Daftar Isi:
- Marx dan Pendidikan bagi Kaum Buruh
- Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia: Kegagalan Agenda Neoliberal dan Transformasi Oligarki
TIDAK dapat dielakkan, dalam konflik antara KPK dan Polri akhir-akhir ini, rakyat banyak berposisi di belakang lembaga pemberantasan korupsi. Berbagai elemen masyarakat, dari mulai aktivis NGO, akademisi, buruh, tani, hingga ibu-ibu pengajian menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap KPK. Hal ini tentu saja merupakan kecenderungan yang baik, yang menunjukkan bahwa lambat laun apatisme politik yang diwarisi oleh rezim Orde Baru selama puluhan tahun mulai memudar dan mengalami lompatan kualitas.
Dalam hal ini, meskipun konflik juga tak kunjung reda, kita mulai dapat melakukan refleksi sampai sejauh mana gerakan-gerakan tersebut menunjukkan efektifitasnya. Apalagi, konflik-konflik semacam ini sudah beberapa kali terjadi, yang merupakan pengalaman berharga bagi gerakan rakyat menuju masyarakat adil dan sejahtera.
Tetapi, apa yang sebenarnya rakyat dapatkan dari kisruh yang berulang kali menimpa KPK tersebut? Apakah, misalnya, rakyat semakin terjaga dari praktik-praktik korupsi? Karena akar masalah korupsi adalah adanya relasi yang timpang terhadap penguasaan sumber daya dan kontrol terhadap negara antara para elit politik dan rakyat kebanyakan, maka selama kita tidak pernah menyentuh akar masalahnya yang sebetulnya berada pada aras ekonomi–politik, masa masyarakat adil dan sejahtera bahkan sulit dibayangkan, apalagi terwujudkan.
Masalahnya, gerakan yang ada selama ini masih dilandasi oleh sentimen moralis yang membuat kita tidak pernah menyentuk problem ekonomi politiknya. Karena itu, niscaya yang kita dapatkan tidak lain adalah lingkaran setan yang terus berulang, dan gerakan yang timbul akhirnya tidak lebih dari gerakan-gerakan yang sifatnya defensif.
Di satu sisi, di belahan dunia lain kita melihat ekspresi gerakan rakyat yang cukup kontras dengan apa yang kita alami di sini, yaitu kemenangan Kiri Radikal Syriza di Yunani. Syriza dapat dirangkum sebagai ekspresi politik dari gerakan rakyat yang berlawan terhadap neoliberalisme. Dari Syriza, kita belajar sebuah bentuk “harapan” yang lain sama sekali dari “harapan” yang ada di Indonesia yang masih bertumpu pada figur, yang saat ini sudah jelas tidak pernah berniat sama sekali untuk menguatkan kapasitas partisipasi rakyat, apalagi mengubah struktur ekonomi-politik yang timpang. Melalui Syriza kita belajar bagaimana rakyat berlawan dan mencoba untuk memenuhi harapan-harapann melalui kekuatannya sendiri, melalui organisasinya sendiri yang terstruktur dan terpimpin dan bukan menitipkan harapan tersebut pada satu figur dan kemudian harap-harap cemas apakah figur tersebut memenuhi segala harapan rakyat atau tidak.
Dalam semangat untuk terus berlawan inilah Left Book Review (LBR) kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Untuk edisi kali ini, kami menghadirkan dua review menarik dari Dicky Dwi Ananta yang mengulas buku Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz. Melalui ulasan ini, kita dapat melihat bagaimana praktik-praktik korup pasca reformasi dapat operatif dalam kerangka desentralisasi, yang pada asumsi awalnya dibuat justru untuk menciptakan iklim pemerintahan yang lebih bersih dan demokratis.
Review kedua hadir dari Bayu Baskoro Febianto yang mengulas buku Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner karya Robin Small. Dalam ulasan ini, kita dikenalkan oleh Marx sebagai seorang pemikir pendidikan radikal, yang sejajar dengan para pemikir teoritis seperti Locke, Rosseau dan Dewey dalam dunia pendidikan.
Akhir kata, selamat membaca dan tetap berlawan!