SIAPA menduga akan terjadi hujan berkepanjangan yang disusul banjir di sebagian besar wilayah Jakarta pada Minggu kedua bulan Februari 2015 ini? Orang awam tentu tidak menduganya. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mestinya dapat memperkirakannya, tapi tak kita dengar peringatan bahaya dininya. Kali ini, tanpa didahului perkiraan dan peringatan bahaya, banjir lagi-lagi memporakporandakan Jakarta, ibukota Negara, dimana seluruh kekuasaan politik dan ekonomi di Republik ini terkonsentrasi. Sebetulnya, tanpa perkiraan dan peringatan dini sekalipun, nyaris seluruh warganya dapat menerka resiko petaka banjir selalu mengintai tiap kala hujan hadir dalam curah besar. Tapi warga kota ini sudah terbiasa memilih berharap semua akan selalu baik-baik saja.
Sementara itu, siapa di antara kita yang menduga bahwa paska pemilu presiden (pilpres) 2014, dalam waktu singkat terjadi begitu banyak kegaduhan politik elit dan silih berganti perkara yang mendera presiden terpilih? Mereka yang golput akan mengaku telah menduganya, sebagaimana mereka telah mempropagandakan selama pemilu bahwa tidak akan terjadi perubahan politik apapun yang signifikan bagi kepentingan rakyat kebanyakan. Mereka yang mendukung kandidat capres lainnya tentu juga dapat mengklaim telah menduga, dan karenanya kini merasa berhak untuk mengumumkan bahwa semua akan berbeda bila bukan Jokowi yang jadi Presiden. Seperti perasaan warga kota Jakarta terhadap banjir, mayoritas dari kita memilih berharap semua akan selalu baik-baik saja dalam dunia politik.
Sebagaimana warga kota Jakarta, kebanyakan dari kita sesungguhnya juga pura-pura tidak tahu bahwa masalah utamanya bukanlah banjir atau kegaduhan politik elit itu sendiri. Masalah utamanya adalah relasi kuasa yang timpang dan korup, yang mengakibatkan kita tidak dapat menghindar dari banjir dan kegaduhan politik yang merugikan rakyat kebanyakan. Pada saat banjir dan kegaduhan politik melanda maka histeria dan disorientasi (kehilangan arah) lah yang berkuasa. Kita ingin keluar dari kondisi yang mencekam tersebut sesegera mungkin dan berharap tidak perlu kembali mengalaminya lagi. Nyatanya, yang kita alami banjir hebat terus berulang tak terelakkan, begitu juga drama ‘Cicak versus aneka Reptilia-reptilia’ terus berulang-ulang.
Pada titik inilah kita harus dapat merefleksikan kesamaan antara banjir yang merendam Jakarta dengan banjir informasi kegaduhan politik elit yang merendam nalar sehat kita bersama. Banjir air yang terus menghantam Jakarta, secara sederhana adalah karena terbatasnya kemampuan lingkungan fisik yang ada menyerap maupun menyalurkan air agar tidak menggenangi daerah yang dipergunakan untuk aktivitas sosial masyarakat (rumah, jalan raya, dst). Sementara banjir informasi kegaduhan elit terjadi karena media massa, yang mayoritas dimiliki dan dikuasai oligarki, memasok bertubi-tubi dan menggenangi nalar dan kesadaran sosial kita bersama tanpa adanya alternatif saluran dan medium untuk mengalirkan ataupun menyerapnya agar kita tidak tenggelam dalam kebingungan.
Kedua jenis banjir tersebut membuat kita bingung dan putus asa. Keduanya mengepung kita hingga kita nyaris terputus akses sama sekali dari kondisi yang kita anggap layak. Secara khusus, bila berkaca pada serial konflik korupsi elit yang telah berjilid-jilid episodenya dalam beberapa tahun terakhir, maka pertanyaan yang menghantui dan butuh jawaban jujur adalah: apakah sesungguhnya hasil pertarungan episode ‘cicak’ sebelumnya telah membuat rakyat semakin berdaya dan terlindungi dari praktek-praktek korupsi? Yang kita dapatkan adalah lingkaran setan kasus kontroversi terkait KPK yang terus berulang. Akibatnya, kita berulang-ulang tersita tenaga untuk kerja-kerja defensif untuk mempertahankan keadaan agar tidak semakin buruk dan berbahaya. Kerja-kerja dan aksi-aksi yang tentu saja benar secara moral, tapi jelas tidak punya daya untuk menghentikan akar masalah dan karenanya tidak mampu mencegahnya agar jangan terus berulang. Bagi rakyat kebanyakan, hasilnya adalah kebingungan yang rentan memantik apatisme pada politik, termasuk terhadap gerakan anti korupsi.
Mungkinkah kita dapat keluar dari lingkaran setan masalah – banjir dan drama kegaduhan korupsi elit – yang seharusnya dapat diperkirakan, dapat diatasi dan tentunya dapat dicegah untuk tidak terus berulang? Pertanyaan ini sudah pernah dijawab dengan formula moral: pemimpin yang ahli, pemimpin yang mengutamakan kerja, pemimpin yang punya gaya berbeda, pemimpin yang punya integritas. Varian lain dari formula ini adalah dorongan melakukan penguatan lembaga-lembaga Negara – termasuk komisi-komisi yang hadir sebagai lembaga tambahan negara (state auxiliary).
Sangat logis dan masuk akal bahwa kita perlu kepemimpinan yang kuat dalam menggerakkan transformasi untuk perubahan sosial. Persoalannya sudah terang benderang bahwa pemimpin atau lembaga yang ingin dikuatkan dan diidealkan selalu berhadapan dengan kekuasan, kepentingan, dan manuver politik partai-partai oligarki. Jadi jelas bahwa kepemimpinan membutuhkan kekuatan yang melandasinya. Kekuatan dengan landasan yang kokoh dan berdaya tahan lama. Karena elit-elit penguasa yang lama atau pun akar-akar masalah yang sudah hadir sejak lama tentu tidak akan mau kehilangan posisi dan kepentingannya begitu saja. Kekuatan yang dibutuhkan untuk melawan kekuasaan yang telah mengakar menyejarah dan berjaringan luas dalam berbagai lapisan dan sektor kehidupan masyarakat. Singkatnya, diperlukan basis dan formasi kekuatan yang memiliki cara bergerak alternatif pula untuk menyelesaikan masalah kedua banjir yang kita hadapi.***