‘SAMPAI sekarang para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan beragam cara; pokok sebetulnya ada pada mengubahnya’.
Saya kira pembaca tahu pernyataan heroik dari Marx ini. Ditilik dari tempatnya, yakni di tesis kesebelas atas Feuerbach, pernyataan ini semacam kesimpulan. Kesimpulan dari apa? Dari pergulatan dua tahun lebih dengan para filsuf dan filsafat pada umumnya. Marx sudah ada di tepian filsafat dan sejak itu berfilsafat di sana dengan keingintahuan yang mencemaskan ada apakah di balik jurang yang terbuka di tubir filsafat itu. Dan apabila saya hidup pada tahun 1845, entah sebagai juru ketik atau loper di koran Rheinische Zeitung, mungkin saya akan berpikir ‘nah ini dia, filsuf yang sedang akan berhenti jadi filsuf… kira-kira apa yang dihasilkan orang macam begini setelah ini ya?’. Seperti kita tahu sekarang, yang dihasilkannya setelah itu ialah serangkaian karya-karya besar sepanjang 38 tahun sisa hidupnya, yang tanpanya abad kedua puluh dijamin akan beda tampang dan dinamikanya. Banyak orang kagum luar biasa atau malah benci alang kepalang terhadap ‘karya-karya besar’ ini. Meski sudah dikabarkan mati berulang kali, ‘tidak relevan’ atau ‘are joking?’, pemikiran di dalam ‘karya-karya besar’ itu nyatanya punya lebih dari sembilan nyawa.
Tulisan terakhir Martin di kolom Logika, buat saya, mirip dengan sebelas tesis Feuerbach. Bukan cuma keheroikan isinya, tapi juga kengerian kesimpulannya. Dua tahun pula Martin telah bergulat dengan ‘para filsuf’ yang selama ini menemaninya mengisi pikirannya. Apakah Martin juga akan melakoni perjalanan semacam yang Marx alami setelah mengambil kesimpulan bahwa kita mesti menemukan kembali Marxisme? Seperti juru ketik Rheinische Zeitung di tahun 1845, saya sekarang juga mengajukan pertanyaan yang sama: ‘kira-kira apa yang dihasilkan orang yang sudah sampai taraf ini setelah ini?’
Jujur saja, saya membayangkan akan ada suatu ‘karya-karya besar’ yang akan dilahirkan Martin kelak. Meskipun pikiran saya belum mantap betul ihwal apa yang akan saya kerjakan sebagai ‘pengurus’ kolom Logika, ditambah dengan beban dari para ‘pecinta’ tulisan Martin yang pasti menagih suatu kualitas yang setaraf dengan tulisannya, karena bayangan inilah saya bersedia menggantikannya mengurus kolom ini. Tentu saja diiringi was-was yang harus ditenangkan oleh kawan-kawan saya.
Kalau diingat-ingat lagi, perjumpaan pertama saya dengan Martin ialah lewat buku pertamanya Imanensi dan Transendensi. Saya sedang menyelesaikan tulisan saya ihwal Kapitalisme sewaktu bukunya dibedah di Jogjakarta pada 2009. Meski titip beli kepada seorang teman yang ikut bedah bukunya, tidak terbersit secuil pun minat menghadirinya. Apalagi dalam acara itu buku Martin diulas oleh anak muda cemerlang lainnya, Muhammad Al-Fayyadl, yang tahun sebelumnya menerbitkan buku tentang Derrida yang diberi kata pengantar oleh mantan hero saya, Goenawan Mohamad. Dari desas-desus, saya sudah bisa tebak arahnya. Gila. Satu lagi anak muda terjerumus ke lembah ‘itu’. Mau jadi apa kita, pikir saya. Setelah al-Fayyadl, ini satu lagi anak muda lain yang berjalan di rel yang sama menuju jurang yang sama pula. Seperti jenis ‘cerdik pandai urban’ kebanyakan di Jakarta, yang sungguh nyaman rasanya ngalor-ngidul bicara dialek posmo yang susah dimengerti orang kebanyakan dan keren rasanya menuliskan nama “Žižek” di dalam tulisan—bagaimana tidak, untuk sekadar menuliskan namanya saja, kita perlu ‘insert’ mencari ‘symbols’ yang cocok—tampaknya Martin bermaksud menjadi ‘tokoh’ tambahan di dunia ‘kontemporer’-nya anak-anak muda urban.
Buat saya, perkenalan itu sungguh menyakitkan dalam dua arah. Pertama, mengapa mesti ada lagi anak muda yang terjerumus ke pergaulan posmo yang obrolannya selalu diwarnai dialek aneh itu. Ada kecenderungan ngeri di sini. Anak-anak muda berpikiran cemerlang, kalau tidak menjadi pialang atau konsultan investasi pasar berjangka, ya menjadi posmo. Kedua, seandainya pagi itu saya tidak sarapan, tidak mustahil saya muntah karena pusing membacanya. Di akhir bab pertama, saya sempat berpikir, apakah memang bahasa ‘kontemporer’ memang ajaib begini, ataukah karena IQ saya kurang memadai? Setelah ditimbang, ada kemungkinan IQ memang variabel penting. Namun isi dan cara menulisnya sungguh mengingatkan saya pada julukan Mao terhadap para posmo radikal di antara anggota partainya, yakni para penulis ‘bergaya delapanan’ yang sepintas kelihatan ‘cerdik cendikia’ dan njelimet itu. Mungkin Althusser ada benarnya bahwa secara naluriah filsuf atau intelektuil itu borjuis kecil, sejenis ‘kelas menengah’ yang suka hal-ihwal revolusionernya Marxisme asalkan ramah dan canggih layaknya tulisan orang sekolahan.
Namun ternyata, takdir berkata lain. Martin banting setir ke jurusan yang sebelumnya tak saya tebak. Alih-alih melanjutkan proyek posmonya dan menjadi ‘cerdik pandai urban’, dia malah ke Marxisme-Leninisme. Coba kita tunggu apa yang dihasilkannya, pikir saya waktu itu. Dan buku keduanya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme terbit. Meski masih menyisakan ‘gaya delapanan’ yang ajaib, saya justru mendapatkan pencerahan. Apalagi ketika buku ketiganya, Materialisme Dialektis terbit dan seperti menjawab pertanyaan yang mendekam di lubuk hati terdalam ini. Ditambah dengan esai-esai pendeknya di kolom Logika. Ah, sudah sampai dia di sana. Betapa bahagianya satu anak muda terselamatkan.
Namun ternyata Martin bukan sejenis Marxis seperti saya. Bedanya tegas sekali. Saya mempelajari Marxisme karena didorong oleh ideal-ideal politik dan sosial sosialismenya. Boleh dibilang saya ini sekadar ‘fans’. Karena itulah dalam semua tulisan saya yang lalu-lalu, pembaca pasti mudah sekali menemukan bahwa kesimpulan dari penelitian saya sudah ditetapkan sedari halaman pertama, bahwa Marx itu benar, dan Marxisme itu benar karena dia itu baik, mulia, dan cocok dengan ideal-ideal politik yang saya anut. Martin tidak demikian. Dia itu seperti pemikir sepenuhnya. Buatnya, ‘ideal-ideal politik’ tidak boleh menghalangi pencarian kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah itu bukan seberapa teguh iman pada apa yang dikatakan ‘tokoh’. Bukan pula seberapa heroik kita membelanya dengan suara lantang. Iman dan suara lantang hanya untuk fans bukan pemikir. Apakah lantas Martin kurang Marxis? Di sini saya ingat potongan suratnya Engels buat Paul Lafargue:
Marx menolak tegas ‘ideal-ideal politis dan sosial’ yang Anda alamatkan padanya. Ketika kita adalah ekonom, ‘ilmuwan’, kita tidak pegang ideal-ideal, kita kembangkan hasil-hasil ilmiah, dan apabila kita juga secara politis terlibat, kita berjuang bagi ideal-ideal itu dengan membawanya ke dalam praktik. Namun, ketika kita pegang ideal-ideal itu saat berilmu, kita tidak bisa menjadi ilmuwan karena apabila demikian maka kita lantas bias sejak semula (Engels 1995: 183).
Foto diambil dari https://beyondcomplicated.files.wordpress.com
Seperti diingatkan Martin di banyak tulisannya, Marxisme itu ilmu. Inti dari ilmu ialah metode. Marxisme itu bukan ilmu kalam atau teologi dan Das Kapital sebagai Alkitabnya. Menjadi Marxis bukan berarti fasih mengutip dan mencocok-cocokkan realitas dengan kutipan itu. Menjadi Marxis berarti, pertama-tama, seperti semboyan kegemarannya Marx, ‘de omnibus dubitandum’, kita mesti meragukan segalanya. Dan Martin paham betul apa artinya. Di tengah-tengah kecenderungan pemahaman soal Marxisme di Indonesia yang berpangkal pada prasangka, baik yang revolusioner maupun konservatif, Martin meragukan kebenaran Marxisme itu sendiri terlebih dahulu. Karena keraguannya itu, ibarat penganten baru dari suku Baruya di Papua Nugini yang diuji ketangguhannya, Martin harus keluar dari kampungnya, dan membuka ladang baru di tepi belantara. Orang-orang kampung hanya membekali dengan perkakas, benih, dan doa keselamatan. Dengan perkakas, benih, dan doa itulah Martin membuka ladang baru, memeliharanya, dan kelak, setelah lapar sekian lama, insya Alloh akan memanen hasil kerjanya sendiri. Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, kerja kerasnya akan membuahkan apa yang diharapkan ketika pertama kali berniat keluar kampung. Kedua, setelah sekian lama mencoba, babi hutan, cuaca buruk, nyamuk, dan segala aral merintangi terwujudnya kemungkinan pertama dan Martin kembali ke kampung dengan tangan hampa. Atau ketiga, aral yang melintang menggerogoti semangat dan akhirnya Martin menerima rayuan duniawi, pergi ke kota dan sekadar menjadi juru ketik di Rheinische Zeitung.
Sebagian orang keberatan atas pilihan Martin ini. Alasannya, Marxisme sudah benar sedari semula. Tentu saja ada codet di sana sini. Tapi kita mestinya menerima saja Marxisme apa adanya dan berangkat dari sini bukannya malah meninggalkannya. Inilah alasan para ‘fans’ (Martin maupun Marxisme). Memang seperti ditandai Martin, resiko menemukan kembali Marxisme ialah tidak menemukannya sama sekali. Bagi para fans tentu ini bisa jadi gempa yang mengguncang tanah tempat kita biasa berpijak, merobohkan rumah yang selama ini kita nyaman tidur dan bermimpi di dalamnya, dan dinding rumah yang roboh itu menimpa sedan yang bisa mengantar kita ke masa depan cemerlang.
Mereka yang keberatan lupa bahwa tentu saja Marxisme adalah sosialisme, ‘ideal-ideal politik dan sosial’. Tetapi Marxisme juga adalah ilmu. Ilmu harus berkembang. Kategori, konsep, dan teori-teorinya mesti diperbaharui dengan alasan yang sama kita mengganti air di kolam renang. Kategori, konsep, dan teori-teori hanyalah air yang lama-lama akan keruh apabila sering dipakai. Bila sudah demikian, mereka harus disaring, disaring ulang, atau kalau perlu dibuang. Tanpa upaya demikian ilmu Marxis akan keruh dan tak bisa membaca realitas. Yang perlu dilakukan bukanlah memeluk teguh kategori, konsep, dan teori-teori Marx, tapi metodenya. Sudah sering ilmu itu dipakai untuk membongkar kapitalisme, menunjukkan boroknya, dan menawarkan jalan keluar. Upaya bongkar, tunjuk, dan menawarkan ini sudah dilakukan berjuta-juta orang. Sudah banyak pula kita di Indonesia mengkopi-paste bongkaran itu. Dari bongkaran itu kita bisa bicara bahwa kapitalisme itu eksploitatif dan ilusilah bila kita pikir nilai itu berasal dari penilaian subjektif para aktor pasar karena yang benar nilai itu berasal-usul dari kerja. Tapi apakah dengan mengulang-ulang pernyataan ini wibawa Marxisme sebagai ilmu beranjak dari kolong gudang kampus-kampus kita? Rasanya belum. Setidaknya itu yang terpikir oleh Martin. Memang ada yang tidak beres dengan dinafikannya Marxisme. Tetapi apakah ada gunanya kita mengulang-ulang pernyataan bahwa pendepakan Marxisme itu ulah mereka yang takut padanya dan terus-menerus mengoperasikan perang ideologi atas pemikirannya? Apakah tidak ada faedahnya kita mulai mencari akar persoalan di dalam diri kita sendiri? Jangan-jangan kita sendiri yang telah membikin Marxisme kampungan dan ketinggalan jaman dengan merapal dan merapal saja kerjaannya? Saya kira, pertanyaan seperti ‘masih relevan?’ atau ‘Marxism? In Indonesia? Are You Joking?’ yang dilontarkan di facebook atas proyeknya Martin, berangkat dari taraf kampungannya apa yang dimengerti sebagai ‘marxisme’ di Indonesia.
Untuk mengangkat kembali wibawa Marxisme, menurut Martin, kita tidak bisa sekadar menambal retakan yang ada, memulas genting bocornya, atau menegakkan dinding miringnya. Mestilah kita membangunnya kembali dengan pasir, semen, dan batu-bata yang tersedia di abad ini sampai ia menjadi bangunan kokoh. Dan untuk itu kita mesti bongkar pondasi lamanya, membangun pondasi (logika dan ontologi) baru yang dari situ kerangka bangunan (epistemologi) disusun dan didirikan supaya dapat menyangga dinding penjelasan (filsafat ilmu) atas wilayah atap yang menaungi kritik Marxis atas sosial-ekonomi (ilmu sosial) secara kokoh.
Saat ini kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa ‘Marxisme begitu perkasa, sebab ia benar’, hanya karena Lenin bilang begitu. Neurosains, psikologi evolusioner, ekologi perilaku, sosiobiologi, genetika, fisika pasca Newton, ekonomika pasca-equilibrium, dan sederet ilmu baru lainnya tidak mungkin kita tepis begitu saja sambil berkata: ‘ah…itu jebakan borjuis’ sambil berpura-pura tidak ada temuan baru. Apabila demikian, hasilnya tak akan lebih dari dogmatisme dan involusi Marxisme. Dan seperti bocah yang makan banyak junk food, Marxisme di tangan kita mengalami obesitas dan sulit bergerak di tengah-tengah serangan bertubi-tubi yang dilancarkan musuh-musuh Marxisme yang berbekal semua temuan baru itu. Seperti halnya Marx dan Engels menghadapi ilmu-ilmu abad kesembilan belas dengan teguh dan berani, saya kira Martin sedang mencobai dirinya untuk mengetahui seberapa tangguhkah apa yang dipahaminya sebagai ‘Marxisme’ menghadapi abadnya sendiri; abad yang tidak hanya ada neoliberalisme dan penyesuaian strukturalnya, fundamentalisme dan fideisme anti-nalarnya, posmo dan relativisme brutalnya, tetapi juga abad dengan neurosains, genetika, dan psikologi evolusioner yang menjadi persembunyian terakhir konservativisme yang hendak mengalamiahkan kapitalisme beserta kerongsokan tatanan sosialnya.
Berani bergelut dengan temuan-temuan baru di luar kerangka tradisional Marxis, tidak hanya dari filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu baru, sudah terlihat dalam artikel terakhirnya di Indoprogress: Jurnal Pemikiran Marxis yang bertema ‘Intensionalitas Fisik’. Di situ, Martin membuktikan kebenaran materialismenya Marx tanpa mengutip satu pun ayat dari korpus Marxisme. Argumentasinya disusun sedemikian rupa berbekalkan temuan-temuan filsafat fisikalisme dan neurosains paling mutakhir. Saya kira model macam beginilah yang kelak diterapkan Martin dalam proyek ‘menemukan kembali Marxisme’-nya.
Dalam edisi perkenalan ini perkenankan saya mewanti-wanti kepada para pembaca kolom Logika bahwa apa yang akan Anda dapatkan tidak akan setaraf, semodel, dan segaya tulisan-tulisan dan penalarannya Martin. Martin memang hebat. Dia paham sejarah pemikiran sehingga bisa melacak tiap tendensi pemikiran yang hendak dibahas atau dikritiknya. Tulisannya begitu jernih dan ketat, logikanya kuat, dan soal komitmen serta dedikasi tak usah ditanya. Saya tidak begitu. Mirip pun tidak. Saya dididik sebagai antropolog yang lebih terbiasa dengan data empiris ketimbang olah pikir. Apalagi dengan tetek bengek kalkulus predikatnya. Rentang pengetahuan saya atas ‘tendensi-tendensi’ pemikiran juga amat terbatas. Apalagi bila berurusan dengan ‘yang kontemporer’. Karena inilah saya jamin tidak sedikit pembaca yang akan kecewa. Namun dengan segenap hati saya akan berupaya bersumbangsih dalam proyek renaisans Marxime-nya IndoPROGRESS yang digawangi Kawan Coen dengan menulis di kolom Logika ini.
Salam kenal.***
Jatinangor, 5 Januari 2015
Kepustakaan:
Engels, F. (1995) ‘Engels to Paul Lafargue, About 11 August 1884’, dalam Karl Marx and Frederick Engels Collected Works, Vol. 47, h. 179-83. New York: International Publisher