SEJAK pemerintahan Jokowi berkuasa dalam satu bulan terakhir ini, kita tidak mendengar adanya kabar baik dan terobosan segar berkaitan dengan persoalan Papua. Yang beredar luas justru penyataan dan ide-ide dari para menterinya yang ngawur berkaitan dengan persoalan maha serius yang dihadapi bangsa Papua. Mulai dari ide untuk melakukan transmigrasi penduduk, pemekaran provinsi, hingga pendirian Kodam baru.
Ketiga rencana para pembantu presiden ini, sama sekali miskin akan pemahaman historis mengenai konflik parah dan menahun di Papua dan, karena itu, mengabaikan aspirasi-aspirasi masyarakat Papua yang sesungguhnya. Naftali Edoway, dalam editorialnya di media online Suara Papua, dengan ketus menulis bahwa keseluruhan rencana ini bagi rakyat Papua ibarat ‘Air susu dibalas dengan air tuba.’ Selanjutnya Edoway menulis, ‘Saya pikir, ketika mayoritas orang asli Papua memberikan suara kepada Jokowi-JK kala Pilpres lalu, mereka punya harapan dan Impian bahwa Jokowi akan menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang masih melilit orang Papua, terutama penyelesaian status politik Papua melalui mekanisme dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Namun apa yang terjadi kini?’
Sudah sejak berpuluh tahun Jakarta memang memandang persoalan Papua dengan kacamata keamanan semata. Bahwa gejolak yang berlangsung di bumi Cenderawasih itu akibat dari ulah sebagian penduduknya yang ingin merdeka, terpisah dari Indonesia. Narasi nasionalisme militeristik ini sangat dominan, bukan hanya di kalangan elite pejabat pemerintahan dan militer, tapi juga di dalam dapur media-media mainstream, kampus-kampus, dan masyarakat luas. Dengan kacamata ini, maka sebuah tindakan militeristik baik oleh TNI maupun Polisi dipandang sebagai sebuah kewajaran. Ditambah dengan pengalaman Timor Leste yang ‘terlepas’ dari Indonesia, maka akomodasi terhadap aspirasi merdeka adalah haram, pengkhianatan terhadap NKRI.
Diskriminasi dan represi terhadap rakyat Papua memang sangat luar biasa. Bukan hanya secara politik dan ekonomi, seperti yang terjadi di Aceh, misalnya, tapi juga secara kultural. Para antropolog menyebut bahwa pemerintah Indonesia selama ini telah melakukan genosida kultural terhadap bangsa Papua. Jika rakyat Papua berdemonstrasi menyuarakan aspirasinya, polisi dan tentara dengan segera merepresinya, menuduhnya sebagai bagian dari gerakan memisahkan diri. Jika ada rakyat Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, dengan cepat polisi dan tentara memberangusnya, menangkap dan memenjarakan pelakunya dengan tuduhan makar. Perlakuan kejam ini sama sekali tidak dilakukan ketika ada kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya, yang bercita-cita membangun sebuah imperium Islam global, yang aktif menyebarkan propagandanya di masyarakat luas, yang selalu dengan heroiknya mengibar-ngibarkan benderanya dalam aksi-aksi massanya.
Namun demikian, tindakan represif dan diskriminatif terhadap rakyat Papua, tidak hanya merugikan rakyat Papua sendiri, melainkan juga rakyat Indonesia. Penindasan terhadap rakyat Papua mensyaratkan pengerahan kekuatan militer dan polisi yang massif, dan untuk itu dibutuhkan sebuah narasi nasionalis-militeris, seperti NKRI harga-mati, untuk melegitimasi pengerahan aparatus keamanan tersebut. Melalui slogan NKRI harga mati, maka polisi dan tentara setiap saat bisa melakukan pengerahan aparatnya di bagian Indonesia yang lain. Di Papua, wajah Indonesia yang sejati hadir dengan seutuhnya tanpa cela. Jika Anda sungguh ingin mengetahui apakah Indonesia itu bangsa yang peramah dan harmonis, datanglah ke Papua. Jika Anda ingin mengetahui apakah demokrasi sudah berjalan, datanglah ke Papua. Jika Anda penasaran dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, datanglah ke Papua. Jika Anda ingin mengetahui tingkat kebebasan pers, meliputlah di Papua.
Selain itu diskriminasi dan represi terhadap rakyat Papua, juga hanya menguntungkan kepentingan para oligarki bisnis dan politik di Jakarta. Represi dan diskriminasi itu telah membuat mereka leluasa untuk mengeruk kekayaan alam Papua dan mengantarnya ke jabatan-jabatan politik tertinggi. Sementara untuk rakyat, tidak ada manfaat sedikitpun. Kekayaan alam Papua yang disedot habis-habisan, baik oleh korporasi nasional maupun korporasi multinasional, tidak semakin membuat kehidupan rakyat membaik kesejahteraannya. Yang tersisa buat rakyat adalah rasa takut yang dalam, kemiskinan yang meluas, ketimpangan sosial yang tinggi, dan kerusakan lingkungan yang parah.
Karena itu, pembebasan rakyat Papua dari diskriminasi dan represi dari pemerintah pusat, adalah juga pembebasan atas rakyat Indonesia keseluruhan. Artinya, hanya jika rakyat Papua bebas dari diskriminasi dan represi maka kita bisa hidup damai bebas dari rasa takut. Dengan kata lain, pembebasan rakyat Papua adalah prasyarat bagi pembebasan kita juga. Kesadaran inilah yang mesti kita pegang dan camkan sekuat-kuatnya dan seluas-luasnya.
Pertanyaannya dari mana memulainya? Edoway menulis ‘jika pendekatan kesejahteraan masih diprioritaskan, maka tak akan ada perubahan di Papua.’ Menurutnya, untuk ‘menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang masih melilit orang Papua, terutama penyelesaian status politik Papua melalui mekanisme dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral.’ Saya setuju dengan pendapat Edoway bahwa masalah pertama di Papua bukanlah masalah ekonomi, tetapi masalah politik. Sehingga itu penyelesaian kasus ini harus dimulai dengan penyelesaian politik. Tetapi berbeda dengan Edoway yang menghendaki dialog yang dimediasi oleh pihak ketiga, menurut saya tindakan politik pertama yang harus ditempuh oleh pemerintahan Jokowi dan juga oleh kelompok-kelompok perlawanan Papua, adalah ‘menarik mundur seluruh kekuatan pasukan organik dan non-organik dari Papua dan peninjauan ulang kontrak bisnis dengan PT. Freeport McMoran.’
Selama keduanya masih hadir di Papua, maka seluruh upaya penyelesaian konflik ibarat ‘tindakan menggantang asap.’***