THAILAND kini sedang menderita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kudeta kedua dalam sepuluh tahun terakhir, di mana junta militer baru yang jelas arogan dan bodoh, untuk sementara ini sukses menekan semua perbedaan pendapat. Pemimpin kudeta Jendral Prayuth Chan-ocha kemudian menunjuk dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri, dengan dibantu oleh anggota parlemen militer yang juga merupakan hasil penunjukan langsung oleh sang jendral, sebuah peristiwa yang sama sekali tidak mengejutkan. Prayuth bahkan tidak perlu menghadiri acara ‘pemilihan’ yang secara mutlak memenangkan dirinya.
Kudeta militer terakhir, yang terjadi pada akhir Mei tahun ini, mengikuti jejak kudeta sebelumnya pada September 2006, menggenapi tiga ‘kudeta judisial’ yang terjadi beruntun, dan penindasan berdarah disertai pembunuhan oleh tentara yang dibantu oleh Partai Demokrat terhadap gerakan pro-demokrasi Kaus Merah pada tahun 2010[1].
Sejak tahun 2005, masyarakat dan kondisi politik Thailand telah terjerembab dalam krisis mendalam yang karakternya ditandai dengan pembelahan antara mereka yang percaya dengan demokrasi dan mereka yang memilih diktatorian sebagai jalan. Di kelompok diktatorian terdapat tentara, para elit royalis,[2] kelompok menengah dan gerakan royalis mereka yang bernama Kaus Kuning, Partai Demokrat dan kelompok-kelompok NGO.
Pada sisi demokrasi berdiri Kaus Merah; kelompok gerakan sosial terbesar dalam sejarah gerakan kontemporer Thailand, dan berbagai partai politik dari pengusaha kaya raya Thaksin Shinawatra dan saudari perempuannya Yingluck yang juga mendukung Kaus Merah. Partai mereka yang terakhir, yang memenangkan suara mayoritas dalam pemilu 2011, disebut Pheu Thai Party[3] (PTP). Partai ini merupakan rekonstruksi dari partai-partai Thaksin terdahulu,[4] yang dibubarkan oleh dua kudeta judisial yang terjadi berturut-turut. Sejak pemilu 2011, pemerintahan dikepalai oleh Yingluck Shinawatra, perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Thailand. Ini adalah pemerintahan yang dijatuhkan melalui kudeta Mei yang lalu.
Jendral Prayut telah menjadikan dirinya sebagai ‘Supremo’ Thailand, menempatkan dirinya sebagai orang yang memiliki kekuasaan terhadap pos-pos penting dalam kekuasaan. Hal ini mengingatkan kembali pada masa-masa kelam saat berkuasanya diktatorian militer pada dekade 1960-an hingga tahun 1970-an. Seperti yang dikatakan penulis Wat Wanyangkoon; ‘Junta militer hari ini adalah sampah sejarah yang ditinggalkan oleh era Perang Dingin’.
Hal yang paling mencolok terkait kudeta kali ini adalah begitu cepat dan masifnya respon pada hari-hari awal kudeta. Tiga hari setelah kudeta terjadi, protes massal yang digagas oleh masyarakat umum secara simultan bermunculan di banyak daerah di Bangkok, juga di Chiang Mai dan kota-kota lain. Ini adalah hal yang mengejutkan.
Protes-protes ini memang terjadi secara spontan, tapi akan juga menjadi sebuah kesalahan jika menganggap bahwa massa yang melakukan protes adalah kumpulan yang ‘tidak teroganisir’ hanya karena semata-mata mereka tidak dipimpin oleh gerakan Kaus Merah. Selama bertahun-tahun para aktivis pro-demokrasi telah membangun jaringan-jaringan kecil akar rumput yang mereka organisir sendiri, yang bergerak paralel dengan Kaus Mereka, namun independen dari pengaruh Thaksin Shinawatra atau pengaruh PTP. Protes-protes yang digagas oleh akar rumput tersebut membuat militer kesulitan untuk mengonsolidasikan kekuatan dalam jangka waktu yang lama. Junta militer yang memerintah dengan kekerasan kini sedang berhadapan dengan massa yang sedang marah.
Jangan meragukan sedikitpun bahwa bukanlah hal mudah untuk menentang junta militer dan berdiri berhadap-hadapan dengan pasukan bersenjata, yang di masa lalu telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan ragu-ragu menembaki para demonstran yang tidak bersenjata. Harapannya adalah gerakan ini akan tumbuh dan kemudian menyebar hingga ke kelas pekerja yang terorganisir. Tapi hal ini membutuhkan waktu. Taktik ini mungkin lebih tepat diandaikan dengan perumpaman ‘dua langkah maju, satu langkah mundur’.
Setelah protes-protes anti kudeta yang spektakuler di akhir Mei tahun ini, junta militer secara sistematik menangkapi dan memenjarakan aktivis-aktivis pro-demokrasi terkemuka, dan memaksa mereka berjanji untuk tidak lagi terlibat dalam politik. Junta militer telah menegaskan bahwa keterlibatan terlalu jauh dalam politik akan berujung pada hukuman penjara yang persidangannya akan dilakukan oleh pengadilan militer. Beberapa figur yang ditahan telah dikenakan tuduhan Lèse Majesté[5] yang berujung pada periode panjang masa tahanan. Beberapa yang lain mesti mengalami penyiksaan sebelum akhirnya terpaksa menyatakan sikap untuk absen dari gelanggang politik. Yang paling baru adalah kasus-kasus penangkapan terhadap aktivis mahasiswa sayap kiri. Korban terbaru dari Lèse Majesté adalah dua pelajar yang memainkan drama politik di Universitas Thammasat tahun 2013.[6]
Banyak aktivis yang kini hidup dalam persembunyian atau terpaksa meninggalkan Thailand di mana sebagian yang lain meminta status sebagai pengungsi politik di berbagai negara. Jumlah aktivis Thailand yang sekarang berada di pengasingan mencapai jumlah terbesar sejak tahun 1970.
Junta militer kini sedang berjudi dengan resiko karena meyakini bahwa jika mereka menciptakan iklim ketakutan, dengan cara menangkap dan menahan sejumlah orang yang menentang kudeta dan aktivis pro-demokrasi, maka dengan sendirinya masyarakat akan demoralisasi dan kemudian menjadi pasif. Meskipun junta kemudian berhasil memaksakan ketertundukan dan demoralisasi dari mayoritas warga negara, hal ini hanyalah upaya menutupi retakan-retakan dalam masyarakat Thailand. Akar dari krisis hari ini terletak pada lebarnya jurang kesenjangan dalam masyarakat dan bagaimana sebagian besar orang telah menyadari bahwa mereka secara politik dimarginalisasi dan kemudian sampai pada pemahaman bahwa kondisi hari ini seharusnya jauh lebih baik. Saat orang-orang mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka untuk melawan, krisis akan meledak kembali dan jika orang-orang belajar dari pengalaman di masa lalu, mereka akan menuntut untuk penghapusan seluruh infrastruktur kekuasaan lama.
Krisis berkepanjangan Thailand ini adalah hasil langsung dari perselisihan yang secara tidak sengaja terjadi antara kelompok yang memilih jalan konservatif untuk mengoperasikan demokrasi parlementar dengan mereka yang memilih jalan yang lebih modern. Hal ini berhubungan dan dapat disamakan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra dan Partai Thai Rak Thai (TRT)[7] yang bermaksud memodernisasi masyarakat Thailand agar dapat mendukung ekonomi yang lebih kompetitif di level global, terutama setelah krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1996.
Para pemimpin politik Thailand sejak awal dekade 1970-an selalu mengadopsi sifat laissez faire terkait pembangunan, dengan perencanaan minimal dari pemerintah, upah murah, pemenuhan sebagian hak-hak serikat buruh dan pengingkaran tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur dan standar hidup. Strategi ini memang berhasil di awal-awal penerapannya, tapi saat krisis ekonomi Asia pada 1996 terjadi membuktikan bahwa sistem yang digunakan benar-benar gagal. Konsekuensi logis dari krisis ekonomi 1996 menjadi penting untuk memahami krisis politik Thailand yang berlangsung hari ini. Juga penting untuk dipahami bahwa meningkatnya kesenjangan dalam masyarakat Thailand adalah hasil langsung dari pertumbuhan ekonomi pasar bebas. Sekitar 20 persen dari lapisan atas masyarakat memiliki pendapatan bersih yang setelah dikurangi biaya hidup, berjumlah sepuluh kali lipat dari pendapatan masyarakat pada umumnya.
Tujuan Thaksin pada awalnya adalah berupaya untuk meningkatkan standar hidup dari masyarakat kebanyakan melalui belanja negara. Ia berharap untuk melibatkan masyarakat sebagai ‘stake-holder’. Pandangan Thaksin ini didasari keyakinan bahwa peningkatan standar hidup masyarakat akan juga mendorong peningkatan kapasitas dari para konglomerat kapitalis privat Thailand untuk bersaing di pasar global.
Pada pemilu pertama sejak krisis ekonomi tahun 1996, partai yang dipimpin Thaksin mengajukan sebuah rancangan tentang modernisasi dan daftar kebijakan-kebijakan pro rakyat miskin, termasuk di dalamnya adalah skema jaminan kesehatan universal yang mencakup keseluruhan bentuk subsidi dan asuransi kesehatan, kebijakan yang menjadi terobosan pertama dalam sejarah Thailand. Sementara itu di sisi lain, ketika Partai Demokrat menyerukan kepada barisan pengangguran untuk ‘kembali ke kampung halaman mereka dan menyandarkan diri kepada keluarga masing-masing’ dan di saat yang bersamaan menghabiskan anggaran negara untuk menyelamatkan bank-bank milik para pengusaha kaya yang terancam bangkrut, Thaksin justru menjanjikan bahwa pemerintahannya akan menguntungkan semua pihak, tidak hanya golongan kaya. Janji ini ikut memainkan peranan penting atas kemenangan Thaksin dan TRT dalam pemilu, dan kemudian secara berturut-turut kembali memenangkan setiap pemilu yang berlangsung, meski menggunakan nama partai yang berbeda-beda.
Kebijakan-kebijakan Thaksin, dan basis elektoralnya yang luas, menjadi tantangan bagi berbagai elemen dari elit lama, meskipun mesti digarisbawahi bahwa hal ini tidak pernah sama sekali menjadi tujuan Thaksin. Di masa lalu, para elit memiliki sejenis kesepakatan tidak tertulis untuk saling berbagi kekuasaan dan akses terhadap sumber-sumber kekayaan nasional. Namun beberapa hal terjadi di luar prediksi.
Kelompok-kelompok NGO pada awalnya menyambut hangat kemenangan Thaksin. Tapi kemudian mereka menentang kebijakan Thaksin untuk menghabiskan anggaran guna meningkatkan standar hidup, mencurigai Thaksin melakukan kecurangan dalam pemilu, terutama setelah fakta bahwa pemerintahan Thaksin jauh lebih sukses mengurangi angka kemiskinan jika dibandingkan dengan kerja-kerja NGO, menjadi sebab mengapa kelompok ini segera berbalik menentang Thaksin. Bersama dengan kelas menengah, barisan NGO kemudian memulai kampanye yang menyalahkan masyarakat luas sebagai kelompok yang terlalu bodoh dan belum layak untuk mendapatkan hak memilih dalam pemilu.
Pada tahun 2005, sebuah persekutuan busuk antara kelas menengah royalis, elit-elit konservatif dan NGO menggagas sebuah gerakan anti pemerintah yang kemudian dikenal sebagai Kaus Kuning. Mereka menyerukan agar militer mengambil alih kekuasaan yang kemudian direspon oleh tentara melalui kudeta pada tahun 2006.
Thaksin kemudian harus mengasingkan diri setelah kudeta pertama di tahun 2006, meskipun partainya kemudian melanjutkan tren kemenangan pada pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2007 dan tahun 2011, dua pemilu yang diselenggarakan di bawah kontrol ketat militer. Junta militer yang berkuasa melalui kudeta sebelumnya menulis sebuah konstitusi militer pada tahun 2007[8] dan membentuk ‘badan-badan independen’ seperti Senat, pengadilan dan berbagai jenis komisi, yang dipenuhi oleh para loyalis militer. Ide dasar dari perubahan-perubahan konstitusional ini adalah keyakinan bahwa rakyat Thailand mesti ‘diselamatkan dari ketidakmampuan mereka sendiri’. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang terpilih secara demokratik mesti dikendalikan oleh para ‘ahli’ dari kelompok elit konservatif. Di awal tahun ini, badan-badan anti demokrasi ini bekerjasama dengan Sutep Thaugsuban[9] dan massa Partai Demokrat yang memenuhi jalanan dengan demonstrasi untuk menjungkalkan pemerintahan Yingluck, sebelum akhirnya ditutup dengan kudeta militer di bulan Mei.
Kali ini, setelah kudeta kedua yang dilangsukan tahun ini, junta militer ingin memastikan bahwa Thaksin dan pendukungnya tidak lagi memenangkan pemilu. Seluruh kementerian dan unit pemerintahan kini dikontrol penuh oleh personil militer. Pegawai sipil yang memiliki posisi sebelum kudeta digantikan dengan mereka yang loyal terhadap militer atau merupakan bagian dari kroni junta. Langkah lain adalah, bagaimana gigihnya Komisi Anti Korupsi berupaya mencari bukti atas tuduhan prematur terkait kasus korupsi terhadap mantan perdana menteri Yingluck. Hal ini merupakan jalan ‘resmi’ untuk melarang Yingluck dan para politisi pendukungnya di PTP untuk terlibat kembali dalam politik. Jika berhasil hal tersebut bukan tidak mungkin membuka kesempatan untuk membubarkan PTP juga.
Junta militer juga menduplikasi gaya Majelis Nasional Burma, yang terdiri dari mayoritas tentara dan sebagian kecil tokoh sipil yang anti demokrasi. Hal ini bertujuan untuk membentuk sebuah sistem politik baru di mana dapat dipastikan bahwa pemilu yang diselenggarakan nanti di masa depan dapat diatur sesuai kepentingan militer dan kelompok konservatif. Itu mengapa begitu hangatnya sambutan yang diterima perwakilan militer Burma ketika berkunjung ke Bangkok bulan Juli lalu, dan hal yang sama juga terjadi ketika kunjungan balasan Jendral Prayuth ke Burma pada bulan Oktober kemarin.
Hipotesis yang kemudian muncul di banyak laporan media massa asing bahwa kekacauan politik berkepanjangan di Thailand hari ini utamanya disebabkan oleh ‘krisis suksesi kerajaan’ merupakan hal yang mengada-ada. Adalah sebuah kesalahan mengasumsikan bahwa monarki Thailand memiliki kekuatan riil dan raja secara konstan melakukan intervensi dalam politik. Kenyataannya, raja Bumibol yang selama ini selalu menunjukkan kelemahan dan kepengecutannya, mendapatkan keuntungan dari keberadaan junta-junta militer dan pemerintah yang korup yang secara terus menerus menggunakannya figurnya untuk melegitimasi aksi-aksi mereka. Sejak Bumibol dilantik sebagai raja untuk menggantikan kakak laki-lakinya yang tewas dalam sebuah kecelakaan senjata, ia selalu menjadi alat pemenuhan keinginan dari kelompok militer dan elit-elit konservatif. Semasa era Perang Dingin, raja Bumibol juga membiarkan dirinya digunakan sebagai alat Amerika Serikat untuk menjadi simbol menentang ‘komunisme’. Hari ini raja Bumibol sudah sangat tua dan mengalami kesulitan untuk bicara.
Gambar diambil dari http://media.cagle.com
Para elit telah setuju bahwa anak laki-lakinya yang memalukan akan menjadi raja berikutnya, meskipun ada kekhawatiran luas di tengah masyarakat. Sang Pangeran[10] dikenal luas sebagai orang yang menyebarkan berbagai foto telanjang dari perempuan-perempuannya di internet. Putra mahkota juga terkenal sebagai orang yang boros dan sangat sering melecehkan pegawai rendahan. Tapi elit-elit Thailand tidak memiliki opsi yang lain, untuk sampai memberikan mahkota kepada saudari perempuannya, seorang Putri[11] yang tidak menikah, atau bahkan sampai memberikan mahkota kepada orang lain, yang beresiko menghancurkan mitos yang dibangun selama ini dan akan melecehkan tradisi monarki. Jika Putra Mahkota dapat disingkirkan karena ia ‘tidak memenuhi prasyarat’ untuk menjadi raja, maka hal ini dapat membuka kemungkinan untuk dilangsungkan pemilihan atau penunjukan kepala negara.
Hal yang jauh lebih penting adalah, teori mengenai suksesi kerajaan juga mengasumsikan bahwa krisis politik dan sosial yang terjadi hari ini semata-mata hanya persoalan mengenai rivalitas antar kelompok elit tanpa melibatkan jutaan masyarakat luas. Pandangan ini seperti ini adalah cara pandang politik top-down.
Hari ini yang kita saksikan adalah kekuatan neo-liberal anti demokrasi sedang merangkak keluar dari sarang mereka untuk menolong junta militer membangun peta menuju jalan ‘Demokrasi Terpimpin, Gaya Neoliberal’. Yang menonjol di antara mereka adalah bos-bos universitas bergaji tinggi dengan pemikirannya yang konservatif. Pemerintahan militer yang dibentuk setelah mengambil alih kekuasaan melalui kudeta tahun 2006 juga mengikuti kebijakan-kebijakan neoliberal.
Namun memang kesenjangan yang disebabkan oleh neoliberalisme telah ikut mendorong percikan ketidakpuasan di antara rakyat Thailand selama resesi ekonomi tahun 1996, yang kemudian berujung pada dukungan massa kepada partai-partai politik Thaksin dan juga mengerucut pada krisis politik saat ini. Di bulan Juli tahun ini, Sekretaris Menteri Kesehatan menyarankan agar skema bebas biaya kesehatan mesti ditinjau kembali dan mengusulkan agar pasien harus mampu membayar setidaknya setengah dari tagihan biaya kesehatan mereka.
Sementara itu Komisi Anti Korupsi juga mengusulkan kepada Komisi Pemilu mengenai rencana agar memaksa seluruh partai politik untuk memasukkan daftar manifesto mereka sebelum masa kampanye dimulai. Hal ini dicurigai sebagai cara kekuatan neoliberal anti-demokrasi agar dapat ‘menyapu habis’ semua rancangan kebijakan yang pro terhadap rakyat miskin dengan menggunakan anggaran negara. Para pendukung neoliberal membenci penggunaan uang negara untuk keuntungan mayoritas rakyat dan menyebut hal ini sebagai ‘kebijakan populis’ dengan maksud menghina. Di saat yang bersamaan banyak orang begitu gembira ketika militer dengan sengaja meningkatkan anggaran mereka sendiri!
Secara kasar dapat dikatakan, ada ribuan aktivis dan pendukung gerakan pro-demokrasi Kaus Merah di seantero Thailand, termasuk di ibukota Bangkok. Gerakan Kaus Merah tidak dapat disederhanakan sebagai fenomena rural yang berbasis di daerah utara dan timur laut Thailand, seperti yang diklaim oleh komentator-komentator dungu. Kaus Merah melancarkan perjuangan kelas menentang para elit karena mayoritas pendukung Kaus Merah adalah orang-orang kebanyakan, warga pekerja di daerah urban atau rural. Kaus Merah adalah gerakan kelas pekerja dan petani; kelompok-kelompok yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan populis Thaksin. Tapi gerakan ini tidak dapat hanya disederhanakan semata-mata sebagai perjuangan kelas. Faktanya, perjuangan kelas dalam kenyataannya tidaklah sederhana atau murni.
Krisis di Thailand memiliki dimensi-dimensi kelas yang penting, tapi juga hal ini semakin rumit karena kelemahan politik dari gerakan Kiri dan gerakan pekerja yang terorganisir. Hal ini menjelaskan mengapa partai-partai Thaksin pada akhirnya selalu dominan dan memimpin Kaus Merah. Walau memang pada awalnya Kaus Merah didirikan oleh tiga anggota parlemen terpilih dari partai Thaksin, namun Kaus Merah kemudian bertumbuh menjadi gerakan sosial akar rumput dengan coraknya sendiri.
Thaksin Shinawatra sendiri merupakan taipan pengusaha yang kaya raya dan partai-partainya selalu merepresentasikan faksi modern dari kelas kapitalis. Bagaimanapun juga, kita harus bisa mengerti hubungan ‘dialektik’ antara Thaksin dan Kaus Merah.
Ribuan warga kebanyakan yang mendukung Kaus Merah memang berjuang untuk demokrasi, harga diri dan keadilan sosial bagi diri mereka, meski di saat yang bersamaan Thaksin dan aliansi politiknya memiliki tujuan yang sama sekali berbeda karena menginginkan kembali pengaruh politik yang mereka sempat miliki sebelum terjadinya kudeta di tahun 2006. Namun pada saat yang bersamaan, Kaus Merah juga mendukung Thaksin.
Analisis dialektik ini menjelaskan mengapa terjadinya pengkhianatan oleh Yingluck, Thaksin dan PTP hari ini terhadap perjuangan menuju demokrasi yang dicita-citakan Kaus Merah. Para elit ini telah nyata menyerah kepada junta militer dan menolak untuk mengambil kepemimpinan dalam perjuangan menentang diktatorianisme. Thaksin baru-baru ini menyerukan agar semua orang bekerja sama dengan militer. Para pemimpin Kaus Merah (di UDD) yang mendukung PTP sudah mengikuti langkah ini.
Alasan mengapa Yingluck, Thaksin dan PTP mesti menyerah kepada junta militer adalah karena mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Antara mengerahkan jutaan pendukung PTP dan Kaus Merah untuk menjungkalkan Orde Lama, atau mengambil jalan damai dengan para elit yang selama ini menjadi rival mereka. Mengingat bahwa Thaksin, Yingluck dan PTP sebenarnya berkarakter ‘politisi pengusaha kaya’, maka secara alami mereka mengambil opsi yang terakhir.
Ini mengapa kaum sosialis di Thailand selalu mengadvokasikan bahwa kelompok progresif dalam Kaus Merah perlu untuk menyatukan diri dan membentuk semacam organisasi radikal, yang memilih hubungan yang jelas dengan kelas pekerja, agar menjaga terus hidupnya aspirasi awal dari Kaus Merah. Kegagalan untuk membentuk organisasi semacam ini menjelaskan mengapa terjadinya kegagalan dalam perjuangan menentang militer hanya sebulan setelah terjadinya kudeta di bulan Mei.***
Penulis adalah bekas Associate Professor dalam Ilmu Politik di Universitas Chulalongkorn, Thailand. Ia juga adalah sekretaris Tim Pencari Fakta Tragedi 6 Oktober 1976. Ungpakorn ikut mendirikan kelompok sosialis bernama Turn Left, juga tercatat sebagai anggota Partai Pekerja Sosialis di Inggris. Sejak 2009, ia terpaksa harus tinggal di Inggris sebagai pelarian politik karena menghadapi tuntutan hukum Lese Majeste karena menentang kudeta militer yang terjadi pada tahun 2006.
———–
[1] Peristiwa yang dimaksud adalah Tragedi Songkran Berdarah tahun 2010. Lihat http://www.news.com.au/travel/travel-updates/killed-and-2643-injured-in-five-days-during-thailands-songkran-festival/story-fnizu68q-1226887849142
[2] Royalis adalah sebutan untuk kelompok sipil menengah ke atas dalam lapis masyarakat Thailand yang mendukung monarki.
[3] Nama partai ini secara literer dapat diterjemahkan sebagai Partai Untuk Rakyat Thailand. Penamaan ini secara filosofis ditujukan untuk menentang Partai Demokrat yang dianggap sebagai representasi kelas menengah ke atas.
[4] Partai-partai yang dimaksud adalah Thai Rak Thai (Rakyat Thailand Mencintai Thailand) yang dibubarkan pada Mei 2007 oleh Mahkamah Konsitusi dengan tuduhan kecurangan dalam Pemilu. Untuk itu, Thaksin mendirikan sebuah partai baru yang People’s Power Party (PPP/Partai Kedaulatan Rakyat) yang juga dibubarkan oleh Mahkaman Konstitusi pada Desember 2008.
[5] Ini adalah perangkat hukum yang digunakan untuk mereka yang dianggap menghina atau menuduh Raja, keluarga kerajaan, monarki dan instrumen negara. Undang-undang ini membuat Raja, keluarga kerajaan dan monarki tidak bisa dikritik atau dipertanyakan sikapnya. Pihak konservatif pendukung monarki sering menggunakan undang-undang ini untuk membungkam kritik. http://en.wikipedia.org/wiki/Lèse_majesté_in_Thailand
[6] Lihat http://andrebarahamin.net/short-spit-lese-majeste/
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Thai_Rak_Thai_Party
[8] http://en.wikipedia.org/wiki/2007_constitution_of_Thailand
[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Suthep_Thaugsuban
[10] Putra Mahkota yang dimaksud adalah Somdech Phra Boroma Orasadhiraj Chao Fah Maha Vajiralongkorn Sayam Makutrajakuman atau dikenal dengan nama pangeran Vajiralongkorn. Lebih lanjut lihat profilnya di http://en.wikipedia.org/wiki/Vajiralongkorn
[11] Putri Sirindorn yang bernama lengkap Somdech Phra Debaratanarajasuda Chao Fa Maha Chakri Sirindhorn Rathasimagunakornpiyajat Sayamboromrajakumari adalah putri mahkota setelah amandemen konstitusi Thailand pada tahun 1974.