KETEGANGAN politik yang terjadi saat ini begitu buram. Saling serang antara institusi. Para personil KPK satu demi satu dilaporkan karena tuduhan jejak masa lalunya. Polri begitu vulgar dalam melakukan aksi bersih-bersih ‘lawannya’. Partai pengusung sang presiden pun justru saling serang di kalangan internal. Semua menjadi rumit dalam menentukan benang merah. Substansi sulit terbaca secara jernih. Rakyat pun seolah kembali terbelah. Malah para fans Prabowo versus fans Jokowi kembali saling lempar suara. Kemudian, di samping dunia politik Indonesia yang sedang ramai dengan aksi segala #save, kedaulatan ekonomi politik nusantara kembali dipertanyakan: negoisasi perpanjangan kontrak karya Freeport hampir luput terbahas.
Tentunya lontaran semacam “Selamat menikmati Presidenmu” dan “Untung saya tidak memilih Jokowi,” adalah bercanda yang tidak masuk akal. Karena konsekuensi serius dari setiap kebijakan yang dikeluarkan Jokowi hari ini berimbas pada masyarakat luas, bahkan bayi-bayi yang baru lahir secara tidak langsung akan terkena dampaknya. Demokrasi tidak bisa berhenti setelah pemilu usai, rakyat perlu mengoptimalkan energi sebagai benteng terakhir akal sehat untuk menjaga, bahkan berjuang menciptakan Indonesia yang demokratis.
Kejadian ini tentu tidak menyenangkan bagi rakyat yang menghendaki negara bisa tampil sebagai pemegang amanat. Kegembiraan-kegembiraan yang hadir beberapa waktu lalu tidak berjalan lama, karena ternyata realpolitik tidak seindah dalam bayangan. Para elite saling bertengkar dan rakyat dipaksa untuk menjadi penonton.
Menimbang Kegelisahan
Kegelisahan rakyat kini tampaknya lebih banyak terporsir dalam menyoal problem pelemahan KPK. Lembaga ini dinilai sebagai representasi kehendak rakyat, yang semenjak dulu menginginkan pembumi-hangusan korupsi di negeri pertiwi. Di tengah kondisi sistem yang korup, KPK bak oase. Maka lumrah bila hari ini begitu banyak khalayak luas yang memberikan dukungan penuh kepada KPK.
Dalam perjalanannya, memang KPK selalu bersua dengan serangan-serangan politis kelas kakap, apalagi momen pada saat KPK sedang menangani kasus-kasus panas. Masih segar dalam ingatan bagaimana upaya kriminalisasi terhadap para personil KPK beberapa tahun silam. Semua berjalan begitu massif dan sistematis. Hemat saya, latar belakang ini yang terpaksa selalu menunda koreksi terhadap lembaga super body ini. Tidak seperti instansi negara lainya, KPK menjadi lembaga yang cukup jarang mendapat kritik.
Gerakan anti-korupsi tidaklah bisa bebas nilai. Bahkan untuk menyempurnakan ekonomi pasar bebas, korupsi perlu dilawan untuk memperlancar sirkulasi, akumulasi dan akselerasi kapital. Dengan kata lain, proyek ekonomi politik kapitalisme pun punya kepentingan dalam hajat gerakan anti-korupsi. Dengan catatan ini, KPK masih miskin inisiatif dalam membongkar relasi koruptif dalam kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan agraria. Maka tak heran, KPK sampai saat ini belum mengambil peran banyak dalam penyelidikan transaksi tambang di Indonesia. Namun terlepas dari itu, sebagai lembaga penegak hukum yang masih diberi kepercayaan oleh rakyat, KPK tetap perlu diselamatkan. Apalagi melihat langgam yang terjadi. Tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Abraham Samad, Bambang Widjojanto ataupun Adnan Pandu, terlalu mencolok dan tendensius serta dalam ritme waktu yang begitu mendadak.
Di sini kekecewaaan ditujukan kepada sang presiden, yang sebagaimana diketahui saat masa kampanye berjanji akan berdiri paling depan dalam pemberantasan korupsi. Tapi sayang, Jokowi saat ini tampaknya lebih memilih memainkan politik stabilitas. Respon cepat dari sang presiden yang ditunggu masyarakat tak kunjung datang. Jokowi terjebak dalam rongrongan lingkaran oligarkis yang membuatnya sulit untuk bersikap ‘mandiri’ dalam menentukan kebijakan.
Alih-alih menyebut permasalahan pelemahan KPK sebagai pengalihan isu dealnya perpanjangan kontrak Freeport, justru dalam situasi ini, rakyat disuguhkan dua problem besar yang perlu dihadapi. Dua-duanya memiliki urgensitas yang tinggi untuk dihadapi oleh gerakan rakyat. Dengan situasi ini, menunggu keberpihakan Jokowi tidak bisa menjadi prioritas. Akhirnya, kekuatan rakyatlah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan KPK. Maka ‘rakyat yang tidak jelas’ ini perlu teguh pada momentum yang telah diciptakan bersama-sama.
Kekuatan rakyat bisa melampaui normativitas gerakan pemberantasan korupsi yang ada saat ini. Pelampauan ini dikonversi menjadi kesetiaan (fidelity) atas ‘kebenaran’. ‘Kebenaran’ dimulai dari proses subjektivisasi, yaitu keinginan subjek dalam situasi partikular yang kemudian menempatkan kebenaran di cakrawala. Partikular-partikular di sini adalah perjuangan rakyat secara baru dalam aksi pemberantasan korupsi. Meminjam istilah filsuf Alan Badiou, ‘kebenaran’ di sini mengandung kebaruan serta memberikan jarak manusia dari relativitas sehari-hari. Ketika dalam situasi kontemporer, secara ensiklopedia korupsi dikonsepsikan sebagai pencurian uang rakyat, maka ke depan korupsi perlu diekstrapolasi menjadi pengetahuan baru berupa tak hanya pencurian uang rakyat dalam makna normative, tapi juga pencurian atas ‘nilai lebih.’ Sehingga aksi yang perlu didorong adalah pembongkaran atas relasi koruptif pemerintah dengan korporasi-korporasi besar yang jelas-jelas merugikan rakyat dalam jangka panjang. Dengan pijakan pengandaian seperti ini maka menghadapi kasus pelemahan KPK dan perpanjangan kontrak Freeport adalah satu kesatuan aksi dengan tujuan yang sama.
Momentum ini pun bisa menjadi aksi politis gerakan kelas pekerja untuk bersolidaritas memperluas gerakannya, tidak hanya pada problem hak-hak normatif yang ekonomistis. Karena kelas pekerja punya peran penting dalam pemberantasan korupsi untuk menghancurkan korporatokrasi yang selalu ditopang oleh deal-deal antara negara dengan pemilik kapital. Kasus pelemahan KPK adalah problem bersama, bukan hanya konsumsi kelas menengah atau para intelektual kampus. Dengan kata lain, kelas pekerja adalah bagian penting dari gerakan rakyat yang perlu hadir untuk menyelamatkan KPK. Hal ini memang bukan aksi yang mudah, apalagi dengan polarisasi sentimen masyarakat warisan pilpres yang masih mengendap. Tapi tidak mustahil, bukan?***
Penulis adalah alumnus Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Beredar di twitterland dengan akun @Dodi_Fdh