MUSIBAH dan bencana bukan hal yang dapat ditiadakan dalam kehidupan masyarakat dalam sepanjang sejarah. Demikian pula yang kita alami dan saksikan di penghujung akhir tahun 2014, ketika berbagai musibah mendera. Salah satunya yang paling menyita perhatian masyarakat adalah peristiwa kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501. Peristiwa kecelakaan ini diberitakan secara luas dan cukup detil di berbagai media. Patut disyukuri, keberadaan pesawat segera dapat diketahui sekalipun kita semua berduka mengetahui bahwa penumpang pesawat tidak dalam keadaan selamat. Korban jiwa penumpang mulai ditemukan, sementara itu pencarian penumpang tersisa lainnya masih terus diupayakan oleh tim penyelamat.
Praktek sosial menghadapi bencana/musibah adalah fenomena yang sebetulnya tidak kalah penting untuk dipahami ketimbang bencana/musibah itu sendiri. Dalam kehidupan sosial dimana informasi tersedia dalam jumlah dan akses yang melimpah, ternyata kita tetap menghadapi bencana/musibah dengan selubung kabut kebingungan. Media massa tidak hanya mengantarkan informasi yang menerangi tapi juga dijejali spekulasi dan histeria yang mengaduk emosi dan tak jarang menebalkan kebingungan.
Pemberitaan sensasional dan dramatisasi kesedihan dari musibah/bencana, masih menjadi andalan sejumlah media untuk merebut perhatian publik. Perhatian yang pada gilirannya berefek mengatrol rating/tingkat popularitas dalam kompetisi di antara kalangan industri media dan lainnya yang terkait. Seolah kecaman dan kegusaran banyak kalangan atas cara pemberitaan dan penayangan berita –khususnya oleh televisi — yang tidak peka dengan perasaan keluarga dan adab kepantasan ini tidak ada artinya.
Frekuensi publik sepertinya semakin kehilangan kuasanya pada kekuatan dan kepentingan komersial, termasuk atas informasi. Sementara itu, sayangnya, kehidupan bersama di ‘alam media sosial’ ternyata belum mengantarkan kita pada kendali publik yang lebih beradab dan mencerdaskan. Mungkin karena sebagian besar informasi yang beredar di media sosial melandaskan pada operasi produksi informasi dari media arus utama. Investigasi kritis dan edukatif masih langka. Belum jadi gerakan massif sebagaimana, dalam derajat tertentu, kita saksikan pada momen politik pemilu yang baru saja berlalu beberapa bulan lalu.
Sensasi, histeria, kesimpangsiuran informasi baik di media massa arus utama maupun media sosial membentuk cara kita merangkai berbagai cerita yang menyertai berita musibah/bencana. Berbagai cerita yang mengendap dalam ingatan kolektif kita sebagai masyarakat menjadi bentuk pemahaman dan cara menanggapi bencana/musibah. Kerangka utama cerita yang dominan selama ini tampaknya melihat musibah/bencana sebagai kutukan, nasib buruk, atau kesalahan oknum dan atau prosedur. Artinya semua bisa dihindari bila sesuatu yang baik dan normal tidak dilanggar.
Pertanyaan yang kurang dijelajahi lebih jauh oleh kita bersama: ‘apa yang membentuk kenormalan dan kebaikan tersebut. Kekuasaan semacam apa yang membentuk kenormalan prosedur dan kebaikan sikap yang diandaikan ada tersebut?’ Kita tidak belajar dari pengalaman melalui bencana/musibah tentang sejauh mana pentingnya keterkaitan relasi sosial yang mempengaruhi susunan penyusun (struktur) bencana/musibah.
Kita dipertontonkan pagelaran tindakan pejabat negara yang mengambil kesimpulan dan vonis tanpa didahului penyelidikan yang tuntas dan dipertanggungjawabkan kepada publik secara ilmiah. Kita membiarkan sikap keras pejabat pemerintah yang bergaya ala jagoan di film laga tanpa menuntut penjelasan yang lebih strategis. Pemerintah lolos dari tanggung jawab menjelaskan secara komprehensif mengenai kekacauan sistem dan prosedur transportasi publik (dalam kasus bencana ini: dunia penerbangan).
Menteri perhubungan mengajarkan lewat tindakannya bahwa kesalahan ada pada maskapai penyedia jasa penerbangan dan bukan pada kacaunya sistem yang telah dihancurkan oleh keserakahan kepentingan pasar. Sementara itu, pemerintah tidak diminta menjelaskan mengenai kaitan antara dinamika transportasi publik dengan konteks pembangunan ekonomi politik selama ini yang bernafsu mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengambil manfaat dari krisis ekonomi global.
Akibatnya dari satu bencana tragis ke yang berikutnya kita, sebagai masyarakat, tidak belajar mengubah banyak kekuasaan yang mengatur dan mengelola transportasi publik. Kita lebih terbiasa menerimanya sebagai nasib buruk dan kesalahan prosedur. Pembelajaran yang kritis dan progresif dari pengalaman menghadapi bencana kecelakaan pesawat udara mestinya menguatkan kesadaran kita bahwa kekuatan pengubah ada pada masyarakat.
Mencegah berulang dan bertambahnya musibah/bencana tragis terkait transportasi publik adalah tantangan mendesak, karena kita tidak mungkin membawa perjalanan hidup kita bersama ke arah histeria apalagi ketakutan berlebihan akan nasib buruk. Upaya membangun dan menjaga standar keselamatan dan kelayakan transportasi publik harus mulai ditumpukan pada kekuatan demokratis masyarakat untuk berpartisipasi aktif mengendalikan sistem transportasi publik.***