Judul: Di Balik 98
Sutradara: Lukman Sardi
Pemain: Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah, Ririn Ekawati, Amoroso Katamsi, Fauzi Baadila, Agus Kuncoro
Durasi: 90 menit
KITA melihat Salma tersungkur. Pelipisnya bersimbah keringat dan debu, nafasnya terengah-engah. Perkampungan tempat ia terjebak dilanda kekacauan. Para penduduk Pecinan mulanya melihat dengan penasaran, sebelum lari tunggang langgang ke rumah masing-masing. Pintu dikunci, pagar digembok, teralis ditutup. Seorang ayah dibekap dan ditahan sementara baju istrinya mulai dilucuti secara paksa. Seorang perusuh melambaikan balok kayu dengan penuh kemenangan, berdiri tinggi di atas rangka mobil yang barusan ia bakar. Di Grogol, tank dan truk berzirah membawa barisan demi barisan tentara yang menenteng senjata berat. Para pendemo mahasiswa masih bersembunyi, gemetar di dalam gedung-gedung kampus Trisakti.
Adik Salma, Diana, termasuk di antara mereka yang bersembunyi di Trisakti. Kemarin, empat kawannya gugur diberondong peluru aparat setelah demonstrasi damai yang mereka galang berakhir bentrok. Teman-temannya yang selamat mendengar gerutuan para tentara yang sedang sweeping di jalanan Grogol. Suami Salma, Bagus, berderap dengan gusar. Sebagai tentara, ia tidak bisa menampik panggilan tugas pada saat-saat genting seperti ini. Tapi separuh pikirannya tertuju pada Salma, istrinya yang hamil dan hilang entah ke mana.
Sekilas, potret yang tersaji tampak mencekam. Berlatar belakang hiruk-pikuk Reformasi, Di Balik 98 adalah drama tentang masa penuh pergolakan yang memecah keluarga, negara, dan mengubah nasib jutaan orang. Film yang disutradarai oleh Lukman Sardi ini memotret peristiwa 1998 dari kacamata sederet karakter yang muncul dengan pertarungan batin dan kisah mereka masing-masing. Mulai dari kisah keluarga yang diwakili Salma (Ririn Ekawati), Bagus (Donny Alamsyah), dan Diana (Chelsea Islan), intrik politik tingkat tinggi yang diwakili karakter Soeharto, Harmoko, dan B.J Habibie, gerakan aktivisme mahasiswa pro-demokrasi yang juga diikuti Daniel (Boy William), pacar Diana di kampus, hingga tokoh seorang pemulung miskin yang berkeliling di antara kekacauan Jakarta bersama anak lelakinya yang masih kecil.
Salma, yang bekerja di dapur Istana Negara, sedang hamil tua dan menikah dengan Bagus, seorang tentara. Kehidupan keluarga mereka goncang jelang Reformasi, saat adik Salma yang menumpang di rumah mereka, Diana, mulai terlibat dengan aktivisme pro-demokrasi di kampusnya. Ketika situasi politik memanas, Diana minggat dari rumah dan dicari-cari oleh Salma yang panik. Bagus, yang dipanggil ke lapangan, harus memilih antara kesetiaannya pada tugas dan keinginannya untuk mencari istri dan adik iparnya yang lantas hilang di tengah kerusuhan.
Kita pun dikenalkan pada Daniel, pacar Diana di kampus yang juga terlibat dalam demonstrasi. Seorang keturunan Tionghoa, ia menghadapi persoalannya sendiri. Usai kerusuhan massal anti-Tionghoa di Jakarta, Daniel menemukan rumah keluarganya telah rusak dijarah dan ayah serta adiknya hilang. Perjalanan Daniel mencari keluarganya, pergulatan batinnya untuk melarikan diri dari Indonesia dan meninggalkan hiruk-pikuk gerakan Reformasi semakin menambah pelik perkaranya. Di Istana Negara, Presiden Soeharto pulang dari Kairo dan menemukan bahwa para politisi bawahannya satu per satu telah berkhianat atau ciut akibat tekanan publik. Sementara itu, sang pemulung miskin berkeliling Jakarta dengan anaknya, menyajikan potret kemiskinan untuk mengundang simpati penonton dalam kesederhanaannya yang absurd.
Mempreteli Makna
Bingung? Menumpuk begitu banyak karakter dan memaksakan begitu banyak sudut pandang memang berisiko membuat film ini menjadi lebih rumit daripada seharusnya. Dan sayangnya, inilah yang terjadi. Alih-alih berjalan sederhana dan mudah dicerna, Di Balik 98 memutuskan untuk maju terus sebagaimana adanya. Hasilnya adalah film yang seperti tak mengerti apa yang ingin ia sampaikan dan kisah mana yang perlu ia ungkapkan. Apakah ini film drama sejarah yang menyajikan intrik politik level tinggi pada hari-hari jelang keruntuhan Orde Baru? Jika ya, maka dangkalnya eksplorasi tentang konteks pra-Reformasi (serta munculnya kereta commuter line dan jembatan Transjakarta di latar beberapa adegan) membuat kredibilitas film ini perlu dipertanyakan. Apakah ini film revolusi yang mengglorifikasi pemberontakan para demonstran dan memuji keberanian mereka menentang tirani? Jika ya, kenapa cara mereka memotret para demonstran terbilang naif dan bahkan patronising?
Jawabannya sederhana. Di Balik 98 adalah film drama. Titik. Sang sutradara, Lukman Sardi, sempat mengklarifikasi bahwa film ini memang “bukan film sejarah” yang kental unsur politik atau “berusaha mengupas tuntas peristiwa Mei 98.” Film ini, ucapnya, lebih menitikberatkan sisi kemanusiaan dari masing-masing karakter. Oleh karena itu, ada baiknya para penonton meredam ekspektasi mereka. Di Balik 98 memang tidak berpretensi ingin menyajikan detail sejarah yang akurat ataupun menerangkan intrik politik di Indonesia pada masa itu. Ia lebih tertarik mengeksplorasi bagaimana sekumpulan orang, dari berbagai latar belakang, dipersatukan dan diseret ke dalam sebuah situasi lebih besar yang – sejatinya – ada di luar kendali mereka.
Namun, langkah ini justru “membunuh” Di Balik 98. Karena tanpa politik, tanpa sejarah, tanpa konteks, film ini kehilangan maknanya. Ia menjadi satu lagi film drama yang tak fokus, diarahkan dengan buruk, disajikan separuh hati, dan – ini dosa utamanya – menjemukan dan melelahkan untuk ditonton.
Tanpa konteks, mendadak tindakan para karakter film ini tampak seperti melodrama yang sia-sia. Karakter Diana, misalnya, tidak lagi menjadi aktivis yang benar-benar percaya akan perubahan yang ia perjuangkan. Ia malah tampil seperti remaja labil yang giat merepet tentang ketidakadilan dan kemiskinan yang tak jelas juntrungannya. Sumber kemarahan ini hanya ditunjukkan pada penonton lewat secuil dua cuil adegan poverty porn yang dirancang untuk menguras air mata, serta sumpah serapah Diana pada Bagus yang kebetulan seorang tentara. Diana adalah pemberontak tanpa maksud, orator tanpa pesan. Ia menjadi karakter yang kosong, yang aktivismenya adalah efek samping kebetulan dari sifat pribadinya yang keras dan tak mau diatur. Menilik Diana, sangat wajar untuk bertanya: “Ia berjuang karena peduli, atau karena ia cuma tidak mau menurut?”
Karakter para figur politik dari kehidupan nyata yang muncul dalam cerita ini pun terlihat dangkal, seperti parodi. Soeharto tampil sebagai orang tua yang lemah dan penuh harga diri, berusaha tegar di tengah “pengkhianatan” rakyat dan politisi “didikannya” yang tidak tahu terima kasih. Wiranto tampak seperti binaragawan amatir yang rajin menyambangi gym-gym Ibukota. Belum lagi karakter B.J Habibie dan Harmoko, yang mengundang gelak tawa dengan gestur nyeleneh dan cara bicara berlebihan mereka (serta fakta bahwa Habibie terlihat mirip sejarawan Hilmar Farid versi rapi). Absurd rasanya melihat dua karakter penting dalam kejadian politik yang melatari film tersebut justru menjadi comic relief tak terduga.
Entah penampilan mereka yang kocak ini disengaja atau tidak, mereka justru merusak adegan-adegan yang semestinya menjadi titik drama terpenting. Saya, misalnya, tidak fokus menonton adegan epik dibukanya pintu gedung DPR pada para demonstran karena saya terlalu sibuk menertawakan cara bicara Harmoko saat berembug dengan stafnya. Saya, misalnya, tidak khidmat menonton adegan klimaks pengunduran diri Soeharto karena saya terlalu giat menyoraki gestur konyol Habibie di latar belakang. Adapun jalan cerita lain entah tidak berkembang, penuh sentimen klise, atau malah terbengkalai sama sekali. Apa yang terjadi, misalnya, pada karakter sang pemulung, yang menghilang tanpa sebab dan penjelasan setelah adegan penjarahan mal?
Lebih buruk lagi, Reformasi lantas menjadi satu lagi tragedi dalam sejarah panjang Indonesia. Signifikansi dan makna perjuangan para aktivis, pergolakan politik di Istana Negara, keresahan para tentara, bahkan kemarahan massa yang lepas kendali, sirna sudah. Semuanya disajikan serupa ekses-ekses terburuk dari drama sinetron paling banal di pertelevisian Indonesia. Di Balik 98 memang tidak luput menyajikan adegan-adegan bersejarah yang epik – penjarahan mal, kerusuhan di jalanan, dan pendudukan DPR oleh massa demonstran. Namun, adegan-adegan ini terasa seperti pengalih perhatian dari drama pribadi para karakternya yang semakin lama semakin menjemukan.
Tamparan paling pelak diberikan oleh lagu penutup film. Diiringi sayatan orkestra dan adegan mengharubiru, sang penyanyi meratap dramatis: “Mengapa ini harus terjadi pada negeri yang ku cintai? Mengapa harus kita nodai persaudaraan kita yang abadi? Kaulah tetap negeri yang ku cinta… Indonesia, Indonesia negeri kita bersama.”
Pada akhir film, kita bertemu lagi dengan Diana dan Daniel, 17 tahun setelah Reformasi. Diana, yang kini bekerja sebagai guru Taman Kanak-Kanak, dikunjungi oleh Daniel, yang pulang ke Indonesia untuk menebar abu kremasi ayahnya. Mereka bercakap-cakap berdua di taman, mengenang “semangat Reformasi” yang dulu mempersatukan mereka. Reformasi, ujar Diana, rasanya telah gagal. Namun ia berharap generasi baru – anak-anak mereka, yang lahir menghirup udara kebebasan – akan melanjutkan perjuangan mereka.
Omong Kosong Revolusi dan Moralitas
Setiap Mei menjelang, Indonesia menggiring dirinya kembali pada nostalgia, perenungan, dan pertanyaan: Apakah langkah yang kita ambil tahun 1998 itu benar? Saat Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei tahun itu, rasanya semua jaring pengaman yang selama ini terpasang akhirnya diturunkan. Generasi orangtua saya adalah generasi yang memutuskan untuk membawa Indonesia menuju antah-berantah. Dan generasi sayalah yang harus menanggung keputusan mereka.
Melihat Diana dan Daniel duduk di kursi taman itu, 17 tahun setelah kejadian yang memisahkan mereka, saya pun ikut memikirkan wajah generasi yang muncul setelah Reformasi. Regenerasi politik setelah generasi Reformasi, yang disebut Adeline Tumenggung dan Yanuar Nugroho, terbilang minim.[1] Walhasil, mungkin anak-anak Diana dan Daniel akan tumbuh dewasa tanpa banyak mengacuhkan persoalan politik, apalagi tertarik melibatkan diri dalam politik formal dan “memimpin bangsa” – hipotesis yang diperkuat oleh temuan Jajak Pendapat Kompas pada 2010.[2]
Namun, anak-anak mereka menghadapi persoalan yang lebih genting. Mereka, sebagai anak muda, memang masih dianggap ancaman. Tapi narasinya telah bergeser. Demi mengalihkan perhatian dari kinerja pemerintah yang tidak becus, anak muda didapuk sebagai “musuh negara” yang baru. Anak muda, tulis M. Budiman, Y. Mangoenkusumo, A. Wardhani, dan N. Utami, tak hanya dianggap mengancam “keamanan negara”, namun juga dipotret sebagai generasi “nakal” yang mengancam nilai-nilai moral yang mapan. “Anak muda dianggap berbahaya bukan karena mereka mampu menantang kekuatan negara atau mengorganisir pemberontakan melawan negara,” tulis mereka.“Namun karena mereka dianggap tidak bisa mengendalikan diri sendiri dan sering bersikap ‘tidak normal’ menurut definisi negara.” Maka, percakapan mengenai kompetensi pemerintah era demokrasi pun beralih menjadi percakapan mengenai moralitas generasi penerusnya.[3]
Misalkan kita meminta Diana berdiri dari bangku taman itu dan bercermin, mungkin ia akan sadar bahwa dirinya dikonstruksi segaris dengan pergeseran narasi tersebut. Karakternya adalah perwakilan paling dominan dari cerita para aktivis mahasiswa, namun pengisahan film ini begitu fokus menonjolkan konflik pribadi dan tabiatnya yang berapi-api, tanpa banyak menjelaskan alasan di balik aktivismenya itu sendiri. Di Balik 98, dengan segala ungkapan mengharubiru yang ia lantunkan, telah menjadikannya seorang pemberontak yang tak tahu arah. Dan tentu saja, semua nafsu melawannya pupus begitu ia dihadapkan dengan konflik-konflik dramatis dan resolusi tragis yang menguras air mata.
Mungkin, Di Balik 98 bermaksud menjembatani jarak antara generasi Reformasi dan generasi masa kini yang disinggung Tumenggung dan Nugroho. Mungkin, ia ingin mengingatkan kita kembali akan masa-masa jaya saat rakyat Indonesia berdiri melawan tirani, dan menang. Namun, dengan secara sengaja menitikberatkan melodrama (atau, meminjam istilah mereka, “sisi humanis”), Di Balik 98 telah menggeser narasi percakapan mengenai Reformasi. Percakapan mengenai politik, mengenai diktator yang gagal, mengenai 32 tahun penuh darah dan ketidakadilan, ia gubah menjadi percakapan picisan soal moralitas dan tragedi ala telenovela.
Rasanya gegabah bila kita menganggap terlalu serius ucapan Adian Napitupulu yang berharap film ini tak jadi “ajang cuci tangan Orde Baru”. Apalagi tudingan bahwa film ini dibiayai oleh Wiranto. Kenyataannya, saya rasa, jauh lebih sederhana. Ini bukan pelajaran sejarah, ini sinetron. Di Balik 98 adalah film yang ahistoris karena memang dimaksudkan menjadi ahistoris.
Dampaknya mencengangkan. Di satu sisi, film ini telah meromantisir Reformasi. Di sisi lainnya, film ini justru sukses menjadikannya tampak seperti letupan kemarahan kolektif yang kekanak-kanakan.
_______
Raka Ibrahim aktif di Pamflet, sebuah organisasi anak muda yang berbasis di Jakarta. pada 2013 ia memulai webzine musik, Disorder Zine, bersama kawan-kawannya. Pada 2014 ia mengikuti Workshop Kritik Seni Rupa yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta dan ruangrupa.
_______
Catatan Kaki
[1]Nugroho, Yanuar & Adeline Tumenggung. Marooned in The Junction: Indonesian Youth Participation in Politics. Bagian dari Go! Young Progressives in Southeast Asia. Friedrich Ebert Stifftung.
[2] BE Julianery, “Optimisme Kepemimpinan Muda”, polling dari Kompas, 1 November 2010.
[3]Manneke Budiman, Yuka D.N. Mangoenkoesoemo, P. Ayu Indah Wardhani, & Nila Ayu Utami, “New Enemy of the State: Youth in Post-New Order Indonesia”. Bagian dari Youth: Future Agents of Change or Guardians of the Establishment?. Konrad Adenauer Stifftung. 2012.