Pengantar
HARI ini, setahun yang lalu, Muridan Widjojo wafat. Beliau adalah orang yang membuat saya memandang Papua dengan lebih tenang dan takzim. Tulisan ini buat beliau, setahun yang lalu. Saya ingin menerbitkannya kembali untuk mengenang kerja perjuangannya, mengenalkan namanya pada para pembaca, sekaligus mengingat hal-hal yang belum berhasil kita perjuangkan untuk keadilan di Papua.
Setelah kepergiannya, belum banyak yang berubah di Papua, tetapi geliat-geliat harapan tampak tumbuh. Kabar baik dari kawasan Melanesia seakan menjadi penebus ketiadaan perubahan pendekatan dari pemerintahan baru Jokowi-JK. Kehendak dan keberanian konsolidasi pemuda dan rakyat sipil Papua tak peduli penangkapan dan represi, gerakan solidaritas yang terus kita bangun dari Jakarta untuk menekan KOMNAS HAM dan membuat dekat persoalan kemanusiaan Papua ke tengah-tengah keseharian orang-orang Indonesia. Semua itu terjadi setahun setelah Muridan pergi, dan bisa dipastikan tak ada rencana untuk tak dilanjutkan.
Untuk mengenangnya, berikut tribute saya buat beliau.
***
Ketika Kau Datang
Dua bulan belakangan ini, saya banyak terkejut oleh kabar tentang orang-orang terdekat dan kawan-kawan pejuang yang sakit dan kemudian meninggal.
Rasanya semakin banyak orang-orang baik yang tidak beruntung dan berumur pendek, sementara orang-orang jahat semakin beruntung dan panjang umur. Hidup memang tidak adil di masyarakat berkelas ini.
Saya buat puisi di bawah ini, khusus karena dan untuk Muridan Widjojo, seorang kawan dari perjuangan untuk keadilan dan pembebasan Papua. Di dalam bait-baitnya, saya menganyam ingatan dari semua orang-orang baik yang telah berjuang bersama, harus ditambah bebannya oleh sakit, namun tetap berusaha berjuang.
Mereka orang-orang hebat: yang dengan sakitnya bukan menuntut belas kasihan ataupun solidaritas, melainkan modal untuk bekerja lebih keras. Agar dikenang bukan karena sakitnya, melainkan karena sumbangannya pada kemanusiaan. Saya bersyukur mengenal orang-orang semacam ini. Tidak banyak memang, tapi penting untuk inspirasi melanjutkan dan menjaga hidup, berjuang untuk kehidupan, dan bersiap di kala sakit.
Saya mendapat kabar kematian Muridan pada 7 Maret 2014, sekitar pukul 16 waktu Berlin.
Airmata langsung menetes. Bukan kabar yang mengejutkan, tetapi tak seorangpun betul-betul siap untuk melepas orang-orang yang mereka pedulikan.
Tepat sebulan lalu, sejak 6 Februari 2014, saya bertukar pesan dengan beliau. Dia menyapa dan mengatakan keadaannya semakin memburuk, kemoterapi dihentikan, dan obat baru yang lebih agresif dan efektif, dan… mungkin menyakitkan. Puisi mungkin bisa menghibur dan dia bilang dia juga suka puisi. Syukurlah.
Dulu dia suka menulis puisi untuk pribadi saja, katanya. Puisi itu bikin hati lega, berbunga, katanya. Dia bilang:
“Aku tunggu puisi koleksimu sambil menikmati obat kemo mengalir ke dalam darah, sambil menahan gerah akibat AC mati, sambil menjinakkan intimidasi bayangan tentang kematian…” (7/2/2014 19:59)
Ah, andai Muridan tahu, saya belum berhasil membuat puisi untuknya malam itu. Sebelum ia menanyakannya lagi, entah kenapa rasanya ada kewajiban untuk membuatnya dalam suasana hening tak terburu-buru. Kata-katanya terus membayangi saya sepanjang hari, memutar pikiran mencari kalimat-kalimat yang tepat untuk menemaninya dalam situasi yang tak seorangpun akan menyukainya. Saya tak berhasil melahirkan frasa dan kalimat apapun hari itu. Saya hanya kirimkan ia puisi lama tentang kesendirian:
Sendiri|Kita harus belajar|sendiri|bukan sendirian|Karena bulan bintang dan matahari juga sendiri|dan mereka tak sendirian|Memandang angkasa|tanpa batas cakrawala|menarik garis putih hubungkan antar manusia|menjadi keluarga besar perjuangan semesta| Kita harus belajar|sendiri|bahkan kadang sendirian|Karena gerhana dan gelap juga bagian antariksa|yang ajari kita tak berkedip menanti cahaya|sekalipun perih hingga mata berkaca|Segelap dan seterang apapun hati kita|Ada pelita yang tak mau berhenti menghangati asa|Cinta. (11/12/13)
Dia kirim pesan singkat: “Ini buatanmu sendiri di akhir 2013 ya. Thoughtful. Halus. Tegas. Sendiri tapi tidak sendirian. Meski demikian siap untuk menjadi sendirian demi sebuah perjuangan.”
Saya hanya bisa tersenyum, dengan mata agak nanar di layar telepon genggam. Dia tidak tahu. Dan dia tidak boleh tahu.
Akhirnya, entah kekuatan darimana, saya beranikan diri menganyam kata-kata. Saya hanya ingin dia tidak kalah, karena dia memang tidak pernah kalah. Saya ingin memperlakukan kesakitan dan kematian layaknya tamu tak diundang namun tak terelakkan. Saya ingin berbicara pada keduanya. Dan sungguh, saya juga berharap saya dapat dengan tabah berhadapan dengan keduanya, kelak.
Ketika kau datang
Selamat datang
Siapapun kau yang datang untuk membunuhku
Mari masuk, duduk lah sejenak
kubuatkan kau minum
Kau suka apa?
Kopi dan teh tak lagi kusimpan untuk tetamu
Pun tak lagi boleh untuk senggangku
Hanya air bening dari galon kemasan
tiap bulan mesti kubeli
membantu orang-orang mampu pemilik galon itu
menebalkan kantung untungnya
menipiskan kantung simpananku
Begitulah hidup ini, tak banyak yang bisa kupilih
termasuk kedatanganmu ini
Kudengar kau sering singgah ke tempat-tempat yang ramah padamu
Tapi juga kubaca kau mulai datang ke berbagai tempat yang menutup pintu rapat-rapat darimu
Kau tak lagi masuk dari pintu
tapi dari semua rongga udara rumah-rumah kami
dari setiap yang masuk pencernaan kami
Bagaimana bisa kubilang tidak pada kedatanganmu
kenapa pun tidak kusambut kau dengan segelas air
Mau apa lagi
Aku tak mau terus melawan
hanya mengajak kau duduk sebentar
Bercerita tentang hidup yang tak bisa ku pilih ini
Bercengkerama tentang sakit yang kau timpakan
yang kubenci tiap ruas wujudnya
Aku mau kau tahu
Tak ada orang yang mau menunggu mati
Termasuk aku
Maka kukawani kau
dengan kebencian
kesakitan dan amarah
Aku pernah lelah, bahkan takut
Tapi aku tak bisa menyerah
Karena hidup yang tak bisa ku pilih ini
Adalah juga hidup banyak manusia dengan berbagai keindahannya
Yang kucintai
Walau sebagian diantara mereka pula hancurkan keindahan itu
Penyebab kesakitanku
Tapi aku tak pernah bisa membenci hidup
Bahkan di dalam sekaratku
Sekalipun kau membunuhku malam ini
Aku telah dan akan tetap hidup
Oleh semua yang kutinggalkan bagi masa depan kemanusiaan
Silahkan diminum
Aku masih ingin bercerita lebih panjang…
Amsterdam, 8/2/2014 20:43
*untuk yang sakit dan yang tetap berjuang dan yang tak pernah benar-benar mati
Sent. Pesan BBM berisi puisi itu saya kirimkan pada pukul 20:43 waktu Amsterdam. Tak lama ia membalasnya: “Zely, luar biasa. Puisi itu memberiku kata kunci untuk tetap kuat. Mencintai hidup…” (9/2/2014 00:51)
…
Penutup
Akhirnya, kau dibebaskan.
Sahabat Papua dan panggung Mengenal Papua Lebih Dekat belum sempat kau saksikan.
Akan saya jadikan hutang dalam perjuangan keadilan untuk Papua.
Lagu-lagu sudah ada, seniman musik kawan kita akan membantunya.
Kawan-kawan seperjuangan masih ada.
Dengan itu semua, kita paksa Pemerintah Indonesia mendengar kita.
A lutta continua, bung!
Amsterdam, 12 Maret 2014***