HANTU, menurut KBBI, ialah “roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu)”. Biasanya ‘hantu’ juga diidentikkan dengan roh orang mati yang bisa menampakkan diri pada orang hidup. Apa yang dilakukan ketika hantu menampak bisa macam-macam. Ada yang hanya menampak sebagai sosok, ada yang sambil senyum atau tertawa, ada pula yang cuma tercium aromanya. Di dalam cerita rakyat dan film-film, ada pula hantu yang tidak sekadar menakut-nakuti dengan kehadirannya, tapi juga menculik, mencekik, atau merasuki dan membuat yang terasuki itu gantung diri atau lari masuk kolong kereta api. Apapun perbuatan mereka, di banyak kebudayaan, hantu dipahami sebagai salah satu spesies dari genus mahluk gaib, suatu adaan yang hakikatnya tak langsung kasat mata (kecuali diniati oleh mereka sendiri untuk menampak) tapi bisa berinteraksi dengan orang-orang hidup.
Hantu dan pengalaman tentang hantu lumayan universal dalam arti sebaran geografis dan masanya. Karena itu pula tidak sedikit masyarakat yang mengembangkan lembaga atau upacara tertentu terkait dengan kepercayaan terhadap hantu-hantunya.
Di antara pembaca mungkin ada yang pernah ditanya, ‘sebenarnya, hantu itu ada tidak sih?’ Apabila penanya adalah kawan lama, jangan sampai Anda balik bertanya: 1) ‘Menurutmu ada itu apa?’ atau 2) ‘dalam pertanyaanmu, apa diferentia specifica dari hantu yang kamu maksud?’ Apabila setiap orang yang bertanya dibalik tanya, apalagi dengan pertanyaan balik yang terdengar betapa kalian terasa begitu berjarak, saya jamin seumur hidup Anda tidak akan berteman, kecuali dengan sesama orang-orang membosankan lainnya. Kadangkala kesehatan batin yang terpelihara lewat pertemanan yang baik lebih berharga ketimbang kebenaran, meski nabi Anda menyuruh Anda untuk mengungkap kebenaran meskipun menyakitkan. Kebohongan itu perlu dan adaptif dalam pertemanan. Meski Anda merasa punya jawabannya, saran saya, daripada Anda jawab langsung, lebih baik kiranya Anda tulis saja untuk kolom mingguan di blog. Boleh juga dengan nama samaran supaya lebih misterius.
Sebagian orang menganggap pertanyaan di atas sudah selesai hanya dengan mengatakan bahwa hantu itu tidak ada. Apa buktinya? Buktinya hanya karena dia tidak pernah melihat hantu. Tapi bukti ini mudah terbantah oleh fakta bahwa ada orang-orang yang pernah melihatnya. Buat Marxis, menurut saya, persoalannya tidak beres begitu saja dengan mengatakan ‘tidak ada, karena saya tidak pernah melihatnya. Titik!’ Sekadar empirisme tidak menyelesaikan masalah soal kepercayaan kaum spiritualis modern.[1] Para pemburu hantu kontemporer, para penganut empirisme radikal itu, konon punya bukti rekaman suara dan gambar hantu. Mereka pakai sarana sains seperti magnetometer, kamera inframerah, perekam infra-suara, dan sebagainya untuk membuktikan keberadaan hantu. Dari kegiatan mereka, berbagai tayangan televisi dibuat, ditonton, dan dijadian bukti lanjutan bagi mereka yang percaya. Marxis mesti ambil jalan lain selain empirisme soal hantu ini. Tulisan ini niatnya ke situ.
Sebagai orang terpelajar yang pernah belajar filsafat, kawan saya mengajarkan bahwa pertanyaan di atas, soal ada tidaknya hantu, tergolong ke dalam ontologi terapan. Ontologi terapan itu berkisar di pertanyaan ‘apa saja yang ada dan mungkin ada?’ Terkait pertanyaan tersebut, maka setidaknya ada dua pandangan yang umum. Pertama, hantu ada. Kedua, hantu itu tidak ada. Karena apabila saya pilih jawaban kedua maka selesai sudahlah tulisan ini sampai di sini, maka saya pilih jawaban pertama. Tapi di antara golongan yang percaya bahwa hantu itu ada, ada dua sekte lagi yang bertentangan pandangan. Pertama, hantu itu adaan objektif, bagian dari dunia eksternal yang keberadaannya terlepas dari dan tidak bergantung pada pikiran manusia. Kedua, hantu itu adanya di pikiran manusia saja, tak lebih dari ciptaan akalbudi. Meminjam istilah para ahli filsafat, sekte pertama boleh dibilang menganut realisme, sedang yang kedua itu anti-realisme.
Buat realis, status ontologis hantu itu objektif dan transenden terhadap pikiran dan daya imajinasi manusia. Manusia menangkapnya dengan indra, perasaan, dan pikiran lalu kemudian baru menuangkannya ke dalam konsepsi tertentu. Jadi, hantu itu ditemukan. Sebaliknya buat anti-realis, status ontologis hantu itu nihil selain sebagai hasil atau produk daya pikir manusia. Keberadaannya imanen terhadap dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia dan oleh karena itu subjektif.
Sebelum jauh melangkah, tentu pembaca bertanya-tanya: apa sih urusannya Marxisme dan persoalan status ontologis hantu ini? Sewaktu menulis paragraf di atas, saya sendiri belum kepikiran apa ada hubungannya. Tapi in shaa Alloh dalam uraian di bawah mungkin kita bisa temukan kaitannya.
Kalau kita pikir-pikir, kedua pandangan (realis/temuan-antirealis/ciptaan) tampaknya tak bisa didamaikan. Keduanya bertentangan. Satu-satunya persamaan keduanya ialah kepercayaan bahwa hantu itu ada. Namun, apabila kita dengan cendekia menelisik lebih dalam layaknya para filsuf, kelirulah apabila kita sangka kedua posisi itu sungguh-sungguh bertentangan. Kedua posisi tersebut sebetulnya berangkat dari andaian yang diwarisi dari sumber yang sama. Akarnya ialah pernyataan Descartes ihwal keberadaan Tuhan. Menurutnya, mustahil kita punya gagasan atau representasi tentang Tuhan kecuali memang ada realitas Tuhan, entah itu di dalam atau di luar pikiran kita. Nah, dikaitkan dengan keberadaan hantu, karena manusia punya gagasan atau representasi atas hantu, masuk akallah apabila kita nyatakan pasti realitasnya juga ada, entah di pikiran manusia atau di luarnya.
Sepintas, penalaran ini masuk akal. Tapi dengan kacamata Marxisme, kedua posisi sama-sama keliru. Dasar kekeliruan ini bukan karena Marxis itu mestinya secara heroik tidak percaya hantu itu ada. Apalagi jika satu-satunya sokongan posisi heroik itu ialah pengertian a priori. Marxis tidak semestinya langsung menolak keberadaan hal-ihwal yang dipercaya adanya oleh banyak kebudayaan, sebelum menyelidiki hal tersebut secara ilmiah dan rasional. Inilah kiranya yang bisa membedakan Marxis dari tukang rusuh.
Lantas, apa dasar kekeliruan kedua-dua posisi yang dipersoalkan Marxis? Soalnya terutama terletak pada perbedaan arti serta tidak saling sulihnya apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam kedua pernyataan posisi. Dirumuskan secara formal, kedua pernyataan bisa seperti berikut:
- Keberadaan hantu itu terlepas dan tidak bergantung pada keberadaan pikiran manusia,
- Keberadaan hantu itu tidak terlepas dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia.
Kekeliruan rumusan di atas dan tafsir kebertentangannya karena kedua posisi bisa jadi benar, karena apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam keduanya bisa merujuk pada hal berbeda. Pada pernyataan pertama, ‘manusia’ merujuk pada organisme individual, sedang pada yang kedua merujuk pada spesies manusia. Dari situ posisi ketiga bisa muncul: hantu itu ada di luar dan tidak bergantung pada pikiran individu manusia, tetapi tidak mungkin terlepas dari keberadaan spesies manusia. Mengapa? Sampai sekarang belum ada bukti bahwa simpanse percaya pada keberadaan hantu. Buat seekor simpanse, amat mungkin apa yang menampak lewat indranya tidak dibeda-bedakan antara hantu dan bukan-hantu. Semua yang menampak adalah semua yang menampak. Satu-satunya patokan kategorisasi simpanse atas realitas tampakan ialah makanan/bukan makanan, pasangan kawin/bukan pasangan kawin, anggota kelompok/bukan anggota, dan berbagai kategori-kategori praktis dalam kehidupan mereka. Kategorisasi antara manusia hidup dan arwah manusia mati, hanya ada pada manusia. Keberadaan kategori macam begini dimungkinkan oleh daya pikir yang inheren di dalam struktur otak dan kapasitas kognitif spesies manusia. Tak seperti simpanse yang pikirannya ‘episodik’, pikirannya manusia itu reflektif. Kehidupan simpanse, sebagaimana binatang selain manusia lainnya, dihidupi sepenuhnya di dalam kekinian abadi [terdengar seperti kelakuan kaum posmo]; hanya sebagai serangkaian episode konkret. Unsur tertinggi memori representasi ada pada tingkatan representasi peristiwa. Tak seperti manusia, simpanse tidak bisa mengambil memori sekehendak hati mereka sendiri karena seperti jejaring neural, mereka bergantung pada lingkungan untuk akses memorinya. Mereka itu mahluk yang terkondisikan langsung oleh lingkungan dan berpikir hanya dalam arti bereaksi langsung ‘sekarang juga’ terhadap lingkungan.
Foto diambil dari http://vignette2.wikia.nocookie.net
Cuma manusia yang dapat mengakses memori sesuka hati. Para ahli neurologi menyebut kapasitas ini sebagai ‘pengisyaratan-diri’ atau kemampuan untuk secara sekehendak hati memanggil kembali bulir-bulir memori tertentu tanpa bergantung pada lingkungan. Misalnya ada seekor simpanse dan seorang manusia yang sedang melalui jalan setapak yang sama di hutan yang sama. Perilaku dan isi pikiran simpanse sepenuhnya ditentukan lingkungan yang langsung dihadapinya. Dia mungkin berpikir soal buah-buahan matang yang menggelayut di pepohonan sekitar atau biji-bijian yang tergeletak di tanah, dan kepikiran untuk mengambil, menumbukkan batu ke biji-biji itu satu per satu dan memakan isinya. Sementara itu, si manusia yang berjalan di jalan hutan yang sama, bisa jadi berpikir tentang sesuatu yang sepenuhnya tak berkaitan dengan lingkungan seperti tanggal tenggat pembayaran hutang cicilan motor, balasan surat cinta yang tak kunjung datang, atau tema apa kiranya yang layak diangkat di kolom Logika Rabu depan.
Jadi, untuk adanya ‘realitas’ hantu sama sekali, mestilah ada spesies yang mempunyai kapasitas kognitif tertentu yang melampaui perilaku kognitif binatang pada umumnya. Dengan kapasitas ini dimungkinkanlah pemilahan atas gejala-gejala yang menampak ke pikiran berdasarkan kategori atau patokan yang tak langsung terikat pada lingkungan langsung tertentu. Dari sini ‘diferentia specifica’ hantu dan bukan-hantu bisa dirunut dan ‘hantu’ pun ada karenanya. Keberadaannya bisa saja tidak di benak individu-individu, tetapi mustahil ia ada di luar keberadaan spesies manusia.
Dari sudut pandang Marxis, posisi ketiga ini masih mengandung masalah. Apa pasal? Pernyataan posisi ketiga bergantung pada dua konsepsi ‘manusia’ yang tidak realistik. Pada kalimat kedua, ‘manusia’ dimengerti sebagai spesies manusia atau manusia sebagai suatu kategori. Manusia abstrak macam begini tidak mungkin punya pikiran, kehendak, dan perbuatan. Manusia ini hanya ada di benak para filsuf dan buku-buku filsafat. Oleh karenanya tidak mungkin mengadakan hantu bagi dirinya.
Agak lebih realistik ialah pengertian ‘manusia’ pada kalimat pertama, yakni manusia sebagai organisme individual. Sebagai organisme individual, manusia tentu punya pikiran, kehendak, dan potensi perbuatan. Tidak seperti ‘manusia’ abstraknya filsuf, manusia ini lebih nyata. Namun, manusia macam ini juga belum nyata sepenuhnya. Apa pasal? Karena di sini manusia diibaratkan atom-atom yang muncul entah dari mana. Selain di benak kreatif ilmuwan borjuis semacam Thomas Hobbes, pengibaratan ini tidak punya landasan sama sekali di dunia nyata. Coba saja tengok kehidupan kita masing-masing. Tak pernah ada yang namanya manusia individual universal. Yang senantiasa ada ialah individu-individu sosial yang sudah selalu berada di dalam relasi-relasi tertentu dengan sesamanya di dalam bentuk-bentuk sosialitas tertentu. Kesosialan itu bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian ketika individu-individu saling jumpa, bersepakat bikin kontrak, dan hidup bersama. Sosialitas itu lebih primitif daripada individualitas karena faktanya watak kesosialan manusia diwarisi dari biologi leluhur keranya yang juga sosial. Ingat ya, manusia itu tidak seordo dengan laba-laba, tapi primata. Jadi, karena kesosialan ialah faktisitas keberadaan manusia, maka setiap pemahaman masuk akal ihwal status ontologis hantu mestilah memasukkan faktor sosialitas ke dalam rumusannya. Dari sini Marxis masuk membawa posisi keempat yang diturunkan dari posisi ketiga dengan tambahan pemahaman soal sosialitas keberadaan manusia.
Secara formal, posisi Marxis bisa begini:
Hantu dalam keseluruhannya—realitas dan kebenarannya—bisa jadi ada di luar pikiran individu-individu, tetapi ia tidak punya status ontologis di luar atau terpisah dari keberadaan masyarakat manusia dan kebudayaannya.
Hantu ada di luar benak individu sehingga bukan ciptaan pikirannya orang per orang. Tapi hantu juga tidak mungkin mengada di luar keberadaan akalbudi kolektif atau kebudayaan sehingga hantu ada sebagai reka cipta kolektif. Di luar tradisi kultural tertentu, hantu tidak punya keberadaan ataupun makna. Setiap orang lahir di dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan tertentu yang dari sudut pandang individu sudah ada begitu saja dan tidak bergantung pada keberadaannya. Sebagai bagian dari kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan, dan pola tindakan atas hantu diperoleh individu dari luar dirinya dengan mempelajari atau disosialisasikan oleh masyarakatnya. Artinya, satu-satunya status ontologis yang mungkin bagi hantu ialah konstruksi sosial. Batas-batas keberadaan dan kebenarannya ditentukan oleh struktur dan dinamika masyarakat tempat hantu itu berada. Coba kita ambil beberapa contoh. Sepengetahuan saya, tidak ada yang namanya hantu universal, yang ada di semua masyarakat dan menakutkan bagi semua orang di delapan penjuru mata angin. Kalaupun ada kemiripan, seperti Yūrei di Jepang, Pontianak atau Kuntilanak atau Penanggalan di Nusantara, serta Ap atau Krasue di Indocina, itupun tak lebih dari gendernya yang sama-sama perempuan. Apabila kita periksa gambaran satu per satu hantu-hantu itu, maka satu-satunya kesamaan mereka ialah keberadaan jejak-jejak kebudayaan di dalamnya. Ambil contoh pocong. Pocong itu spesies hantu yang cirinya mengenakan kain kafan seperti halnya kain yang dipakaikan pada jenazah di Jawa. Untuk adanya hantu pocong sama sekali, perlu ada masyarakat yang percaya bahwa menguburkan jenazah ke dalam tanah galian adalah praktik yang wajar. Di Jawa, masyarakat semacam ini hanya mungkin ada pasca keruntuhan Majapahit abad ke-15. Mengapa? Praktik menguburkan jenazah ialah bagian dari praktik kepercayaan Islam, dan Islam baru menyebar di Jawa setelah Kesultanan Demak berdiri di atas reruntuhan Majapahit. Sebelumnya, seperti penganut Hindu pada umumnya, jenazah tidak dikubur, tetapi dibakar.
Keberadaan hantu Pontianak (di Nusantara) atau Yūrei (di Jepang, model rujukannya Sadako) juga, misalnya, mensyaratkan keberadaan masyarakat yang sudah mengenal industri garmen. Bagaimana tidak, keduanya sama-sama mengenakan semacam pakaian putih berbahan kain. Untuk adanya kain putih yang mereka kenakan, mesti ada terlebih dahulu masyarakat yang memproduksi kain putih, dan untuk adanya sama sekali produksi itu perlu adanya domestifikasi dan pertanian kapas (Gossypium sp.). Baik produksi kain maupun bahan baku kapas, merupakan gejala kebudayaan baru dalam evolusi kebudayaan manusia. Bukti arkeologi tertua kapas terdapat di anak benua India 7000 tahun silam, meski katun sendiri mungkin baru diproduksi sebagai pakaian yang praktiknya tersebar luar 2000-1000 tahun lalu di India. Di Jawa, bukti produksi katun tercatat dalam Laporan Tahunan Dinasti Tang (618-907 M). Di Jepang sendiri, hingga tahun 1600, bukan katun putih yang jadi bahan dasar pakaian orang Jepang. Artinya, Yūrei hanya mungkin mengada setelah masa ketika industri katun sudah berkembang.
Dari paparan di atas, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan soal hantu (mitos, legenda, atau alien misalnya), Marxis tidak semestinya keburu nafsu teriak ‘reaksioner’, ‘tahayul’, ‘ideologis’ dan menghakimi secara a priori keberadaan realitas itu di dalam masyarakat kita. Marxis semestinya tidak mematok secara a priori tanpa penyelidikan ilmiah rasional status ontologis hal-ihwal. Inilah yang membedakan Marxis dengan Pemalas.
Kedua, inti Marxisme ialah metode dan cara pandang materialis historis atas hal-ihwal. Dengan bekal ini, semestinya tak ada Marxis yang dapat tergentarkan hati dan pikirannya menghadapi berbagai pertanyaan, seberapa pun besarnya kadar ‘jebakan batman’ dari pertanyaan itu.
Ketiga, apabila ada di antara pembaca yang mengganti kata ‘hantu’ yang ada di dalam tulisan ini dengan ‘tuhan’, saya sama sekali tidak melarang. Tapi saya mewanti-wanti dengan sepenuh pengertian bahwa mungkin ada akibat lanjutannya. Dan saya tidak bertanggung jawab atas akibat-akibat itu.
Sekian.***
Jatinangor, 20 Maret 2015
————
[1] F. Engels, (1987) ‘Dialectics of Nature’, Karl Marx and Friedrich Engels Collected Works, Vol. 25. London: Lawrence & Wishart, h. 354.