KITA semua sudah familiar dengan lelucon Gus Dur yang satu ini: hanya ada dua polisi baik di negeri ini, Polisi Hoegeng dan Polisi Tidur. Selebihnya tidak ada. Tentu saja ini hanya ilustrasi—keadaan sesungguhnya tidak sejelek itu.
Beberapa waktu lalu muncul berita yang cukup menggelikan namun menerbitkan harapan. Seorang pemuda menabrak seorang polisi. Berbeda dengan kebanyakan polisi yang kita kenal—kebanyakan polisi, terlebih lagi di daerah, pasti akan bangun dan menghadiahi si penabrak bogem mentah plus bonus lainnya—si polisi dalam berita tersebut malah membantu si jejaka itu dan membawanya ke rumah sakit. Namun, si jejaka, seperti para warga yang tunduk pada hukum lainnya, harus membayar kerusakan yang diderita si polisi. Memang secara de jure si pemuda itulah yang salah; ia meleng sewaktu berkendara.
Pepatah lama ‘rejeki nggak kemana’ ternyata masih berlaku pula saat berurusan dengan polisi; setidaknya dalam kasus si pemuda ini. Setelah keluar dari rumah sakit, sang polisi bertandang ke rumah pemuda, mengembalikan uang ganti rugi, lalu menjodohkannya dengan adik perempuan si polisi. Setelah mendengar cerita ini, tiba-tiba kami ingin belajar naik motor dan menabrak polisi. Pasalnya, sekali tabrak, dua-tiga pulau terlampaui.
Sayangnya, berita indah á la iklan layanan masyarakat semacam itu jarang kita temui dalam kenyataan. Saking jarangnya, kita seolah-olah tak percaya. Terus terang, saya sendiri kala membaca berita itu jadi terpingkal-pingkal sendirian. Barangkali memang bangsa kita ini agak sulit mendengar berita bahwa ada saja polisi yang baik. Mungkin juga, seandainya di depan kita ada seorang polisi yang baik, misalnya membantu seorang tua menyeberangi jalan, kita pasti punya prasangka buruk tentang polisi tersebut. ‘Ini pasti ada apa-apanya.’ Tapi ya mau bagaimana lagi, berita tentang polisi brengsek jauh lebih banyak. Lagi pula, memang jarang kita mendengar berita positif tentang apapun di negeri ini. Sekali muncul berita positif yang mengandung harapan, tak perlu hitungan tahun, sudah pupus harapan itu. Sebagai warga negara Indonesia, kita sudah terlalu lama di-php-in kehidupan bernegara kita sendiri.
Film-film India, Bollywood itu, saudara-saudari, tentu juga penyebab stereotyping buruk kita terhadap polisi. Polisi di film India selalu datang setelah api padam, tentu dengan perut—jelas bahwa perut buncit di tengah masyarakat yang sengsara adalah simbol korupsi—berlari pun setengah mati seperti orang jarang olahraga. Anehnya, menghadapi narasi seperti itu, masyarakat kita biasa saja. Tidak ada sedikit pun rasa keheranan, seolah-olah mau mengatakan, ‘Ya begitulah polisi.’ Barangkali memang sosok polisi dalam film-film Bollywood setali tiga uang dengan keadaan polisi di negeri kita sendiri. Tak heran, film Bollywood digemari.
Pernah, lantaran kehilangan ATM, saya harus mengurus surat kehilangan di salah satu kantor polres terdekat di bilangan Jakarta Pusat. Kantornya yah bisa dikatakan cukup menyedihkan. Berada di samping warteg, tertutup oleh gedung-gedung lain dan rumah-rumah yang lebih mentereng darinya. Dua polisi seumuran 50-an tahun, setidaknya dari tampang mereka saya taksir, main catur sambil menyeruput kopi. Berseragam tetapi bertelanjang kaki. Sepatu mereka tergeletak di sudut ruangan. Salah satu dari polisi meninggalkan papan catur dan menerima laporan saya. Prosesnya tidak terlalu lama. Dalam hitungan menit, surat kehilangan pun kelar. Namun Pak Polisi tak serta merta menarik kertas dari mesin ketik dan menyerahkan pada saya. Sebaliknya, ia menawari saya sebatang Dji Sam Soe.
Ia tahu dimana kampus saya, bahkan bisa menggambarkan dengan baik. Sebagai anak muda yang mulai suka membaca literatur kiri, tertarik dengan gerakan kiri, serta mulai mengenal beberapa aktivis kiri—singkatnya anak muda yang sok radikal—seketika saya waspada. Namun begitu mata saya menangkap papan catur yang ditinggalkannya tadi, kewaspadaan saya pun lenyap. Di pos satpam kampus saya memang sering beberapa orang berseragam polisi mampir di sore hari dan nongkrong. Kadang-kadang beradu catur dengan satpam yang tengah bertugas, kadang ngobrol-ngobrol biasa, kadang saling diam sambil menyaksikan berita di TV. Pak satpam dan polisi kerapkali sama-sama merasa asing dengan gonjang-ganjing politik yang diberitakan. Justru sayalah yang merasa lebih dekat.
Pak polisi di depan saya pun agaknya setipe. Warna seragamnya mulai memudar, mbladhus, terkesan sudah lama dipakai tanpa diganti. Gespernya pun sudah mulai terkelupas kulitnya. Caranya menarik rokok mengesankan kepasrahan nasib, nasib wong cilik. Cerita yang keluar dari mulutnya ngalor-ngidul, sementara saya grogi memikirkan jam kuliah yang sebentar lagi tiba.
Dulu, Dik, ceritanya, saya ngawal tuh mahasiswa-mahasiswa yang demo, termasuk si Anu (dia seorang aktivis yang kini sudah ‘jadi orang’—dan teman-temannya. Waktu dia dilantik—ia menyebutkan sebuah posisi politik yang cukup tinggi di negeri ini—saya juga ikutan jaga. Demo itu nggak apa-apa. Kalau jago bisa nanjak kariernya. Yah, kalau saya mah apa, Dik. Waktu dia—nama orang tadi disebutnya lagi—masih mahasiswa, demo, gaji saya gini-gini aja. Waktu dia dilantik, gini-gini juga. Sampai sekarang gini-gini juga.
Sampai di sini, saya tahu diri. Saya biarkan ia bercakap, sesekali saya timpali, sebelum saya mohon diri pulang. Ketika bersalaman, saya tempelkan 50 ribu rupiah di tangannya. Cara ini pun saya ketahui dari satpam kampus, ketika saya menanyakan proses mengurus surat kehilangan.
Beberapa saat sebelum menulis Oase ini, saya mendapatkan pesan broadcast berisi daftar rekening gendut pejabat polisi. Angkanya? Tak usah ditanya. Wajar jika sejumlah kawan menggelar aksi memprotes pencalonan Komjen Budi. Saya lantas mengamini, di negeri ini, di dalam bentuk dan institusi mana pun, yang kecil selalu bekerja untuk para elitnya. Para elit menuai dan terus menuai, sementara si kecil cuma bisa tersenyum pasrah menerima nasib buruk yang mengintai sejak di kandungan hingga nafas tertinggal satu-satu.***