Marxisme dan Sosiobiologi (Bagian 1)

Print Friendly, PDF & Email

DALAM tulisan kali ini saya akan memperkenalkan pembaca pada sosiobiologi. Di sini belum akan ada ulasan kritis apalagi membongkar logika gerakannya, seperti yang Martin lakukan terhadap Libertarianisme dan Pascamodernisme. Mudah-mudahan di bagian-bagian berikutnya saya bisa ajukan ‘kritik imanen’ atas teori-teori sosiobiologi.

David Barash (etolog), Robin Fox (antropolog), Pierre van den Berghe (sosiolog), dan Richard Dawkins (biolog), hanyalah segelintir nama yang sohor sebagai penyokong penerapan biologi Darwinian dalam menjelaskan perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan manusia. Ilmu mereka dikenal sebagai ‘sosiobiologi’.

Sosiobiologi resmi dibaptis ketika Edward O. Wilson menerbitkan Sociobiology: the new synthesis pada 1975. Sebetulnya tak ada yang ajaib dengan isi buku ini. Tujuannya menjelaskan perilaku dan sifat-sifat binatang-binatang sosial dengan metode dan asas-asas biologi populasi dan teori evolusinya Darwin. Sebagian besar isi buku setebal nyaris 700 halaman ini berkenaan dengan binatang-binatang sosial selain manusia. Hanya bab terakhir saja Wilson membicarakan Homo sapiens (nama biologis manusia). Meski cuma satu bab, gemanya terdengar jauh sampai menarik banyak pendukung dan pengritik sekaligus.

Sebelum Wilson yang seorang ahli entomologi, sebetulnya sudah ada karangan-karangan yang mengarah ke apa yang kelak disebut sosiobiologi. Misalnya buku populer The Naked Ape (1967) yang ditulis Desmond Morris, kurator mamalia di Kebun Binatang London. Di buku ini Morris berpendapat bahwa perilaku manusia modern sebagian besar merupakan produk evolusinya sebagai primata. Keluarga konjugal monogami, misalnya, alih-alih produk kreativitas kultural, sebetulnya tak lebih dari ideologisasi atas pradisposisi biologis primata untuk membentuk ikatan-sepasangan dalam hubungan kawin sebagai siasat reproduksi.

Buku bestseller lain, The Imperial Animal (1971) ditulis bersama dua orang antropolog, Robin Fox dan Lionel Tiger. Agak lebih cendikia, dalam buku ini keduanya mengajukan teori bahwa manusia diperlengkapi ‘tatabahasa biologis’ (biogrammar), semacam cetakan-cetakan yang mempredisposisi perilaku manusia menurut alur tertentu. Tatabahasa biologis ini merupakan hasil akhir evolusi Homo sapiens sehingga sifatnya universal, tak pandang beraneka ragamnya kebudayaan bikinan masyarakat. Tatabahasa ini menjadi batas-batas yang memungkinkan atau tidaknya perubahan perilaku tertentu oleh kebudayaan. Dalam bahasa para rahib abad pertengahan Eropa, tatabahasa biologis ini semacam kodrat atau sifat-sifat dasar manusia.

Seperti diakui para pendirinya, sosiobiologi adalah reaksi terhadap apa yang mereka sebut Model Baku Ilmu Sosial (MBIS). Semua teori dan pendekatan ilmu sosial yang beraneka rupa itu sebetulnya turunan dari satu anggapan bahwa perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan manusia sedikit atau malah tidak ada sama sekali kaitannya dengan biologi si manusianya. Perilaku manusia itu cair, bebas, dan manasuka karena satu-satunya sumber program perilaku itu kebudayaan yang hakikinya cair, bebas, dan manasuka. Kemanasukaan kebudayaan ditopang kapasitas simbolik manusia, dan seperti semua perlambang, tak ada rujukan objektif praktik kebudayaan. Boleh dikata, MBIS, entah itu diturunkan dari tradisi idealisme Prancis, romantisme Jerman, atau pragmatisme Amerika, percaya bahwa pikiran dan kesadaran manusia—sumber segala tindak simbolik—ialah kertas kosong yang ke dalamnya masyarakat dan kebudayaan menorehkan catatan-catatan panduan perilakunya.

Ketika Wilson membakukan apa itu sosiobiologi, salah satu tujuannya ialah mengajari para ilmuwan sosial bahwa mereka keliru. Biologi manusia ada urusan dengan kehidupan sosial manusia. Ibarat semut di seberang Pulau Pramuka jelas kelihatan, sementara gajah di pelupuk mata tak tampak, begitu pula ilmuwan sosial tak melihat betapa biologi manusia, satu-satunya bukti keberadaan material manusia itu sendiri, punya peran penting dalam membentuk perilaku, organisasi sosial, dan kebudayaan. Kebutaan turunan para teoritisi sosial, salah satunya disebabkan pengabaian terhadap warisan terbesar ilmuwan terbesar sepanjang abad modern, Charles Darwin.

Darwin, petualang legendaris, pengumpul kupu-kupu yang cermat, dan pialang saham yang kawin dengan sepupu keduanya itu, telah menemukan hukum-hukum alam yang mengatur asal-usul, perkembangan, dan kepunahan mahluk hidup tanpa mengutip sebaris pun ayat dari Alkitab. Apabila biologi Darwin sukses menjelaskan binatang-binatang lainnya, mengapa tidak ilmu itu diterapkan juga pada binatang manusia. Hanya karena pandai mencipta perlambang, bukan berarti manusia sudah berhenti menjadi binatang.

Semua sosiobiolog sepakat biologi Darwinian penting untuk mengangkat harkat martabat ‘ilmu’ sosial dari sekadar filateli menjadi ilmu sejati seperti halnya biologi. Salah satu konsepsi Darwinian yang melandasi sosiobiologi ialah teori ‘kecocokan’ dan ‘seleksi alam’. Teori ini dimulai dengan asumsi bahwa di dalam setiap populasi di setiap generasinya, keturunan dihasilkan lebih banyak ketimbang sumberdaya yang bisa mencukupinya. Karena itu, di setiap populasi ada perjuangan untuk berlanjut hidup di antara organisme-organisme. Hanya organisme yang cocok dengan lingkungan terbatas ini sajalah yang punya peluang berlanjut hidup. Mereka cocok untuk hidup apabila punya ciri-ciri anatomis, fisiologis, dan keperilakuan yang cocok dengan kondisi-kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang ciri-cirinya menunjukkan keuntungan adaptif berpeluang mewariskan lebih banyak keturunan dan menikmati apa yang disebut ‘keberhasilan reproduktif’. Dalam istilah Darwinian, mereka ini punya lebih besar ‘kecocokan’ alamiah. Sekali cocok, organisme-organisme ini akan mewariskan ‘hasil usaha’ evolusioner mereka ke keturunan-keturunannya. Warisan yang dikembangbiakkan menghasilkan populasi yang cocok juga dengan alam. Hasil akhirnya ialah suatu sifat dasar yang terus dibawa organisme-organisme sebagai anggota spesies.

Asumsi lain ilmu Darwinian ialah bahwa organisme ialah unit paling mendasar dari seleksi alam. Seperti semua calon mertua, alam menyeleksi mana organisme yang cocok dengan anaknya, dan mana yang tidak. Yang diterima akan melanjutkan hidup, kawin, dan berkembang biak. Yang tidak diterima akan melanjutkan hidup sebentar, menjomblo, lalu punah saat mati. Karena alam menyeleksi secara ketat (ingat asumsi keterbatasan sumberdaya di muka), sifat dasar setiap organisme berevolusi sesuai dengan kepentingan-kepentingan reproduktifnya yang egoistik. Mengapa egoistik? Karena di tengah-tengah persaingan mendapatkan sumberdaya terbatas dan tekanan untuk berlanjut hidup, masuk akal bila organisme mementingkan dirinya sendiri. Apabila hanya ada rumput untuk sepuluh kerbau, maka masuk akal apabila ketiga puluh kerbau akan mementingkan diri sendiri dahulu untuk mendapatkan porsi rumput yang tersedia itu. Bukan pula sekadar mendapatkannya, tetapi kalau bisa lebih banyak porsinya dibanding kerbau-kerbau lain supaya reproduksi berhasil.

Jadi, sifat egois itu bukan pilihan di antara banyak pilihan. Itu satu-satunya pilihan dalam ekonomi-politik alam. Seandainya saja kerbau-kerbau itu dikhotbahi komunis-komunis degil untuk dan menjalankan prinsip ‘memberi sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan’ demi hidup sama-rata sama-rasa, maka alam akan memusnahkan semua kerbau. Ingat ya, alam cuma punya rumput untuk sepuluh kerbau, padahal ada tiga kali lipat kerbau di alam. Kalau semua kerbau sepakat membentuk koperasi sama-rata sama-rasa, maka masing-masing kerbau hanya akan mendapatkan sepertiga sumberdaya yang memungkinkan mereka berlanjut hidup. Dengan hanya sepertiga, tak satu pun kerbau bisa melanjutkan hidup pada Rabu depan.

Apakah Darwin tidak pernah baca koran bahwa organisme-organisme dari spesies-spesies tertentu juga sering bertindak altruistik dengan mengorbankan diri seperti jomblo-jomblo Kiri yang rela tak menikmati indahnya malam minggu bersama pacar demi membangun gerakan proletariat sadar jender di Indonesia yang kapitalistik nan patriakhis ini? Darwin tahu. Dan altruisme boleh dibilang salah satu tampakan yang banyak ditemukan di antara binatang sosial. Serangga, subjek keahliannya Wilson, misalnya, punya kasta tentara yang secara biologis terspesialisasi untuk mempertahankan sarang demi kelangsungan hidup kelompoknya. Apabila ada serangan terhadap sarang, mereka yang akan pertama bertempur. Taruhannya mati. Karena pertahanan dan keamanan merupakan soal hidup matinya keluarga besar, mereka harus piket patroli seharian, rapat komite sentral semalaman, dan membangun pertahanan sarang seumur hidup. Tak ada janji ketemuan, makan malam di kafe ‘urban’, atau nonton film horor dengan gadis idaman mertua atau jejaka tampan pujaan yang sama-sama penggemar Drama Korea.

Tampaknya altruisme semut prajurit ini bertentangan dengan asumsi Darwin soal keegoisan organisme. Darwin sendiri, meski tahu, belum bisa menjawab jeritan para jomblo militan yang mencari penjelasan soal arti penting altruisme mereka bagi kelompok. Pada 1964 William Hamilton, panteon kedua biologi setelah Darwin, mengajukan pendapat bahwa apa yang membuat seolah kontradiksi ini sebetulnya berakar pada sempitnya cakrawala biologi abad kesembilan belasnya Darwin. Saat itu sel baru ‘ditemukan’. Gen dan DNA belum. Ketika abad keduapuluh gen ditemukan, Hamilton yakin bahwa sebetulnya gen dan bukan organisme yang merupakan unit fundamental seleksi alam. Seleksi alam beroperasi di situ untuk melestarikan yang cocok atau mendelet gen-gen yang tak cocok. Hamilton menggambarkan operasi ini sebagai ‘kecocokan inklusif’. Kecocokan organisme tidak hanya soal keberlanjutan hidupnya sendiri, tetapi mencakup keseluruhan gen-gennya yang terwakili di dalam kolam gen kelompok, populasi, atau spesiesnya. Misalnya ada tiga organisme keturunan dari orangtua yang sama. Karena dari orangtua yang sama, ketiganya ‘mengandung’ gen-gen yang dibagi bersama. Apabila sumberdaya yang ada hanya untuk dua orang, maka demi kelangsungan hidup keluarga, satu orang mengorbankan diri supaya saudara-saudaranya bisa berlanjut hidup, kawin, bereproduksi, dan menghasilkan keturunan-keturunan untuk generasi berikutnya. Memang raga organisme si altruis lenyap dari pandangan mata karena tak berlanjut hidupnya, namun gen-gennya yang juga dibagi bersama dengan saudara-saudaranya tetap lestari di antara gen-gen keturunan saudaranya itu. Menurut sosiobiolog, kecenderungan orang untuk berkumpul dan membela kerabat terdekatnya merupakan produk dari mekanisme ‘seleksi kerabat’ demi kecocokan inklusifnya sebagai para ‘pembawa gen’ kelompok.

Dari wawasan biologi Darwinian serta temuan-temuan terbaru terkait asal-usul (filogeni) manusia, perilaku primata terdekat manusia, dan kajian paleoekologi Plio-Pleistosen (3,5 juta tahun silam sampai 100 ribu tahun silam) tempat leluhur manusia diseleksi alam, sosiobiolog mendaftar beberapa sifat dasar atau predisposisi biologis manusia. Salah satunya sifat egoistik. Secara ontologis altruisme tidak ada. Altruisme (yang dalam kehidupan manusia memungkinkan kerjasama, persekutuan, serikat buruh) hanyalah fungsi dari egoisme yang lebih fundamental. Karena lebih fundamental, maka tatanan sosial yang memungkinkan mengemukanya sifat egoistik boleh dibilang tatanan alamiah yang cocok dengan disposisi biologis asali manusia. Karena itulah sosiobiolog bilang:

Di lubuk hatinya, para Marxis itu pengikut Rousseau, yang mencari landasan suatu sistem ekonomi pada gagasan bahwa orang-orang secara mendasar begitu mulia dan cenderung berbagi apa yang mereka secara sukarela turut serta dalam suatu rejim yang mengambil ‘dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya’, dan memberi ‘kepada tiap-tiap orang menurut kebutuhannya’. Di ranah negara-negara bangsa, keegoisan kapitalistik telah terbukti menjadi yang lebih efektif dalam mendorong upaya swasta dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana di dalam ranah biologi evolusioner altruisme asli itu jarang dan kemungkinan saja untuk muncul, meski ada, itupun niscaya hanya di bawah paksaan dan manipulasi tertentu.[1]

Kapitalisme bukan salah satu tatanan sosial-ekonomi yang baik, tapi satu-satunya. Tak ada alternatif lain. Apabila Fukuyama bilang sejarah berakhir saat kapitalisme dan demokrasi liberal juara, sosiobiolog yakin sejarah manusia berakhir ketika Homo sapiens tampil sebagai juara di antara spesies-spesies hominin 200 ribu tahun lalu. Kapitalisme hanya mengafirmasi kecocokan sifat dasar Homo sapiens untuk berlanjut hidup di bumi ini. Itulah mengapa kapitalisme tetap sehat wal afiat sampai saat ini.

Sifat dasar manusia lainnya ialah hirarkis. Maksudnya, manusia cenderung mengorganisasi diri dengan sesamanya ke dalam sistem bertata-tingkat, atau sistem yang di dalamnya persaingan demi kedudukan tinggi merupakan yang penting. Selain dari teori seleksi alamnya Darwin, mereka menemukan ‘sifat dasar’ ini dari ‘tatabahasa biologis’ yang dipunyai semua primata. Karena manusia juga primata, dan di dunia primata hirarki merupakan mekanisme adaptif yang lestari, amat masuk akal apabila sifat ini pula yang diwarisi manusia dari leluhur keranya. Dari sini sosiobiolog bilang, musuh ilmu salah satunya ialah

utopianisme abad kesembilan belasnya Marx dengan gagasan romantisnya bahwa apabila kita bisa membikin betul cara produksi dan sistem relasi-relasi sosial, semua ketimpangan sosial akan lenyap dan kodrat manusia akan disempurnakan (atau setidaknya, ditingkatkan harkatnya)[2]

Dan bahwa

kelemahan terbesar kritik Marxis dan Marxian atas kapitalisme dan perjuangan melawan penindasan ialah kegagalan mereka memprakirakan kemunculan kembalinya ketimpangan. Sejarah menunjukkan bahwa setelah revolusi datanglah… revolusi yang lain. Masalah-masalah sosial muncul kembali dengan masing-masing himpunan solusi-solusi yang mengarah ke masalah-masalah baru…[3]

Dalam pandangan mereka ketimpangan, ketidakadilan, 1 persen versus 99 persen bukanlah produk kebudayaan, tapi sudah kodrati. Daripada berupaya tak kenal lelah mencoba mengubah kodrat, lebih bagus kalau kita mulai menerima saja kenyataan dan coba-coba saja bareng Bank Dunia dan pialang-pialang Wall Street untuk membangun masa depan jaya umat manusia bersama kapitalismenya.

Kalau pembaca berprasangka bahwa di balik penciptaan kategori MBIS dan kritik para sosiobiolog atasnya terselubung niatan heroik mereka untuk menyerang Marxisme dan ‘ideal-ideal politik dan sosial’ sosialismenya, memang benar. Langsung atau tidak, sorot mata para sosiobiolog tertuju pada Marxisme. Meski demikian, dibanding musuh-musuh lainnya dibarisan ilmuwan, “Marxisme dan neo-Marxisme meninggalkan dunia alamiah dan dengan demikian bukan pesaing”[4].

Buat Marxisme sendiri, dibanding filsafat pascamodernisme yang sekian lama dijadikan saksang oleh Martin, sosiobiologi jauh lebih bernyawa untuk diperangi. Tak seperti dukun-dukun ‘posmo’, sosiobiolog bersenjatakan temuan-temuan ilmu baru dari khazanah ilmu alam dalam menyerang Marxisme. Apabila Marxisme juga mendaku diri sebagai ilmu dan Marxis adalah ilmuwannya proletariat modern, maka sudah saatnya para Marxis berani mencebur ke dunia di luar kerangka tradisional kritik ekonomi-politik Marxis dan bergelut dengan ‘dunia alamiah’. Tentu saja kita bisa melancarkan kritik ideologi atas sosiobiologi. Bahwa sosiobiologi hanya antek-antek akademisnya kapitalis. Bahwa mereka diongkosi kaum modal, dan seterusnya. Namun ini belum cukup meyakinkan orang-orang di luar barisan akan kebenaran Marxisme sendiri beserta ideal-ideal politiknya. Tak ada seorang muslim pun yang bisa diyakinkan bahwa kelak di akhirat Dewa Siwa yang berlengan empat itu yang akan mengadili roh-roh manusia apabila pendakwah menyodorkan bukti-bukti dari Kitab Veda atau Upanishad.

Marxis harus sanggup berlawan dengan senjata yang sama dengan yang menyerangnya. Biologi dan disiplin-disiplin turunan kontemporernya mesti menjadi bagian dari Marxisme. Oleh karena itu sudah saatnya Kawan Coen dan barisan komite sentral IndoPROGRESS merekrut mahasiswa dan sarjana-sarjana biologi.***

 

————

[1] D.P. Barash (2001) Revolutionary Biology: the new, gene-centered view of life. New Brunswick: Transaction Publishers, h. 197.

[2] J.H. Barkow (2005) ‘Introdcution: sometimes the bus does wait’, dalam J.H. Barkow (ed.) Missing the Revolution: darwinism for social scientists. Oxford: Oxford University Press, h. 13.

[3] Ibid., h. 37.

[4] Ibid., h. 40.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.