INDONESIA adalah Negara hukum. Doktrin ini secara literer dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat diatur oleh hukum. Itu sebabnya mengapa kita sering mendengar para pakar hukum yang membahasakan bahwa ‘di mana ada masyarakat di situ ada hukum, dan di mana ada hukum di situ ada masyarakat.’
Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia sedang diterpa berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling krusial adalah tentang persoalan pemberantasan korupsi. Di tengah maraknya penangkapan aparat Negara penegak hukum yang terlibat kasus korupsi, berakibat pada munculnya gelombang ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi penegak hukum. Hal ini kemudian bercampur dengan kentalnya unsur politik dalam upaya penegakan hukum yang akhirnya berdampak pada kondisi psikologis masyarakat.
Kisruh yang tengah berlangsung antara KPK vs POLRI, sudah barang tentu sangat menyita perhatian masyarakat. Carut marutnya informasi terkait posisi hukum dan politik dua lembaga ini, ditambah dengan pemberitaan media yang bertumpu pada sensasionalisme berita, menggiring masyarakat pada sebuah keadaan yang membingungkan. Opini-opini yang berkembang di tengah publik cenderung tidak mendidik secara politik sehingga terkesan memecah belah dan menyederhanakan kompleksitas masalah.
KPK yang dipandang sebagai lembaga super body terkait upaya pemberantasan korupsi, sejauh ini menjadi satu-satunya lembaga yang dipercaya mampu menuntaskan persoalan korupsi yang menggurita di negeri ini. Namun, di saat yang bersamaan masyarakat juga dibuat tercengang dengan tingkah para pemberantas korupsi tersebut. Hal tersebut erat bertaut dengan kecurigaan bahwa para komisioner KPK tidak menjalankan tugas sesuai prosedur sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang. Hal itu dibuktikan dengan adanya putusan praperadilan terhadap Budi Gunawan.
Melihat opini yang berkembang di tengah masyarakat terkait putusan pengadilan tersebut, saya terdorong untuk ikut berkomentar terkait putusan tersebut. Berlatar pengetahuan soal hukum yang saya pelajari di kampus, saya akan mengajukan beberapa argumentasi yang dilandaskan pada kajian singkat beberapa sumber hukum yaitu :
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHP
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri
- Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Sumber-sumber hukum di atas kemudian dalam analisisnya dikombinasikan dengan data sekunder yang dikumpulkan dari teks berjalan (running text) beberapa media audio-visual (televisi). Keterbatasan akan akses terhadap data primer, disebabkan karena isi putusan praperadilan, belum juga diperoleh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap struktur putusan hukum tersebut.
Sebagai suatu kasus/perkara, putusan PN Jakarta Selatan tentang gugatan praperadilan Budi Gunawan, dapat dianalisis dari beberapa versi. Argumentasi prematur ini didasarkan pada pendekatan sebagai pihak yang netral, dengan berlandaskan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat juga bahwa Hakim Praperadilan bersifat Hakim Tungggal, maka tentu sangat besar kemungkinan jika segala hasil putusan juga tidak objektif, melainkan subjektif. Analisis ini juga mengacu pada sejarah Sarpin sebagai hakim peradilan yang dinilai memiliki ‘rekam jejak yang buruk’ di hadapan para aktivis, yang disebabkan keputusannya untuk membebaskan seorang terdakwa tindak pidana korupsi.
Analisis terhadap permasalahan ini saya dasarkan pada beberapa fakta baru yang mengemuka sepanjang berlangsungnya proses peradilan, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Kedudukan KPK dengan kewenangan yang sangat besar
- Objek praperadilan
- BG bukan Pejabat Negara
- Putusan praperadilan bersifat final
Dari empat poin di atas, penjelasan secara spesifik akan diarahkan untuk secara singkat menjabarkan relasi antara fakta-fakta persidangan tersebut dengan produk hukum perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi.
Fakta persidangan pertama terkait kedudukan KPK dengan kewenangan yang dianggap terlampau luas. Walaupun sebenarnya hal tersebut sudah dengan jelas ditegaskan oleh UU No. 20/2001. Kemudian juga ikut ditegaskan dalam UU No. 30/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30/2002 tentang KPK.
Penjelasan umum mengenai UU No. 20/2001 menjelaskan antara lain, “mengingat korupsi di Indonesia terjadi sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa”.
Sedangkan penjelasan umum atas UU No. 30/2002 tentang KPK, menjelaskan antara lain bahwa, “tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah terjadi suatu kejahatan luar biasa”.
Istilah ‘luar biasa’ pada kedua penjelasan umum perundangan di atas menunjukkan, tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), sehingga proses penyelesaiannya harus pula dilakukan dengan cara-cara yang ‘dianggap luar biasa’. Atas dasar penjelasan dari dua UU tersebut di atas, maka kritikan terhadap KPK yang dinilai merupakan super body (lembaga super) adalah kritikan yang keliru.
Fakta kedua yang menyangkut objek praperadilan dapat ditelusuri dengan mengacu pada KUHAP Pasal (1) butir 10, yang merumuskan bahwa “praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus acara yang diatur dalam Undang-undang ini, tentang:
- Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.
Jika dikaji secara sederhana, maka rumusan praperadilan berkenaan dengan 2 (dua) tindakan hukum yakni ‘penangkapan’ dan ‘penahanan’. Redaksi rumusan tersebut berkaitan dengan ‘tersangka’, yakni pihak yang dikenakan penangkapan dan penahanan karena dicurigai melawan hukum. Di dalam KUHAP disebutkan bahwa penangkapan adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1 Butir 20). Sedangkan penahanan adalah “penetapan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. (Pasal 1 Butir 21).
Dari segi objek praperadilan, maka penangkapan dan penahanan lazimnya dikenal dan diterapkan pada Tindak Pidana Umum seperti kejahatan pembunuhan, pencurian, atau pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sedangkan jika mengacu pada yang diatur dalam UU No. 20/2001 dan UU No. 30/1999, maka yang disebutkan adalah Tindak Pidana Khusus. Jika kasus praperadilan menimpa seseorang dengan status tersangka dalam kasus gratifikasi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Khusus dengan demikian seharusnya praperadilan tidak dapat diberlakukan. Sebabnya, praperadilan hanya diberlakukan atas dan untuk kepentingan yang dimaksudkan oleh Tindak Pidana Umum. Praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan KUHAP merupakan bagian hukum pidana formal dan hukum pidana material, yang menjelaskan putusannya keterkaitan lembaga praperadilan pada tindak-tindak pidana khusus (seperti tindak pidana korupsi).
Putusan praperadilan dalam kasus Budi Gunawan juga bertentangan dengan sistem pemeriksaan saksi. Yaitu dengan menghadirkan saksi seorang penyidik KPK yang notabene berasal dari institusi yang sama dengan terdakwa, yaitu lembaga POLRI. Sebabnya, sudah dapat dipastikan hampir tidak mungkin seorang saksi yang merupakan bawahan, dapat memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa paksaan, tekanan, jika ia kemudian bersaksi secara terbuka untuk pimpinannya. Jenis kesaksian seperti itu bertentangan dengan ketentuan KUHAP yang menyebutkan bahwa “mereka yang pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka” (Pasal 70 ayat (1).
Pembebasan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi juga sebenarnya diatur dalam Pasal 168 KUHAP. Bagian ini mengatur bagaimana seorang saksi dapat mengundurkan diri karena merupakan anggota keluarga sedarah dan lainnya dengan terdakwa, atau jikalau saksi berstatus anak-anak dan atau orang gila (Pasal 171 KUHAP). Dengan begitu, argumentasi mengenai tidak adanya perangkat hukum yang mengatur penyimpangan jenis kesaksian seperti yang terjadi dalam kasus Praperadilan yang menimpa Budi Gunawan ternyata dapat ditemukan dalam KUHAP. Argumentasi mengenai kekosongan hukum ini, dengan sendirinya mendorong kita untuk memberikan perhatian terkait revisi KUHAP untuk mempertegas wajibnya tidaknya seorang saksi yang berasal dari struktur organisasi yang sama, atau saksi mengundurkan diri dan dijamin haknya secara hukum untuk tidak memberikan kesaksian.
Pada fakta persidangan ketiga, tersangka Budi Gunawan kemudian dinyatakan bukan sebagai pejabat Negara. Dalam teks berjalan (running text) yang disebar oleh beberapa media audio-visual (televisi) disebutkan bahwa, Sarpin sebagai Hakim Praperadilan menyatakan bahwa BG bukan pejabat Negara. Pendapat ini sangat keliru, karena tindak pidana korupsi tidak hanya dapat ditimpakan kepada seseorang sebagai pejabat Negara, tapi juga kepada unsur non-pejabat negara. Kekeliruan lainnya adalah ketika Sarpin menyatakan bahwa ia menemukan “tidak adanya unsur kerugian Negara”.
Kekeliruan tersebut dapat dianalisis lebih jauh dengan membaginya ke dalam beberapa poin. Pertama, ialah proses praperadilan dan putusannya bukan lembaga peradilan seperti Pengadilan Tipikor dengan proses yang lebih panjang dan rumit. Praperadilan pada kasus Budi Gunawan hanya memutuskan sah tidaknya penangkapan dan/atau penahanan, bukan menyatakan bersalah (ajudikatif) seperti kewenangan putusan yang dimiliki oleh Pengadilan Tipikor. Hakim Praperadilan dengan demikian telah melampaui batas kewenangannya dan bukan memeriksa dan menafsirkan adanya kerugian Negara.
Terkait perihal status Budi Gunawan yang dinyatakan bukan sebagai pejabat Negara memiliki beberapa kebenaran literer dalam undang-undang. Dalam UU No. 28/1999 disebutkan bahwa mereka yang disebut sebagai sebagai pejabat Negara (pasal 2), ialah:
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat tersebut kemudian dicurigai menjadi alasan bagi Sarpin sebagai Hakim Praperadilan menyatakan, bahwa Budi Gunawan yang ketika itu menjabat sebagai Kakorlantas (Kepala Korps Lalu Lintas) bukanlah pejabat Negara, sehingga penetapan tersangka yang menimpa Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Namun pendapat ini memiliki kekeliruannya sendiri karena hanya memandang kompetensi KPK semata berkaitan dengan pejabat Negara dan keuangan Negara. Padahal, siapa saja, baik pejabat Negara maupun bukan, termasuk warga negara sipil non-pejabat negara tidak terkecuali dapat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK jika kemudian ditemukan terindikasi merugikan negara.
Dengan demikian, keputusan Sarpin dalam posisinya sebagai Hakim Praperadilan yang memberi penekanan terhadap status BG yang bukan pejabat Negara dan dianggap tidak merugikan keuangan Negara, secara hukum telah melampaui batas kewenangan (ultra petita). Tindakan melampaui kewenangan hukum inilah yang merupakan salah satu praktik penyebab rusaknya struktur dan sistem peradilan di Indonesia.
Terkait fakta persidangan keempat terkait putusan dalam praperadilan yang menilai bahwa keputusan tersebut bersifat final. Kabareskim POLRI sendiri bahkan menyatakan bahwa jika kasus ini terus dilanjutkan oleh KPK, maka para komisioner KPK akan ditangkap karena dianggap menyalahi prosedur yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Pendapat ini memang mengandung sedikit kebenaran karena KUHAP memang menyatakan dalam salah satu ketentuannya bahwa putusan praperadilan bersifat final. Tetapi KUHAP juga menyebutkan bahwa terdapat pengecualiannya terkait keputusan final dalam praperadilan. Pasal 83 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 60, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”. Tetapi Pasal 83 ayat (2) KUHAP, menyatakan “dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.”
Itu sebabnya pernyataan yang datang dari mantan Hakim Agung, Harifin Tumpa yang menegaskan bahwa KPK dapat meminta petunjuk pada Mahkamah Agung, benar secara hukum. Karena KUHAP menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi” (Pasal 88). Ketentuan ini terkait dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yang mengemukakan pengecualiannya serta dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi (banding). Atas dasar permintaan banding inilah, Mahkamah Agung, menurut pasal 88 KUHAP, berwenang untuk mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
Memang, kuasa hukum Budi Gunawan telah menyatakan bahwa paska Praperadilan maka status hukum Budi Gunawan sebagai tersangka telah selesai dan menutup pintu terhadap kemungkinan lahirnya upaya hukum lainnya. Tetapi jika kita merujuk pada dasar hukum mengenai pengajuan banding dan kasasi yang diatur oleh KUHAP, maka peluang pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat di tempuh oleh KPK.
Salah satu alasan dan dasar hukum pengajuan PK ialah terjadinya ultra petita, yang diperagakan oleh hakim Sarpin dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan.***
Penulis adalah Wasekum bidang Kajian dan & Advokasi Kohati PB HMI