas-entitas ruhaniah semacam Tuhan, dewa, iblis, dan malaikat atau proses-proses supranatural seperti kutukan, azab, dan suratan takdir sebagai variabel penjelas atas gejala-gejala sosial-historis, maka bukankah semua ilmu yang kita pelajari di sekolah-sekolah juga demikian? Saya belum pernah membaca ada ahli astronomi menulis artikel dengan judul “Peran Intensitas Kepak Sayap Malaikat terhadap Bentuk Lintasan Planet Jupiter” atau seorang geolog meneliti “Pengaruh Jarak Tatapan Mata Dewa Siwa terhadap Pergerakan Lempeng Asiatik” atau ahli sejarah ekonomi yang melaporkan hasil penelitian berjudul “Dampak Kelahiran Bodhisatwa Welas Asih terhadap Fluktuasi Nilai Perdagangan India-Tibet Abad Ke-15”. Seberapa pun salehnya ilmuwan itu, tak mungkin mereka memasukkan Iblis sebagai variabel penjelas proses urbanisasi di Jawa pada awal abad ke-20 atau defisit anggaran Jepang sejak 1990an atau krisis finansial global tahun 2008. Boleh saja si ilmuwan itu rajin solat Dhuha, tapi muskil bila disertasi doktornya di program studi ekonomi pembangunan berjudul “Pengaruh Kekerapan Kunjungan Malaikat terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga di Kabel Atas Jakarta”. Sedalam apapun keyakinannya kepada Islam, mustahil seorang peneliti kriminologi menerbitkan artikel jurnalnya tentang “Pengaruh Kerapatan Populasi Jin Kafir terhadap Tingkat Kejahatan Seksual di Kelurahan Utan Kayu, Jakarta”.
Jadi, kalau Marxis tidak memasukkan keberadaan dan perbuatan entitas atau proses-proses supranatural sebagai faktor ke dalam upayanya menjelaskan watak dan kecenderungan gerak sistem kapitalisme atau tendensi kejatuhan tingkat laba rata-rata dan krisis kapital, itu bukan karena mereka materialis degil dan ateis buta mata hati, tapi karena Marxisme sendiri adalah ilmu, bukan klenik. Dari sini saja boleh dikatakan bahwa tak ada pertentangan sama sekali antara menjadi Marxis sekaligus menjadi orang saleh beragama yang giat tahajud di bulan Rajab atau wirid rosario di bulan Maria. Tentu saja semua itu dengan persyaratan bahwa kita tidak memahami Marxisme sebagai buntelan dogma dan memperlakukan Marx dan Engels layaknya inkarnasi Wisnu sang kebenaran paripurna dan menempatkan diri kita tak lebih sebagai pentaklid buta fatwa rasul-rasulnya. Seperti berulang kali ditegaskan Martin dan marxis-marxis terpelajar lainnya, Marxisme itu pertama-tama adalah ilmu yang bertulangpunggungkan metode materialis dialektis. Tentu saja benar bahwa ilmu Marxisme itu tak lain dan tak bukan dari fondasi gerakan politik perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Tapi tetap saja pada intinya ia adalah ilmu.
Tapi, bukankah Marx, misalnya, pernah menyatakan juga bahwa agama itu candu? Tidakkah pernyataan ini jelas-jelas menyudutkan agama? Bukankah menyamakan agama dengan sesuatu yang haram dihisap sama saja dengan menistakan agama? Memang, apabila kita cuma membaca potongan pernyataan legendaris ini tanpa membaca konteks asbabul nuzul-nya, sepintas tampaknya seolah-olah Marx sedang nyinyir pada agama. Dan kenyinyiran itu pastilah berangkat dari materialisme yang dianut Marx. Tapi pemahaman ini keliru. Konteks asbabul nuzul pernyataan ini ialah analisisnya ihwal kekuatan-kekuatan sosial apa yang memungkinkan penindasan dan penghisapan langgeng. Dengan kata lain, di sini (dan dibanyak tulisan lainnya) Marx sedang menempatkan agama sebagai salah satu lembaga sosial, suatu gejala yang riil adanya dan beroperasi tidak hanya di tingkatan nilai dan norma, tetapi juga dalam relasi dan interaksi antar orang di dalam masyarakat. Dan apabila di sini tempatnya agama, dan apabila kita tengok sejarah peradaban masyarakat berkelas klasik dari Babilonia, Mesir, hingga negara-kota Yunani kuno atau masyarakat feodal Eropa, maka tanpa menjadi Marxis pun, tanpa perlu berkoar hingga urat leher kita menegang oleh seruan jargon-jargon Marxisme pun, kita bisa ketahui dari sejarah dengan terang benderang betapa agama dengan seperangkat dogma, tafsir, dan norma-norma hasil tafsiran orang atasnya seringkali dimanfaatkan oleh kelas-kelas penghisap sebagai pelena atas derita yang mereka timbulkan terhadap rakyat banyak.
Pada satu sisi, gagasan-gagasan dan lembaga keagamaan digunakan sebagai pembenar tindakan para penguasa untuk memungut upeti, merampas anak gadisnya bapak-ibu tani, dan mengerahkan tenaga kerja rakyat jelata membikin jalan, mengolah lahan raja, dan sebagainya. Pada sisi lain, gagasan keagamaan lainnya juga dimanfaatkan untuk memperlihatkan ke benak rakyat banyak betapa wajarnya kondisi yang ada saat ini dan menyabarkan deru kalbu orang-orang tertindas yang marah supaya tidak bertindak melawan para penindasnya. Dikisahkanlah pada masa feodal Eropa, misalnya, bahwa raja dan kaum bangsawan militer berhak mengambil surplus produksi rakyat tani, meniduri anak gadis kaum tani sebelum malam pertamanya, atau merampas babi demi pesta pora perkawinan putra mahkota, karena kedaulatan yang perkasa ini mereka dapatkan dari Yang Ilahi. Melawan mereka sama artinya melawan Yang Ilahi. Dan melawan Yang Ilahi konsekuensinya hukuman yang jauh lebih brutal dan mendidih di akhirat kelak. Ditimbang-diukur, lebih baik sabar atas kesengsaraan dunia yang disebabkan penindasan para penguasa ketimbang melawannya dan menanggung kesengsaraan akhirat yang abadi. Lagi pula para pendeta selalu mengkhotbahkan bahwa kesabaran menanggung kesengsaraan duniawi itu akan membuahkan kenikmatan di dunia lain yang abadi kelak di dunia berikutnya.
Bolehlah dikatakan bahwa pernyataan ‘agama itu candu’ tak kurang dan tak lebih dari kesimpulan dari amatan atas gejala yang terjadi di dunia nyata sebagaimana dicatat sejarah. Dan apabila kita membaca tulisan-tulisan Marx dan Engels soal agama, bisa juga kita temukan bahwa bagi keduanya agama dan orang-orang salehnya juga punya daya perkasa dalam menggerakkan perlawanan atas penindasan. Dalam tulisannya soal Asal-Usul Kristianitas, Engels, misalnya, mengulas gerakan al-Mahdi di Afrika semasa Kekhalifahan Fathimiyyah. Di situ Engels melihat bahwa ada begitu besar potensi ajaran agama sebagai kekuatan yang tak hanya kritis tapi juga mampu menggugah perlawanan terhadap penindasan. Begitu pula dalam kajiannya atas Perang Tani di Jerman abad ke-16, yang ujung kesimpulan menegaskan arti penting nilai, norma, dan semangat keagamaan sebagai sumber imajinasi akan benarnya tindakan melawan penguasa yang dzalim dan ketidakadilan sosial dalam konteks ketika agama menjadi satu-satunya sumber wacana kebenaran.
Jadi, tak betul bahwa Marx dan Engels anti-agama pada dirinya sendiri. Yang mereka anti adalah ketika agama dijadikan tameng pembenar atas kondisi ketidakadilan dan pewajar atas struktur sosial yang berlandaskan penghisapan manusia atas manusia lainnya. Lagi pula, sebagai ilmu, alasan Marxisme menolak memasukkan faktor-faktor dari ‘dunia lain’ dalam menjelaskan rupa dan dinamika masyarakat serta dalam upaya menemukan syarat-syarat empiris-historis dalam upaya kita mengubahnya, bukanlah karena mereka sedari lauhul mahfudz sudah ateis, tapi karena dalam berilmu kita mustahil mengukur pengaruh determinan dari kepadatan populasi jin kafir atau kepak sayap malaikat terhadap dinamika masyarakat yang sedang diselidiki di ‘dunia nyata’ ini.***
Yogyakarta-Jatinangor, 18-19 April 2015