SEWAKTU saya kecil sampai remaja awal, banyak yang konstan dalam hidup saya. Dua di antaranya adalah Presiden Republik Indonesia selalu Soeharto, sementara salah satu Ketua Rukun Tetangga di kampung kami selalu Achmad Yusron, ayah saya. Keluarga Ayah termasuk yang paling lama tinggal di kampung kami. Bahkan, boleh dibilang, tanah di kampung kami semula hampir semuanya dimiliki kakeknya dari pihak ibu. Ia tak beruntung beroleh paman-paman yang gemar kawin-cerai dan berjudi, sehingga persil-persil keluarga berpindah tangan ke orang-orang yang akhirnya menjadi tetangga kami.
Kami tinggal di Kampung Gendong Selatan, Semarang. Sewaktu kecil, saya merasa kampung saya ini panjangnya seperti Jalan Raya Pos sekalipun sebetulnya hanya ada delapan rumah di tiap sisinya. Kampung ini terdiri atas dua blok, yang Utara masuk ke dalam RT 6 yang dipimpin oleh Ayah, sementara yang Selatan RT 7 dipimpin oleh Pak Bari. Penghuni RT 6 lebih banyak daripada RT 7, karena di blok kami ada daerah kantong—untuk masuk ke sana harus melewati lengkong atau gang kecil—dengan beberapa rumah di sana dengan sebuah sumur sebagai titik berkumpul.
Saya tak tahu apa yang dilakukan sehari-hari Pak Bari sebagai Ketua RT. Setiap teringat kepadanya, saya malah lebih terkenang kepada pohon wuni yang ada di samping barat rumahnya. Pohon ini rasanya sekarang makin jarang saya temui dan saya sudah berpuluh tahun tak memakan buahnya. Padahal, buah wuni yang berbentuk butiran-butiran kecil ini sama enaknya saat mentah maupun matang. Jika mentah enak dijadikan pelengkap sambal rujak dan jika sudah matang enak dimakan langsung karena rasanya manis .
Sebagai Ketua RT, ada rutinitas yang dilakoni Ayah, yaitu menerbitkan surat pengantar untuk berbagai keperluan warga: pembuatan KTP atau SIM atau Surat Keterangan Berkelakuan Baik atau kelengkapan administrasi menikah dan masih banyak lagi. Saya sering menemani Ayah saat warga bertamu. Saya tak ingat pasti mengapa dua kakak lelaki saya yang berselisih dua dan empat tahun di atas saya tak tertarik melakukan hal yang sama. Mungkin, bagi mereka rasa senang saya melihat Ayah menuliskan nama-nama orang di lembar surat pengantar—yang ia sediakan sendiri, ia bekerja di percetakan saat itu sehingga memungkinkannya membuat yang semacam itu dengan biaya murah—terlalu kekanak-kanakan. Mungkin, mereka juga tahu bahwa saya selalu senang membubuhkan cap RT di tanda tangan Ayah dan mereka tak ingin mengambil kegembiraan kecil itu dari saya.
Ayah saya melayani permintaan warga secara cuma-cuma. Semestinya semua orang sudah tahu itu karena pada masa itu Ketua RT 6 tidak pernah bukan Ayah. Namun, sesekali ada juga warga yang bandel mengangsurkan uang sebagai tanda terima kasih. Mereka melakukannya dengan malu-malu, disertai permintaan maaf jika jumlahnya tak seberapa. Biasanya yang menyodorkan uang adalah warga berdarah Tionghoa yang tinggal di barisan rumah yang memunggungi rumah kami. Ayah menolak dengan mengucapkan terima kasih, tanpa malu-malu. Maka, tangan yang sudah maju tertarik kembali dengan wajah si pengangsur menjadi lebih tersipu lagi.
Bila ingin meminta surat, warga bisanya datang ke rumah kami bada Maghrib—Ayah sendiri baru pulang sekitar pukul lima sore. Sampai 1980, rumah kami hanya beroleh pasokan daya listrik sebesar 50 watt dari saluran bertegangan 110 volt. Daya itu terlalu rendah sehingga bila kami ingin menyalakan pesawat televisi, kami harus memadamkan lampu di ruang depan dan ruang tengah dan sebagai penerang kami menyalakan lampu teplok dan lilin. Maka, menemui tamu di keremangan menjadi kelaziman saat itu.
Dari sekian jenis surat pengantar, ada yang cukup banyak dimintakan warga, yaitu surat jalan. Waktu itu saya tak paham, lebih tepatnya tak memikirkan, mengapa warga kampung kami memerlukan surat pengantar jika ingin pergi ke luar kota. Saya malah lebih sering membayangkan kota-kota yang menjadi tujuan mereka. Setiap kali Jakarta disebut, saya cemburu. Entah bagaimana awalnya, sepertinya setiap tetangga saya mempunyai kerabat di Jakarta yang bisa mereka kunjungi. Keluarga kami tidak. Keponakan-keponakan Ayah semuanya tinggal di Semarang, keluarga Ibu tinggal di Purwodadi, Kudus, dan kota-kota kecil lain di Jawa Tengah (saya sendiri baru sempat ke Jakarta pada 1984, itu pun bukan untuk berlibur melainkan mengantar Ibu yang berobat ke Sanatorium Cisarua).
Pada awal 1980-an, kampung kami kedatangan beberapa warga ‘baru’ yang tak saya kenal sebelumnya. Mereka orang kampung kami juga. Ada yang ayah kawan sepermainan, ada yang paman. Mereka baru pulang dari Pulau Buru atau tempat lain sebagai tahanan politik. Mereka juga beberapa kali datang ke rumah untuk meminta surat pengantar. Di KTP mereka ada tanda ET, Eks Tapol.
Sejak saat itu minat saya kepada sejarah kampung sendiri mulai timbul. Saya lalu banyak bertanya kepada Ayah, seorang yang hidup berlumurkan tradisi NU, memuja habis Soekano, mengoleksi buku-buku Pramoedya, mempunyai teman seniman berhaluan kiri dalam jumlah cukup banyak, dan di kemudian hari ikut kecipratan proyek-proyek cetakan dari pemerintahan provinsi Jawa Tengah. Menurut Ayah, kampung kami memang bisa disebut ‘kampung merah’ pada 1960-an. “Di kawasan kampung kita hanya sedikit keluarga yang secara terang-terangan tidak ikut PKI, termasuk keluarga kita,” kata Ayah. Entah mengapa ia kemudian perlu mengimbuhkan bahwa orang-orang komunis selalu yang paling rajin saat kerja bakti pada masa itu. Setelah Peristiwa 30 September 1965, beberapa warga yang ikut PKI terbunuh. Beberapa waktu kemudian, beberapa orang diciduk.
Saya juga kemudian jadi tahu bahwa Balai Muslimin, gedung tua di kampung kami, di blok RT 7, sangat bersejarah. Gedung yang oleh anak-anak sering disebut kantoran, karena kantor kelurahan Karang Tempel menempati salah satu sudutnya, dan juga disebut PTDI karena pernah dipakai sebagai studio radio PTDI, ternyata sudah berdiri sejak 1920. Yang membangun adalah Haji Busro, pengusaha kayu dan komisaris Syarikat Islam Semarang—yang saat itu dipimpin Semaun yang kemudian menjadi pemimpin pertama PKI.
Nama awal bangunan itu adalah Gedung Rakyat yang kemudian dipakai sekretariat bersama berbagai organisasi. Ada Boedi Oetomo, Indische Partij, Indische Sociaal Democratische Vereenniging (ISDV, cikal bakal PKI), dan Revolutionaire Vakcentrale—organisasi buruh yang dikomandani Tan Malaka. ISDV bahkan dibentuk di gedung ini. Hanya, karena Syarikat Islam yang paling aktif, gedung ini lebih kondang disebut sebagai Gedung SI.
Tan Malaka pernah mengajar di gedung tersebut. Nama besar yang pernah singgah di sana bukan hanya dia. Selain Tan dan Semaun, dari golongan kiri ada Alimin dan Darsono yang pernah berkantor di gedung itu pada 1920-an. Sementara itu, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, HOS Cokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, pula dwi tunggal Soekarno-Hatta dan Sjahrir, ikut tercatat menggunakan gedung tersebut dalam perjalanan politik mereka.
Pada 1960-an, Gedung Rakyat juga sering digunakan sebagai tempat rapat golongan kiri. Oleh sebab itulah menurut Mbah Min, paman Ayah, setelah gegeran 1965, gedung ini sempat akan dibakar massa. Menurut Mbah Min, ia sendiri yang maju mencegah. “Bung boleh bakar gedung ini, tapi apa Bung mau bertanggung jawab jika rumah rakyat ikut terbakar?” kata Mbah Min, menirukan kata-katanya sendiri dalam peristiwa heroik itu saat bercerita kepada saya. Massa mundur, katanya. Saya tak bisa memeriksa ia berkata jujur atau membual, tapi alangkah menyenangkan jika itu yang benar terjadi sehingga kenangan saya padanya tak hanya sekadar tentang seorang paman-kakek yang gemar berjudi dan kawin-cerai dan masa akhir hidupnya banyak menggantungkan diri pada Ayah. Jika benar, mungkin ia memang berniat mulia, tapi mungkin juga punya kepentingan konkret menyelamatkan sendiri barisan rumah kami, karena jarak bagian belakang gedung dengan rumah kami tak lebih dari dua puluh meter. Apa pun penyebab, gedung itu selamat sehingga saya dan kawan-kawan sebaya beruntung karena mempunyai tempat bermain (setidaknya sampai pertengahan 1980-an gedung ini masih kokoh, sekarang kabarnya memprihatinkan).
Pada 1981, bisnis Ayah mulai bagus dan ia bisa membeli rumah di daerah atas Semarang, di kawasan Gombel. Ia tinggal di sana bersama adik-adik saya. Ia masih datang setiap hari ke rumah kami di Gendong Selatan tetapi sudah jarang menginap. Saya sendiri sampai lulus SMA masih tinggal di Gendong karena jarak sekolah lebih dekat.
Pada tahun-tahun pertama setelah punya dua rumah, Ayah masih menjadi Ketua RT. Namun, ia sudah jarang sekali bertemu langsung dengan warga peminta surat pengantar. Warga yang berkepentingan biasanya saya temui dan saya minta mengisi formulir sendiri. Saya akan memintakan tanda tangan Ayah begitu ia datang, dan surat akan diambil pemohon keesokan harinya.
Lalu, tibalah hari di mana Ayah tak jadi Ketua RT lagi—ini jauh sebelum Suharto ditumbangkan. Ayah memilih mundur karena beberapa alasan, salah satu yang utama adalah karena ia memang sudah makin jarang di kampung kami. Seingat saya, saya tak punya perasaan apa-apa soal itu. Sepertinya, saya lebih sibuk sendiri menjalani hidup sebagai remaja tanggung saat itu. Sekarang saya agak menyesal karena tak tahu persis kapan berakhirnya kewajiban membawa surat jalan bagi warga kampung kami.***