BIASANYA, saya tak terlalu peduli dengan kejadian ini lantaran terjadi hampir setiap hari dan setiap saat.
Jadi begini. Dalam perjalanan semalam, saya terserang lapar yang teramat sangat. Alhasil, turunlah saya dari kendaraan tumpangan dan memasuki sebuah warung tenda terdekat. Tentu saja memesan makanan, bukan mengkhotbahkan kekejaman kapitalisme!
Saya pun teringat pertanyaan seorang kawan. Jika kita memilih mempelajari komunisme serta memilih komunisme sebagai sebuah ideologi yang dipercayai, apakah kita harus hidup di luar cara hidup dalam sistem kapitalisme. Saya yang waktu itu masih sedikit-sedikit membaca tentang dua perkara krusial itu alias nguping aja—sekarang juga kerapnya masih sih—menjawab dengan penuh heroik, kita harus menjauhi segala hal yang beraroma kapitalisme.
Jika saja si pemilik warung tenda dan pekerjanya di sana memahami hal itu, tentu saja mereka punya tugas dan kewajiban memberikan saya makanan lantaran saya, di tempat lain, sudah bekerja demi mereka-mereka juga. Misalnya memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan negara, minimal Pemkot.
Saya lantas jadi bertanya-tanya (maafkanlah kepala yang meragu ini), orang kiri atau penganut komunisme itu apakah mereka menjadi komunis lantaran memilih atau mereka sungguh-sungguh komunis oleh sebuah keadaan tertentu? Jika dikatakan pilihan, bisa benar juga. Kala Marx hendak meneliti tentang sistem kapitalisme, ia tentu saja bisa memilih untuk tak melanjutkan penelitian itu dan meneliti hal yang lain. Membuat kritik eksistensialis a la Kierkegaard terhadap idealisme Hegel, misalnya. Tetapi kalau dibilang itu adalah sebuah pilihan semata, tak benar juga. Karena, Marx tak mungkin bisa menulis atau meneliti perihal sistem kapitalisme tanpa kapitalisme itu sendiri ada dan sudah berjalan. Lu mau neliti apaan kalau barangnya ga ada? Jadi, memang ada hal yang mengondisikan sesuatu tetapi memang ada juga peran dari pilihan manusia untuk melihat apa yang mengondisikan keadaan tersebut. Tentu saya tak mau memandang Marx seperti pemeluk teguh Katholik memandang Lucia, Fransisco, dan Jacinta, tiga anak kecil dari Fatima, Portugis.
Sebenarnya, hal seperti ini sudah berbusa-busa dijelaskan banyak penulis lain. Tetapi, masih ada saja pertanyaan perihal itu. Sebutlah saja seorang mahasiswa di sebuah kampus negeri di Yogyakarta, yang menganggap temannya yang mendaku kiri dan komunis justru tidak menjalankan laku tapa hidup komunis. Seorang kawannya yang mendaku komunis tersebut menganggap bahwa kantin di kampus itu adalah produk kapitalis. Eh tetapi dia yang bercerita ini merasa teramat kecewa. Kawannya itu tidak sungguh-sungguh kiri, keluhnya. Kirinya Sang Kawan sekadar penghias bibir belaka. Pasalnya, sang kawan setelah memaki kantin sebagai produk kapitalisme, di jam istirahat dengan sekehendak hatinya mengangkat kaki dan memesan makanan di kantin tersebut. Barangkali membayar dengan uang yang baru ke luar dari pabriknya serta tak mau menerima uang kembaliannya.
Kita andaikan saja kedua mahasiswa ini bergabung dalam sebuah organisasi progresif di kampus mereka. Pada suatu ketika, pedagang kaki lima dan pedagang kecil di sekitar kampus itu digusur lantaran sebuah kebijakan tertentu diterbitkan. Organisasi progresif mereka, bersama elemen-elemen progresif lainnya yang peduli, sudah berjuang sekeras-kerasnya, sehormat-hormatnya, demi menggagalkan peristiwa itu. Namun, masih juga gagal. Tentu banyak hal yang mengakibatkan kegagalan tersebut. Keadaan berubah. Tak ada pilihan tempat makan lain di kampus dan sekitarnya, selain di kantin kampus tersebut. Apakah demi kekiriannya, kedua mahasiswa ini perlu membiarkan lambung mereka rusak dengan membuang waktu sekitar 2 jam mencari warteg yang lebih sosialis ketimbang kantin kampus? Semoga mereka lebih memilih tidak dicap kiri demi lambung yang sehat. Kasihan kalau otak mereka masih bisa mempelajari banyak hal harus kehabisan energi duluan lantaran kerusakan lambung.
Jadi barangkali memang pilihan punya peran penting dalam pemahaman orang atau kekirian seseorang. Tapi tanpa kesetiaan pada sebuah keadaan obyektif tertentu di tempat tertentu dan pada waktu tertentu, pilihan sebagai kiri barangkali sekadar keresahan eksistensialis. Bisa jadi sekadar politik identitas. Barangkali—barangkali ya—orang yang bekerja di sebuah korporasi internasional yang sungguh kapitalistik, dan orang itu dengan serius mengakali hidupnya, uangnya, waktunya, demi kerja-kerja kemanusiaan pengisi waktu luang dan juga untuk biaya sekolah beberapa saudaranya, lebih kiri tanpa ia mendaku kiri, dari pada seorang penghafal titik koma tulisan Lenin dan Marx yang tak melakukan apa-apa dalam mengakali keadaan obyektif di zaman dan tempat di mana ia berada.
Ah, tetapi, seiring datangnya nasi uduk ditambah ayam dada bakar plus lalapan dan tak lupa sambel pedas yang bikin lidah bergeletak, pikiran-pikiran yang demikian tak memusingkan kepalaku benar. Saya makan tentu saja dengan lahap. Seorang pengunjung baru saja selesai makan dan ia membayar. Uangnya sungguh kumal sekali. 10.000-nya hampir berwarna coklat tua. Tentu sudah berpindah beribu tangan. Sang penjual menerima uang itu dan menaruhnya di laci. Tanpa mencuci tangan, ia melanjutkan mengulek sambal dan menyajikannya untuk konsumen yang lain. Tentu saja, sedikit tomat menempel di salah satu jarinya, yang tadi digunakan untuk menerima uang 10.000 kumal.
Hidup di Jakarta, masalah seperti itu sudah teramat lumrah. Sudah menjadi makan-minummu sehari-hari. Saya langsung berpikir untuk membeli obat cacing sebelum pulang ke rumah.***