Disampaikan dalam “Borobudur Writers & Cultural Festival”, Borobudur, 15 November 2014.
I
DALAM historiografi nasional yang resmi dan dominan sejak masa Orde Baru, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada akhir 1926 – awal 1927 memang disebut-sebut, tetapi dengan proporsi yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan bab tentang Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September 1965. Dalam nalar struktur naratif historiografi resmi, hal ini bisa dipahami dengan mudah: yang dihadapi PKI pada 1948 dan 1965 adalah pemerintah Republik Indonesia sendiri, maka apa yang dilakukan PKI itu secara gampang(an) bisa dilabeli sebagai tindakan makar atau pengkhianatan sehingga PKI layak bahkan wajib dihancurkan dan dipandang sebagai musuh bangsa. Sementara itu, terhadap apa yang dilakukan PKI pada 1926-27, institusi yang bertanggung jawab dalam memproduksi wacana sejarah resmi agaknya mengalami kesulitan untuk membingkai dan memaknainya. Sebab, yang ditantang PKI adalah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Padahal, dalam wacana sejarah resmi yang nasionalistis, lebih tepatnya nasionalisme anti-kolonial, siapa pun yang pernah berani melawan atau memberontak terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, apa pun motifnya, dengan mudah dilabeli sebagai pahlawan. Di sini agaknya historiografi resmi dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: melabeli para tokoh PKI dalam Pemberontakan 1926-27 sebagai pahlawan jelas akan mengurangi bahkan membalik gambaran tentang mereka sebagai pengkhianat. Akan tetapi, menyamaratakan apa yang PKI lakukan pada 1926-27 dengan apa yang mereka lakukan pada 1948 dan 1965 jelas merupakan suatu bentuk anakronisme sejarah—menempatkan suatu peristiwa sejarah dalam bingkai waktu yang berbeda. Lalu bagaimana historiografi resmi nasional memaknai peristiwa tersebut? Dan bagaimana pula historiografi resmi PKI memaknainya? Teks-teks resmi PKI yang belakangan muncul kembali, antara lain berkat kebebasan berekspresi sebagai salah satu buah Reformasi dan kemajuan teknologi informasi yang pesat, memungkinkan naskah lama diterbitkan-ulang dan disebarkan dengan mudah, entah secara digital atau cetak.
Esai ini berupaya memahami bagaimana peristiwa sejarah yang sama-sama dinamai “Pemberontakan” PKI 1926-27 dimaknai dalam dua teks sejarah resmi yang berbeda, yakni teks sejarah keluaran Pusat Sejarah TNI AD dan teks sejarah terbitan Lembaga Sejarah PKI. Teks yang disebut terdahulu merujuk pada buku Komunisme di Indonesia: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913 – 1948), Jilid I, (Jakarta: Pusat Sejarah TNI AD, 2009); sedangkan teks yang disebut belakangan merujuk pada buku Busjarie Latif [Lembaga Sejarah PKI], Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1945], (Bandung: Penerbit Ultimus, 2014). Bukan maksud esai ini untuk menimbang teks mana yang lebih benar dan objektif—dalam aliran-aliran pemikiran mutakhir apa yang “benar dan objektif” tak hanya disangsikan, tetapi juga digugat—tetapi memahami bagaimana nalar politik turut membentuk, jika bukan mendikte, penulisan sejarah.
II
Buku pertama merupakan revisi atas Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, diterbitkan oleh penerbit yang sama, yakni Pusat Sejarah TNI AD. Tidak dijelaskan kenapa kata “Bahaya Laten” dihapus, dan cukup ditulis “Komunisme di Indonesia”. Dugaan saya, tim penulis—yang diketuai oleh sejarawan Saleh As’ad Djamhari—tidak ingin buku ini terkesan tendensius (Lagi pula, frasa “Bahaya Laten” adalah khas Orde Baru, yang pada masa pasca-Reformasi 1998 ditolak oleh sebagian masyarakat). Alih-alih, mungkin mereka ingin buku ini dipandang sebagai teks sejarah yang objektif-ilmiah, sehingga diharapkan akan otoritatif. Dalam Penutup pada Jilid V, tim penulis antara lain mengatakan:
Buku ini ditulis untuk memberikan informasi tentang bahaya laten komunisme dan gerakan komunis serta mengingatkan kepada seluruh golongan masyarakat khususnya bangsa Indonesia umumnya, agar tidak lengah dan tidak meremehkan terhadap komunisme dan gerakannya. Kelengahan sekecil apapun bisa memberikan peluang bagi ideologi dan gerakannya. Gerakan komunis pun sudah pasti memanfaatkan era globalisasi ini, dengan menawarkan ide-ide dan melontarkan isu demokratisasi, keterbukaan, hak-hak azasi, keadilan dan kesenjangan kepada masyarakat dalam rangka mematangkan kondisi untuk manifes (muncul) kembali. (Jilid V, hlm. 233)
Buku Komunisme di Indonesia ini diterbitkan dalam lima jilid dan disusun secara kronologis. Judul jilid I sebagaimana disebutkan di atas; sedangkan jilid II berjudul Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI (1948); jilid III, Komunisme di Indonesia: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI (1950 – 1959); jilid IV, Komunisme di Indonesia: Pemberontakan G.30 S/PKI dan Penumpasannya (1960 – 1965); jilid V, Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya (1965 – 1981).
Dari judul semua jilid tersebut, kecuali jilid I dan III, kata “penumpasan” selalu hadir. Artinya, fokusnya lebih pada bagaimana “penumpasan” terhadap segala tindakan PKI itu dilakukan. Siapa “penumpasnya” tidak lain adalah militer, lebih khusus lagi Angkatan Darat. Dengan kata lain, buku ini memang tidak lebih daripada narasi heroik TNI AD dalam “menumpas” [si]apa yang dianggap musuh utama dalam sejarah politik modern Indonesia, yakni PKI. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemberontakan PKI 1926-27 itu dipandang oleh TNI AD—suatu momen sejarah ketika Republik Indonesia, apalagi TNI AD, belum ada.
Buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [1920 – 1965] [selanjutnya ditulis Manuskrip] semula merupakan naskah yang dipersiapkan oleh Lembaga Sejarah PKI untuk menyambut hari ulang tahun PKI yang ke-45 pada 23 Mei 1965. Akan tetapi, hingga hari ulang tahun itu tiba, yang dirayakan secara-besar-besaran, sampai peristiwa 30 September 1965 terjadi, naskah itu belum terbit juga. Yang jelas, naskah itu sempat beredar di tangan para anggota Lembaga Sejarah PKI pada awal Mei 1965, sebagaimana dituturkan Koesalah Soebagjo Toer dalam salah satu Kata Pengantar buku ini (Jumlah anggota Lembaga Sejarah PKI adalah 35 orang). Perihal nasib naskah itu hingga akhirnya terbit menjadi buku pada 2014, Sumaun Utomo (91), mantan Sekretaris Lembaga Sejarah PKI, secara ringkas menulis dalam salah satu pengantar buku tersebut:
Manuskrip ini setelah selesai ditulis oleh almarhum Kawan Busjarie Latif, “hilang” ditelan Prahara 1965. Tetapi tanpa disangka ia ikut terbang mengelilingi dunia menyelamatkan diri dan akhirnya setelah empat puluh tujuh tahun menjelajahi dunia, terbang melayang kembali ke tangan saya. (hlm. x – xi)
Keterangan ringkas ini sangat masuk akal, karena—sebagaimana diketahui—segala dokumen, risalah, dan publikasi dari dan yang terkait dengan PKI beserta ormas-ormasnya niscaya disita atau dirampas oleh aparat keamanan ketika terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota dan simpatisan PKI dan organisasi-organisasi onderbouw-nya pada 1965-1966. Dalam konteks penulisan sejarah politik nasional, terbitnya manuskrip ini menjadi penting setidak-tidaknya untuk melihat bagaimana PKI menuliskan sejarahnya sendiri, bukan sebagaimana dituliskan oleh pihak yang telah menghancurkannya. Asas “fairness” dalam penulisan sejarah, layaknya prinsip “dua sisi cerita” dalam jurnalistik, pun terjaga.
III
Komunisme di Indonesia banyak mengacu pada karya akademik yang otoritatif tentang kiprah PKI pada awal kemunculannya hingga meletusnya pemberontakan 1926-27, yakni buku Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, dan Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Komunisme di Indonesia relatif berjarak dalam mendeskripsikan sebab-sebab dan proses jalannya pemberontakan. Meskipun tidak begitu terperinci, dinamika internal di dalam tubuh kepengurusan PKI sejak Kongres 1924 di Kotagede, Yogyakarta, hingga munculnya apa yang disebut Putusan Prambanan pada Desember 1925, yang mencetuskan ide untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada Juni 1926, dipaparkan dengan baik. Akan tetapi bagaimana pemberontakan itu akhirnya menemui kegagalan dan bagaimana ribuan tokoh dan aktivis PKI ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digul, pendeknya bagaimana PKI dihancurkan, di dalam buku ini hampir-hampir tidak disinggung. Alih-alih, buku ini memberikan semacam kesimpulan perihal dampak kegagalan pemberontakan PKI tersebut terhadap gerakan politik nasional pada masa itu seperti berikut ini:
Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/27 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan nasional mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya sendiri, yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban putra-putri Indonesia yang masih buta politik. (Komunisme di Indonesia, Jilid I, hlm. 37)
Di lain pihak, di dalam Manuskrip proses terjadinya pemberontakan 1926-27 berikut sebab-sebab serta konteks sosial-politik makro maupun mikro yang melatarbelakanginya dan berbagai akibatnya, baik bagi PKI sendiri maupun gerakan politik nasional pada masa itu, dipaparkan dengan sangat terperinci. Dengan mengacu pada sumber-sumber sezaman seperti suratkabar yang berbahasa Melayu maupun Belanda, serta buku karya seorang sarjana Belanda yang bersimpati pada perjuangan kaum kiri di Indonesia, yakni J. Th. Petrus Bloemberger, De Communistische Beweging in Nederlands Indie, jalannya pemberontakan yang dimulai di Batavia pada 12 November 1926, yang kemudian menyebar ke kota-kota lain di Jawa, dan kemudian pada Januari 1927 merembet ke Sumatera hingga akhirnya ditumpas oleh pemerintah kolonial Hinda Belanda pada akhir Maret 1927, dideskripsikan secara detail. Gambaran tentang bagaimana para pelaku pemberontakan melancarkan aksi-aksi mereka dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu sekitar lima bulan dari November 1926 hingga Maret 1927 itu dihadirkan secara terperinci. Sebagai contohnya adalah nukilan berikut ini:
Priangan Tengah. Rakyat sudah siap melakukan serbuan pada jam 9.30 malam, yaitu mulai menyerang pos polisi di Nacik. Seorang agen polisi yang mencoba memberikan perlawanan terhadap kaum pemberontak mendapat luka-luka. Pada malam itu kaum pemberontak membongkar rel kereta api Rancaekek untuk mencegah lalu lintas kereta api yang mengangkut serdadu [Belanda – tambahan penulis]. Di Batujajar, kaum pemberontak juga menyerbu rumah kepala desa yang kejam, dan membakar rumahnya. Demikian juga terjadi di Cimahi. Jembatan yang menghubungkan jalan dari Garut ke Bandung dirusak, juga jembatan di Cilis. (Manuskrip, hlm. 122).
Dalam penulisan sejarah, penggambaran secara terperinci bukan semata-mata terkait masalah ketersediaan sumber, tetapi juga perkara perhatian (interest) dan kepedulian (concern) terhadap peristiwa yang ditulis. Dalam Komunisme di Indonesia (Jilid I), pemberontakan PKI 1926-27 hanya dideskripsikan dalam 5 halaman (hlm. 32 – 37), dan langsung tersodorkan kesimpulan sebagaimana dikutip di atas. Ini pertanda bahwa para tim penulis barangkali gamang ketika harus menghadirkan-kembali peristiwa itu, karena, sebagaimana saya katakan di atas, mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: tidak mungkin memaknai para pemberontak itu sebagai martir dan pahlawan, tetapi juga tidak bisa menyamaratakan mereka begitu saja dengan apa yang mereka pandang telah diperbuat kaum komunis pada 1948 dan 1965. Sebagai perbandingan, dalam buku Jilid II, Peristiwa Madiun 1948 dideskripsikan mulai dari halaman 1 hingga 169, di mana dideskripsikan latar belakang kejadian, jalannya pemberontakan itu sendiri, dan, tentu saja, operasi-operasi militer dalam menumpas pemberontakan tersebut. Dengan struktur naratif yang sama, hal serupa juga terjadi pada penggambaran Peristiwa 30 September 1965, yang mengisi sepanjang buku Jilid IV (halaman 7 – 321).
Dalam Manuskrip, penggambaran pemberontakan PKI 1926-27 yang begitu rinci itu tidak lepas dari tujuan pokok PKI menjelang ulang tahunnya yang ke-45, yaitu ingin mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Hal ini tampak dalam bagian “Kesimpulan Pengalaman dari Pemberontakan”, yang antara lain tertulis:
Pemberontakan nasional 26 adalah pemberontakan tanpa persatuan nasional dan berbasiskan persekutuan buruh dan tani. Kesalahan pokok PKI pada masa kanak-kanak ini ialah telah menjadi mangsa dari semboyan “kekiri-kirian”, tidak berusaha keras untuk menjelaskan keadaan, mau memecahkan semua soal dengan satu kali pukul, seperti melikuidasi feodalisme, melepaskan diri dari Belanda, menghancurkan semua kaum imperialis, menggulingkan pemerintah reaksioner, melikuidasi kaum tani kaya, melikuidasi kaum borjuis nasional. Akibat semuanya ini ialah: bahwa kelas musuh semakin bersatu dengan menarik ke pihaknya, golongan-golongan yang semestinya bisa dijadikan sekutu partai.
Kesalahan pokok ini tidak berarti bahwa PKI sama sekali tidak mengadakan kontak-kontak dan kerjasama dengan golongan dan elemen-elemen non-komunis. Kenyataan menunjukkan bahwa pimpinan PKI waktu itu pun sudah mengerti perlunya persatuan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain (…) Tetapi kerja sama yang telah dilakukan belum berdasarkan pada pengertian Marxis-Leninis tentang watak masyarakat Indonesia, tentang watak revolusi dan kekuatan pendorongnya (…) Karena itu mereka tidak dapat menciptakan program politik yang jelas untuk menggalang front persatuan nasional. Kesimpulan dari semuanya ini ialah, bahwa pimpinan PKI belum mampu memadukan prinsip umum Marxisme – Leninisme dengan praktik revolusi Indonesia…. (Manuskrip, hlm. 161 – 162).
Tampak bahwa spiritnya adalah ingin melakukan tindakan korektif, tidak mengulang kesalahan yang sama, yakni penyakit “kekiri-kirian”. Kendati demikian, di dalam Manuskrip para pemimpin PKI generasi awal yang telah berani mencetuskan “pemberontakan nasional bersenjata yang pertama melawan imperialisme” (hlm. 158) tetap dipandang sebagai
(…) pahlawan-pahlawan terhormat yang melawan imperialisme. Walaupun gagal, tapi mereka dapat diberi sebutan seperti yang diberikan oleh Marx kepada pemberontak-pemberontak Komune Paris 1871: (…)’Mereka adalah malaikat-malaikat yang menyerbu langit’. (Manuskrip, hlm. 165).
Penghargaan yang begitu tinggi terhadap langkah-langkah heroik para tokoh PKI generasi awal, meskipun gagal, tidak lepas dari upaya PKI yang ingin menegaskan posisinya yang tak terpisahkan dalam sejarah pergerakan nasional: “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”,
(…) mengenal sejarah PKI tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional yang umum, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini mempunyai dasar obyektif, karena ia terbentuk berdasarkan perkembangan khusus masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat kolonial dan semi-feodal. (Manuskrip, hlm. 451)
IV
Tampak bahwa ada pemaknaan atas pemberontakan PKI 1926-7 yang tidak hanya berbeda, tetapi juga bertolak belakang dalam kedua teks sejarah ini. Tentu saja hal ini tidak mengejutkan. Akan tetapi yang menarik di sini adalah bagaimana nalar politik turut membentuk—jika bukan mendikte—penulisan sejarah, berikut implikasinya pada metode sejarah itu sendiri. Bagaimana pemaknaan yang kontras itu mesti harus kita pahami tentu tidak bisa kita lepaskan dari konteks produksi teks sejarah itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, sejak masa Orde Baru berdiri militer Indonesia telah menempatkan PKI dan komunisme sebagai musuh bangsa, musuh negara, dan musuh Pancasila. PKI. Komunisme telah ditempatkan sebagai si “Liyan” yang harus terus-menerus diwaspadai, kendati telah dibubarkan dan dihancurkan pada 1965 – 66. Dalih yang selalu didengungkan adalah bahwa komunisme itu benda asing, “yang tidak cocok dengan adat dan budaya bangsa Indonesia”. Lebih dari itu, ia adalah benda “asing” yang selalu ingin mengubah setiap masyarakat di mana pun menjadi seperti mereka. Dalam bab “Pendahuluan” Komunisme di Indonesia Jilid I (hlm. 1) ditulis:
Sebagaimana telah dicatat oleh sejarah, setiap penganut komunisme adalah pembawa misi yang permanen, yaitu membentuk negara komunis dan masyarakat komunis. Misi ini dijabarkan dalam berbagai bentuk aksi, baik yang bersifat terbuka maupun yang bersifat tertutup, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing tempat, daerah, atau negara yang disebutkan sebagai tahap perjuangan.
Dari kacamata pandang itu bisa kita pahami mengapa pemberontakan PKI 1926-27 tetap dihadirkan dalam teks sejarah keluaran TNI dan historiografi nasional resmi, yakni tidak lain untuk meyakinkan diri mereka sekaligus khalayak umum bahwa PKI dan gerakan komunis itu memang “dari sananya” bersifat memberontak, merongrong, konfrontatif, sampai cita-cita membentuk negara komunis terwujud. Maka, secara tersirat dari keyakinan itu, gerakan komunis tidak akan mungkin berkolaborasi dengan gerakan-gerakan beraliran ideologi lain kecuali hanya sebagai taktik sementara.
Karena cara pandang itu telah terbentuk sebagai pra-anggapan (presumption), maka buku Komunisme di Indonesia pun menyimpulkan bahwa gagalnya pemberontakan PKI 1926-27 “mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional”, di mana antara lain “ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan”. Kesimpulan ini jelas manipulatif, karena faktanya, sebagaimana dicatat sejarawan John Ingleson, penghancuran dan pelarangan PKI, “kemudian meninggalkan suatu vakum politik yang terjadi pada saat yang sangat tepat untuk sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru, yang didasarkan pada Islam atau Komunisme. Hancurnya PKI memberi kesempatan untuk mewujudkan rencana tersebut. Selama 7 tahun berikut [baca: 1927 – 1934—tambahan penulis], kelompok nasionalis yang baru ini berikhtiar mengembangkan kesadaran politik pada kalangan yang lebih luas….”[1]
Di lain pihak, Manuskrip yang ditulis pada saat PKI sangat dekat dengan Presiden Sukarno jelas tidak lepas dari hasrat PKI untuk menunjukkan dirinya sebagai partai yang berada di garda depan dalam mengusung Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), yang waktu itu menjadi ideologi resmi pemerintah. Barangkali dalam konteks inilah Manuskrip mendesakkan pandangan “Satunya Sejarah PKI dengan Sejarah Pergerakan Nasional”, pandangan yang ditopang oleh sebuah “manipulasi” sejarah, yakni ketika di dalam buku ini ditulis—sebagaimana dikutip di atas—“bagaimana pimpinan PKI yang memimpin serikat buruh selalu mengusahakan kerja sama dengan serikat buruh yang dipimpin oleh kaum reformis dari elemen nasionalis, seperti Surjopranoto dan lain-lain”. Memang tidak keliru jika dikatakan “mengusahakan kerja sama”, tetapi yang tidak dikatakan di situ adalah bahwa “usaha kerja sama” itu sebenarnya tidak pernah terwujud. Sebab, yang terjadi adalah rivalitas dan perebutan siapa atau kelompok mana yang mesti memimpin, serta cara atau metode gerakan mana yang mesti dipakai. Hasilnya adalah bahwa pemogokan buruh pabrik gula yang berpusat di Yogyakarta, yang dipimpin Surjopranoto, dan pemogokan buruh tram dan kereta api yang berpusat di Semarang, yang dipimpin Semaun, berjalan sendiri-sendiri; dan kedua aksi pemogokan pada Mei – Juni 1920 itu pun gagal. Buntutnya adalah polemik berkepanjangan untuk saling menyalahkan.[2]
Walaupun di atas telah saya katakan bahwa saya tidak ingin membandingkan kedua teks sejarah ini untuk menimbang mana yang lebih ”objektif”, dari paparan di atas tampak bahwa proses manipulasi sejarah dalam kedua teks ini berbeda. Dalam Komunisme di Indonesia, penghancuran PKI oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang meninggalkan kevakuman pimpinan dalam gerakan politik nasional digambarkan sebagai situasi di mana semua gerakan politik, termasuk yang non-komunis, harus ikut menanggung getahnya, yakni menghadapi represi politik dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan dalam Manuskrip, yang dikatakan hanya separuh kebenaran, yakni “mengusahakan kerja sama”. Bahwa kerja sama itu tidak terwujud, bahkan yang terjadi adalah rivalitas sehingga ketika dua-duanya gagal dalam aksi pemogokan dan kemudian muncul upaya saling menyalahkan, tidak dikatakan. Dalam Komunisme di Indonesia, manipulasi itu berwujud pembalikan fakta; sedangkan dalam Manuskrip, manipulasi itu berupa penyembunyian fakta. Bukan tugas saya untuk mengatakan mana yang lebih ber-“dosa”. Yang jelas keduanya adalah konsekuensi logis ketika sejarah ditulis dengan berangkat dari sejumlah pra-anggapan yang tak lepas dari kepentingan politis-ideologis tertentu.
______
* Penulis adalah pengajar di Jurusan Sejarah, FIB UGM.
[1] Lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1983; hlm. vii. Yang dimaksud dengan para aktivis gerakan nasionalis baru pasca kegagalan pemberontakan PKI ini misalnya antara lain Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sartono, Sukiman, dsb.
[2] Lihat Budiawan, Anak Bangsawan Bertukar Jalan: Biografi R.M. Suryopranoto, Yogyakarta: LkiS, 2006; hlm. 97-156.